Rabu, 2 Desember 2020

HORTIKULTURA : Lahan Sempit Jadi Produktif Berkat Hidroponik

HORTIKULTURA : Lahan Sempit Jadi Produktif Berkat Hidroponik

Foto: Sabrina Yuniawati
Hidroponik mudah dan tidak membutuhkan lahan luas

Tidak ada lagi alasan tidak bisa tanam sayuran di halaman rumah.

Bercocok tanam kini bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Seperti yang dilakukan Sutarjo, pensiunan pejabat DKI Jakarta ini sukses terjun budidaya hidroponik dengan memanfaatkan balkon rumah. Seperti wujudnya?


Awal Budidaya Hidroponik

Sutarjo merupakan pensiunan Lurah Rawa Badak Selatan, Kec. Koja, Jakarta Utara. Ia memulai budidaya hidroponik saat masih menjabat sebagai lurah. Balkon rumah dengan luas kurang-lebih 60 m2 dimanfaatkan untuk budidaya hidroponik.
 
“Hidroponik mudah dan tidak membutuhkan lahan yang luas. Bisa ditanam di atas atau di pekarangan rumah. Saya memanfaatkan satu areal (balkon) ini, bisa menampung kurang-lebih 3.000 sayuran,” jelasnya saat ditemui AGRINA di kediamannya (19/10).

Ia menceritakan, awal mula budidaya hidroponik hanyalah iseng belaka. Hidroponik merupakan cara budidaya yang baru sehingga Sutarjo tertarik mengembangkan.
 
Lebih menyenangkan lagi, sistem budidaya tersebut tanpa membutuhkan lahan luas bahkan tanah. Itulah yang membuatnya mempelajari hidroponik lebih dalam dan melakukan uji coba awal di kantor Kelurahan Rawa Badak Selatan.

“Di kantor relatif tumbuh dan berkembang, saya terapkan di rumah. Dulu hanya iseng saja. Tumbuh syukur, tidak tumbuh ya sudah. Ternyata tumbuh, lanjut ke skala hobi,” ungkap pria yang hobi bercocok tanam ini.

Sutarjo menjelaskan, kecintaan terhadap tanaman tersalurkan berkat hidroponik dan itu membuahkan hasil. Panen pertama, ia berikan kepada tetangga dan saudara.
 
Ternyata dari hasil panen tersebut banyak yang melirik untuk membeli sayuran hidroponik. Berjalannya waktu, Sutarjo melangkah lebih jauh dengan menjual hasil panen hidroponik ke supermarket.

Hobi yang diubah menjadi bisnis membuat Sutarjo mempertimbangkan banyak hal dari segi biaya listrik, biaya budidaya, hingga risiko yang akan terjadi.
 
“Skalanya sudah naik sehingga ada perhitungan cermat dan efisien. Dulu tidak pakai rockwool dalam negeri, pakainya luar, mahalnya 10 kali lipat dari ini. Hasilnya, tanamannya sama tapi bahannya saja yang beda,” paparnya.

Sedangkan untuk biaya produksi selama ini, ia menguraikan, “Diperkirakan setiap satu pot Rp700, meliputi bibit, rockwool, nutrisi, listrik, sumbu, dan tenaga kerja. Jadi kalau 1.000 pot, sekitar Rp700 ribu,” terangnya.
 
Sistem penjualannya juga sangat menarik, Sutarjo menjual dalam hitungan pot. Setiap pot rata-rata dijual Rp3.000 untuk pakcoy, sawi putih, caisim, kale, sawi samhong, kailan, dan berbagai macam selada.


Kerja Sama dengan CSR Daihatsu

Menurut Sutarjo, pada 2017 budidaya hidroponik miliknya populer hingga PT Astra Daihatsu Motor (ADM) melirik untuk melakukan kerja sama. Staf ADM melihat secara langsung budidaya yang dikembangkan Sutarjo di rumah.
 
ADM menggandengnya untuk melakukan kegiatan sosial pengembangan hidroponik di beberapa wilayah, seperti Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Sungai Bambu, RPTRA Rasela kelurahan Rawa Badak Selatan, RPTRA Kebon Bawang, RW 2 Kelurahan Papanggo, PKK kantor Walikota Jakarta Utara, hingga berakhir di Karawang, Jawa Barat.

