Rabu, 28 April 2021

Peran Perempuan dalam Mengarungi Industri Sawit Indonesia

Peran Perempuan dalam Mengarungi Industri Sawit Indonesia

Foto: Istimewa


Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM). Perkebunan kelapa sawit memiliki banyak keberagaman yang menjadi daya tarik bagi banyak orang. Mulai dari pengusaha, petani, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, hingga masyarakat luas selalu melirik keberadaan perkebunan kelapa sawit di suatu daerah. Di sisi lain, industri sawit pun dipenuhi dengan keberagaman. Seperti jenis kelamin, suku, agama dan sebagainya yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia.
 
Khusus keberagaman jenis kelamin, seringkali menjadi batu sandungan lantaran banyak yang masih memandang sebelah mata keberadaan perempuan di industri kelapa sawit. Identitas jenis kelamin seringkali menjadi persoalan, padahal totalitas dan loyalitas dari seorang pekerja perempuan, memiliki kekuatan besar dalam memperjuangkan kemampuan yang dilakoninya dalam bekerja.
 
Merunut data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sektor sawit mampu menyerap tenaga kerja langsung sekitar 4,2 juta orang, sebanyak 12 juta orang termasuk tenaga kerja tidak langsung. Sementara serapan di sektor pertanian atau perkebunan rakyat mencapai 2,6 juta usaha petani, yang mempekerjakan sekitar 4,3 juta orang.
 
Direktur Assurance Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Indonesia, Tiur Rumondang mengungkapkan, industri kelapa sawit memang dianggap sektor yang kurang aman bagi perempuan. Menurut Plt Deputi Direktur RSPO Indonesia ini, banyak tantangan yang harus dihadapi.
 
Perempuan memiliki keunikan tersendiri, untuk itu diperlukan payung hukukm supaya perempuan di sektor perkebunan kelapa sawit bisa terlindungi, dan kebijakan ini mesti dipatuhi seluruh anggota RSPO. Penempatan perlindungan perempuan harus terus dijaga. 
 
“Sehingga bisa memenuhi kebutuhan khusus yang dimiliki para perempuan, dan kesetraaan gender bisa diterapkan untuk semua level perkejaan, termasuk para pekerja perempuan di lapangan,” ujar Tiur dalam Webinar FGD Sawit bertajuk ‘Ketangkasan Perempuan Sawit Indonesia’, yang diadakan InfoSAWIT & RSPO, di Jakarta, Selasa (27/4).
 
Pada kesempatan yang sama, Yunita Widiastuti, Group Sustainability Lead Cargill Tropical Palm (CTP) mengatakan, Cargill Tropical memiliki hampir 18,000 karyawan. Dari angka tersebut, sebanyak 11% merupakan perempuan dan pekerja dengan level supervisor tingkat 2 ketas. Sementara untuk level manger 1 dan 2 mencapai 3,3%.
 
Kondisi ini, jelas dia, adalah berkomitmen perusahaan untuk melindungi hak asasi manusia, memperlakukan orang dengan martabat dan rasa hormat ditempat kerja dan di masyarakat di mana perusahaan melakukan bisnis, dan beroperasi secara bertanggung jawab di keseluruhan industri pertanian, pangan, keuangan, dan industri lainnya.
 
Ia mengakui, kaum perempuan di industri sawit juga memiliki peran penting dalam kemajuan minyak sawit yang berkelanjutan. Di Cargill Tropical Palm, hal ini terlihat dari banyaknya posisi penting yang diisi oleh karyawan perempuan seperti, Operational Estate Manager, Operator mini tractor, Loose fruit collector, Agronomy team, Field assistant, Farmer Development Manager.
 
Di Departemen pendukung juga seperti Environment, health and safety, Dokter, Sustainability Manager, Finance Manager, Komunikasi, Government relations. Sebab itu Cargill, berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan dalam industri kelapa sawit termasuk pemerintah, GAPKI, RSPO, ISPO, LSM, para pekebun dan perusahaan lain. Perusahaan juga berupaya menciptakan tempat kerja yang inklusif dan beragam yang dapat mendorong potensi setiap karyawan.
 
Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch menimpali, beberapa investigasi dan penelitian mengungkap bahwa perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan di industri sawit. Ia menambahkan, pada beberapa kasus, pekerja perempuan bahkan tidak dihitung sebagai pekerjaan yang diperhitungkan dalam ekonomi nasional.
 
“Ketika perempuan, istri, ibu melakukan pekerjaan di ranah produktif, masih dianggap membantu sehingga ‘sepertinya’ tidak terlihat serta tidak masuk dalam statistik formal,” tutur Inda.
 
Untuk kasus buruh kebun perempuan, ulas dia, pada umumnya perempuan hanya sebagai BHL (Buruh Harian Lepas) sehingga tidak ada kontrak kerja dan gaji lebih kecil dari buruh tetap bekerja sesuai permintaan perusahaan. Umumnya pekerjaan berisiko tinggi seperti menyemprot, memupuk, membabat, melintring. Kadang pula tidak disediakan alat perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja yang memadai, sehingga harus membawa sendiri.
 
“Tidak ada asuransi kecelakaan kerja tidak ada pelayanan kesehatan Tidak dapat bonus, THR (kecuali mencapai enam puluh hari kerja secara kontinyu hingga hari raya lebaran atau natal), dan lainnya,” kata Inda.
 
Rukaiyah Rafiq, dari Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI) mengutarakan, perempuan sawit bisa dibagi dalam dua kelompok. Pertama kelompok petani swadaya dari transmigran, yang biasanya memiliki lahan terbatas hanya mengelola 2- 3 ha lahan.
 
“Perempuan sebagai kepala keluarga ikut dalam mengelola kebun keluarga, biasanya keterlibatan tersebut untuk mengurangi biaya,” tutur perempuan yang akrab disapa Uki ini. 
 
Berikutnya kelompok kedua, yakni petani dari masyarakat lokal dengan kepemilikan lahan yang beragam. Kelompok ini masih memiliki ruang sendiri, kebun karet, umo, dan pekarangan. “Untuk ini peran perempuan biasanya hanya terbatas pada mengutip brondol dan nebas piringan, dan perempuan hanya berkerja jika lahan keluarga sekitar 2 ha. Bila di atas 2 ha biasanya petani memiliki pekerja, kebun sawit dianggap memiliki resiko tinggi yang tidak cocok untuk perempuan,” bahasnya.
 
Uki membahas, perempuan dalam standar minyak sawit berkelanjutan untuk petani swadaya bisa terlihat dari P&C RSPO 2018 point 3.1.5 tentang inklusivitas gender untuk produksi minyak sawit lestari bagi produsen besar. “Termasuk sesuai dengan Teori Perubahan (ToC) RSPO yang berusaha mencapai sasaran dilindungi, dihormati, dan dipulihkannya HAM, Standar Pekebun Swadaya RSPO ini mengamanatkan dilakukannya praktik-praktik yang inklusif gender,” kata Uki.
 
Inklusif gender merupakan penyediaan hak, tanggung jawab,dan peluang yang setara bagi semua pihak tanpa memperhatikan gender, orientasi seksual, dan identitas. Prinsip ini harus berlaku bagi semua pekebun, khususnya manajer kelompok terkait praktik kerja dan perlakuan terhadap pekerja.
 
“Dalam standar pekebun swadaya RSPO ini, khususnya dalam prinsip, kriteria dan indikator, setiap istilah pekebun, pekebun pekerja, manajer kelompok, atau pekerja yang muncul merepresentasikan seorang perempuan atau seorang laki-laki dan tidak bergantung pada identitas gender tertentu,” pungkasnya.
 
Try Surya A
 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain