Foto: Peni Sari Palupi
Kesibukan pekerja pria mencabut bibit padi di Desa Terusan Mulya, Bataguh, Kapuas
Modal untuk mewujudkan pertanian yang maju, mandiri, dan modern itu sudah ada. Tinggal menaikkan kelasnya.
“Program food estate di sini itu nggak salah. Memang di sini orang bertani jadi ya mengusahakan produksi yang terbaik,” pendapat Suwardi, petani padi di Desa Terusan Mulya, Bataguh, Kapuas, Kalteng.
Transmigran asal Banyumas, Jateng ini terbilang petani yang mengupayakan padi secara intensif berorientasi bisnis. Karena itu ia mengingatkan, pemerintah sebaiknya memberikan benih yang bagus kepada para petani.
“Kalau sampai gagal ‘kan petani rugi, pemerintah juga rugi,” kata pengguna benih hibrida rakitan swasta ini.
Secara khusus, Suwardi menyoroti potensi serangan blas (potong leher). Penyakit yang disebabkan cendawan Pyriculariagrisea ini termasuk organisme pengganggu tumbuhan (OPT) paling penting di lahan rawa.
Bila benih tidak tahan blas, perlu biaya tinggi untuk mengendalikannya. Karena itu, ia berharap pemerintah juga membantu petani dengan obat-obatan agar tanamannya bisa selamat.
Varietas Unggul
Di lokasi percontohan (CoE), Kementan memberikan benih berlabel ungu dari varietas unggul baru (VUB) berpotensi hasil tinggi dan berdaya tahan terhadap OPT utama.
Paling tidak ada 7 VUB yang direkomendasikan di food estate, yaitu Inpari 30 Ciherang Sub1, Inpari 32 HDB (hawar daun bakteri), Inpari 42 Agritan GSR (green super rice), Inpari 43 Agritan GSR, Inpari IR Nutri Zinc, serta Hipa 18 dan Hipa 19 (hibrida).
Suwardi yang punya 7 ha sawah saat ini menjajal Inpari 32 dan hibrida paling anyar rakitan BB Padi, Hipa 21. VUB ini berpotensi hasil 11 ton dan agak tahan blas ras 073. Di lokasi yang sama, Tukiran, pemilik 2 ha sawah menanam Inpari 32 HDB.
Sementara itu di Belanti Siam, Sugiyem, transmigran dari Sragen, Jateng, menanam Inpari 42 Agritan GSR. Sedangkan Parnu yang biasanya menanam IR 42 dengan produktivitas 4 ton gabah kering panen (GKP)/ha, kali ini mengupayakan Inpari 43 Agritan GSRyang hasilnyadiperkirakan6 ton/ha.
Secara umum, para petani di Kec. Bataguh, menurut Budi Santoso, sudah mencoba menanam sejumlah VUB.
“Bisa dikatakan hampir semua varietas BB Padi mulai dari Inpari 9, Inpara 1 sampai yang baru-baru sekarang. Termasuk juga padi hibrida, baik dari BB Padi maupun swasta. Di sini banyak petani muda yang melek internet. Mereka datangkan benih dari Jawa,” cerita petani di Terusan Karya tapi di luar lokasi CoE itu lewat telepon.
Pemilik sawah 5 ha tersebut mengaku menanam varietas Suppadi dan Sembada masing-masing 2 ha dan sekarang mencoba Inpari IR Nutri Zinc sehektar. Tentu saja dia merogoh kocek sendiri karena sawahnya tidak termasuk lokasi percontohan.
Perlakuan Benih
Untuk meningkatkan produktivitas padi di CoE, Kementan membagikan Agrimeth, pupuk hayati perlakuan benih. Menurut Dr. Etty Pratiwi, pemegang hak patennya dari Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), pupuk ini mengandung bakteri nonpatogenik penghasil beberapa fitohormon, penambat nitrogen, dan pelarut fosfat yaitu Methylobacteriumsp., Azotobactersp., Rhizobiumsp., Bradyrhizobiumsp., dan Bacillus sp..
“Agrimeth diaplikasikan sekali saja. Benih direndam dulu semalam sampai berkecambah lalu campurkan Agrimeth bersama benih. Dosisnya 400-500 g untuk 30-40 kg benih. Mikroba akan masuk melalui jaringan yang terbuka akibat berkecambah lalu berkembang dalam jaringan tanaman. Ketika tanaman tumbuh, mikroba juga tumbuh mengeluarkan fitohormon, asam organik, dan enzim untuk meningkatkan serapan hara,” ungkap Doktor Mikrobiologi jebolan IPB University itu.
Perlakuan benih membuat akar lateral tanaman tumbuh memanjang. Kemampuan akar menyerap hara jadimeningkat. Aplikasi Agrimeth dan Biotara bersinergi meningkatkan efisiensi pemanfaatan pupuk anorganik. Petani bisa mengirit pupuk anorganik 25%-30%.
Etty menyarankan petani menyimpan pupuk hayati di dalam ruang, hindari panas karena akan mengurangi viabilitas mikroba. Aplikasikan dalam cuaca teduh dan tidak hujan. “Bila diaplikasi bersama pupuk anorganik, beri jeda 2-3 jam karena ada efek panas. Kalaupun terpaksa dicampur, dosisnya harus ditambah untuk menambah mikroba yang mati,” ujarnya mewanti-wanti.
Blas Paling Sulit
Komponen RAISA berikutnya pengendalian OPT secara terpadu. Berdasarkan pengalaman petani selama ini, selain penyakit blas, OPT lain tidak terlalu menonjol. “Kalau wereng, padi apa saja ya kena. Tapi menurut saya tergantung kontrol petani. Ada juga yang gagal karena wereng. Kalau saya, kontrol tanaman tiap hari, jadi terkendali,” ulas Suwardi.
Tikus juga termasuk OPT yang tidak pilih-pilih varietas. Semua bisa menjadi targetnya. “Kami biasanya pasang umpan massal,” timpal Parnu.
Sementara, Balitbangtan mencontohkan pemberian batas plastik tebal setinggi 70-80 cm di sekeliling petak sawah. Tiap satu meter ditegakkan dengan ajir bambu. Selain itu juga dilengkapi perangkap tikus.
Sebelum tanam, lakukan sanitasi dan gropyokan bareng-bareng oleh petani. Yang jelas, penanaman diusahakan serempak. Di lokasiCoE, para pengawal teknologi juga melaksanakan bimbingan teknis untuk para petani.
Mengalir ke Ibu Kota Provinsi
Bagaimana hasil aplikasi inovasi teknologi unggulan Balitbangtan di CoE? Tentu kita masih harus menunggu hingga panen, paling tidak Februari 2021.
Yang jelas, di tiga desa CoE ada sekitar 14 pabrik penggilingan padi (rice milling unit – RMU) yang siap menampung panen.
Memang kebanyakan masih berskala kecil. Namun jangan salah, beras produksi petani di sana selain dikonsumsi sendiri juga merambah Ibu kota Palangkaraya dan Banjarmasin (Kalsel).
“Beras ini mau dikirim ke Palangkaraya tapi masih kurang 50 karung lagi. Ini ada pesenan 7 ton. Harga berasnya Rp9.500/kg,” ujar Parnu mewakili anak lelakinya, si pemilik RMU.
Harga gabah kering giling di RMU kecil ini Rp5.200/kg (18/11). Rendemennya menjadi beras sekitar 60%. Beras itu dikemas dalam karung berlabel “Nasiku” dan diklaim tanpa bahan pengawet.
Budi yang juga pemilik penggilingan berkapasitas 8 ton/hari, memaparkan, di Terusan Karya ada 9 unit RMU. Satu unit berkapasitas 8 ton miliknya, dua unit kapasitas 5 ton, dan 6 unit lainnya kecil-kecil.
“Beras kami masih berupa bahan, belum beras kristal. Dibawa ke Banjarmasin dan Palangkaraya masih diolah sekali lagi,” tuturnya seraya menambahkan penjualan beras di pasar ibu kota dengan sistem konsinyasi.
Untuk menuju cita-cita food estate yang menghasilkan beras premium beserta produk sampingnya butuh waktu panjang. Apalagi, perlu membentuk Badan Usaha Milik Petani (BUMP) agar petani terbiasa berkorporasi.
Peni Sari Palupi, Sabrina Yuniawati