Dalam kerja sama tersebut, pria yang senang desain ini melakukan pelatihan cara budidaya hidroponik kepada masyarakat dan sebagai wadah percontohan untuk wilayah lain melalui program corporate social responsibility (CSR).
 
“Ada pelatihan, saya ngajar 10 angkatan lebih, 1 angkatan ada sekitar 50 orang. Jadi, CSR ADM memberikan bantuan kepada PKK untuk mengembangkan hidroponik di wilayah yang menjadi sasaran CSR,” urainya.
 
Kerja sama berakhir pada 2019 di Karawang. Wilayah yang terletak di kawasan industri ADM dan Perumnas Karawang Barat tersebut diberi nama Kampung Hidroponik.


Pesan bagi Pemula Budidaya Hidroponik

Sutarjo menyarankan, bagi pemula yang ingin melakukan budidaya hidroponik, hal terpenting adalah mau mencoba. Sistem budidaya yang digunakan pemula sebaiknya sistem sederhana seperti rakit apung, sistem sumbu, dan lainnya. Pilih sistem budidaya tersebut dan pastikan akar tanaman terkena nutrisi agar dapat tumbuh dengan baik.

Dengan berjalannya waktu budidaya hidroponik pasti berkembang menjadi skala bisnis karena kebutuhan akan sayuran segar selalu meningkat. “Sayuran merupakan merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Semua orang butuh variasi sayuran maka tanam berbagai macam jenis sayuran. Hidroponik ini mahal, pasti dicari orang,” urainya.

Ia melanjutkan, memulai budidaya hidroponik bisa dengan mencari informasi di internet, majalah pertanian, atau berkunjung ke komunitas hidroponik yang mudah sekali di temui di kota-kota besar.
 
“Jangan pernah menyerah, terus berusaha. Gagal tidak masalah, yang peting coba lagi karena sukses butuh waktu. Setelah berkembang, sistem budidaya diubah menjadi skala bisnis dengan menggunakan sistem NFT (Nutrient Film Technique),” ungkap mantan pejabat teras yang sukses menghijaukan daerahnya itu.  


Budidaya Sistem NFT

Sutarjo menggunakan sistem NFT dalam budidaya hidroponik. Dengan metode ini, tanaman tumbuh pada lapisan nutrisi yang dangkal dan tersikulasi. Tanaman memperoleh cukup nutrisi dan oksigen sehingga pertumbuhannya lebih cepat.
 
“NFT lebih irit dan hemat listrik dibandingkan sistem lain. Sirkulasi jelas karena kecepatan air berpengaruh kepada perkembangan tanaman. Keunggulan lainnya, tanaman lebih cepat tumbuh,” terangnya.

Cara budidaya hidroponik sistem NFT yaitu sebelum tanam di media tanam, benih disemai terlebih dahulu di wadah baki semai dengan media tanam rockwool. Potong rockwool ukuran dadu atau 2,5 cm x 2,5 cm lalu basahi sedikit dengan air. Tanam benih dan tunggu hingga 3 hari atau sampai benih berkecambah.

Proses selanjutnya, benih dipindahkan ke lahan tanam berupa net pot yang diletakkan di atas sistem NFT. “Nutrisinya sendiri pakai AB mix terdiri dari 5 ml nutrisi A dan 5 ml nutrisi B dicampurkan air hingga menghasilkan 1 liter nutrisi dengan kepekatan 1.000 ppm. Sayuran dapat dipanen setelah 4 minggu,” urainya.

Sutarjo berharap, masyarakat perkotaan mengembangkan sistem pertanian urban farming dengan memanfaatkan lahan yang ada. “Gunakan lahan sempit dan terbatas menjadi produktif,” pesannya.
 
Urban farming ini bisa mengurangi pengeluaran belanja kebutuhan pokok. “Minimal (memenuhi) 10%-20% kebutuhan rumah tangga tanpa beli. Itu didapat dari produksi sendiri. Jadi, jangan lagi ada kata tidak bisa tanam sayuran di depan rumah,” tegasnya menutup percakapan.



Sabrina Yuniawati

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain