Foto: Dok. Simbiofish
Simbiofish menghasilkan lele marinasi untuk memenuhi permintaan pasar
Mitra pembudidaya bertambah signifikan sejak pandemi Corona.
Banyak pembudidaya lele yang kesulitan menjual hasil panen karena tidak ada jaminan serapan pasar oleh pedagang.
Pun pedagang tak selalu mendapat pasokan lele secara kontinu karena tidak ada kepastian suplai dari pembudidaya.
Kendala ini didobrak oleh startup akuakultur terintegrasi yang mempertemukan pelaku hulu dengan hilir sehingga bisnis selaras dan bisa berkelanjutan.
Simbiofish
Kehadiran startup berbasis digital sangat membantu pembudidaya lele mengatasi kendala jaringan pasar dan permodalan. Salah satu startup itu adalah Simbiofish, aggregator benih-pasar untuk pembudidaya ikan skala kecil.
Menurut Rocky Stephanus, banyak startup perikanan di Indonesia dengan modal cukup besar tapi masih belum bisa melayani banyak pembudidaya ikan.
Karena, ungkap Co-Founder Simbiofish itu, fokus utama pelaku startup tersebut melayani pembudidaya besar dan yang sudah berpengalaman. Padahal, sambungnya, “Petani-petani (pembudidaya) ini tidak begitu terbuka. Kamu siapa, ngajarin aku yang sudah pengalaman?”.
Justru, pembudidaya skala kecil yang memiliki banyak kendala. Yaitu, kendala tidak efisiennya rantai nilai yang mengikis pendapatan pembudidaya.
Mahalnya biaya input produksi budidaya dan tidak dapat diandalkan kualitasnya, meliputi benih, pakan, dan kesehatan ikan. Akses pasar dan jasa keuangan atau modal juga tidak konsisten, hingga minimnya ketelusuran (traceability) dalam budidaya skala kecil.
Melalui Simbiofish, Rocky berpikir berbeda dengan menjangkau pembudidaya skala kecil untuk komoditas lele.
“Simbiofish solusi untuk pembudidaya ikan skala kecil, one stop solution. Ada QnA (tanya jawab) lewat chat aplikasi, akan ada otomasi untuk melayani petani. One stop shop: melayani pembelian pakan, bibit (benih) ikan berkualitas dengan membangun rantai pasok. Memberikan jaminan bahwa mereka bisa menjual daging ikan dengan harga kompetitif dan pasti kita ambil,” terangnya membahas hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Startupini menawarkan 360º jasa agri menggunakan aplikasi di ponsel. Yakni, menyediakan benih lele dan pakan berkualitas untuk efisiensi input produksi. Pendidikan berbasis cara budidaya ikan yang baik (CBIB) dan konsultasi budidaya lewat ponsel (tele-advisory).
Lalu, memberikan jaminan pasar dengan membeli hasil panen serta memfasilitasi kredit modal usaha. “Petani besar kesulitan punya partner yang ambil ikan. Itu yang bikin kami yakin di jalan ini,” serunya antusias.
Terintegrasi
Donny Pasaribu, Founder Simbiofish menjelaskan, startup lele terintegrasi yang berdiri pada Agustus 2019 ini dibentuk karena melihat peluang bisnis lele yang sangat besar.
“Pasar itu selalu kekurangan suplai. Jabodetabek perlu 300 ton/hari untuk lele. Nah, itu masih disuplai dari Indramayu, Sukabumi, Bogor; Jabar. Jateng juga kirim lele ke sini. Semua daerah kirim lele ke Jabodetabek. Jadi, pasar itu selalu ready (tersedia) buat lele,” terang dia.
Awalnya Simbiofish memproduksi 50 kg lele per hari. Jumlah ini perlahan naik menjadi 100 kg/hari pada Desember 2019 kemudian bertambah lagi jadi 300-400 kg/hari. Saat ini produksi lelenya mencapai 1 ton/hari.
Lele ini 90% dipasarkan ke pecel lele dan sisanya untuk fillet dan lele marinasi baik yang diolah sendiri maupun diolah mitra. “Target kita 3 bulan ke depan 4 ton/hari. Tahun depan kita mau (produksi) 10 ton/hari rencananya,” sahut Donny optimis.
Apalagi, pembudidaya yang menjadi mitra semakin bertambah setelah pandemi Corona. “Mitra petani kita sebelum April itu 2.000 mitra. Sejak April sampai sekarang naik 4.000, jadi mitra petani kita 6.500 di seluruh Indonesia. Yang naik itu petani karena ‘kan banyak yang di PHK (pemutusan hubungan kerja). Terus yang di-PHK banyak, dari pilot. Pilot banyak yang ternak lele, pengusaha banyak yang ternak lele,” urainya.
Rocky menambahkan, syarat menjadi pembudidaya mitra cukup mudah. Hanya dengan mengunduh aplikasi Simbiofish di ponsel lalu membeli benih. Calon mitra juga tidak perlu memiliki pengalaman budidaya si kumis.
“Tujuan utamanya mengajak orang untuk mulai bertani dan memperbaiki taraf hidup untuk bertani,” imbuh lulusan MBA INSEAD, Perancis itu.
Harga beli lele di pembudidaya berkisar Rp18.500/kg dengan biaya produksi Rp13 ribu/kg yang menggunakan pakan pelet.
Untuk mengangkat citra lele di masyarakat, ulas Rocky, pihaknya mengedukasi pelaku usaha pecel lele untuk membeli lele segar beku (frozen) yang berasal dari budidaya yang baik.
“Kita akan mengedukasi pecel lele untuk ambil lele frozen karena dengan mentransformasi cara kerja akan berhasil, kita pinjamin cold storage (gudang pendingin), itu bisa membuat mudah semuanya,” tandasnya.
Selain kepastian pasar, pembudidaya mitra juga mendapat jaminan input budidaya berkualitas, khususnya benih dan pakan.
“Simbiofish membenihkan lele Mutiara. Kita ada hatchery (pembenihan) sendiri. Mitra disuplai semua, wajib beli dari kita. Jadi, bibit, pakan dari kita, nanti hasil kita beli lagi. Sekarang sekitar produksi benih 1 juta ekor/bulan,” pungkasnya menutup perbincangan dengan AGRINA.
Windi Listianingsih