Jumat, 2 Oktober 2020

Saatnya Sorgum Naik Kelas

Saatnya Sorgum Naik Kelas

Foto: Peni Sari Palupi
Aneka camilan berbahan baku tepung sorgum produk UMKM

Orang awam mungkin hanya mengenalnya sebagai pakan burung. Padahal tanaman ini bisa memberi manfaat yang super.


Tanaman bernama ilmiah Sorghum bicolor ini sangat berpotensi menyediakan 3F, yaitu pangan (food), pakan (feed), dan bahan bakar (fuel). Sayang, pengembangannya sampai sekarang menghadapi sejumlah kendala sehingga pemanfaatannya pun masih terbatas.


Pangan Sehat

Sorgum konon sudah dikonsumsi masyarakat Jawa sejak abad 9-10 seperti terlihat di relief Candi Borobudur. Namun saat ini hanya petani daerah-daerah tertentu yang menanam sorgum sebagai sumber karbohidrat.

Petani masih enggan membudidayakan sorgum lantaran pasar belum merespon produk ini dengan baik. Banyak konsumen menganggap sorgum sebagai pangan kelas dua. Padahal kandungan gizinya relatif lebih baik ketimbang beras dalam hal protein, lemak, kalsium, serat, besi, dan fosfor.

Agus W. Anggara, Kabid Kerjasama dan Pendayagunaan Hasil Penelitian di Puslitbang Tanaman Pangan menjabarkan dukungan pemerintah terhadap sorgum.
 
“Penyediaan pangan pokok kita memang tumpuannya masih beras. Tapi, Pak Menteri Pertanian Agustus lalu sudah mencanangkan diversifikasi pangan lokal dengan jargon ‘Kenyang tidak harus nasi”. Dari sana, apa saja yang bisa dioptimalkan termasuk  sorgum,” ujarnya dalam rakor Koperasi Sorgum Nusantara Jaya di Bogor beberapa waktu lalu.

Menurut Agus, tepung sorgum bisa menjadi substitusi terigu dengan porsi 15% -75%. Biji sorgum dapat dimasak sebagai pengganti beras. Nira dari varietas sorgum manis bisa dijadikan gula atau bioetanol.

Keunggulan sorgum juga dikemukakan Prof. Soeranto Human, M.Sc., pemulia sorgum dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dalam acara Rembug Online 5 tentang sorghum untuk pangan dan pakan (23/9).
 
“Sorgum itu potensi yang sangat besar bagi Indonesia tapi belum digarap. Lahan kering kita jauh lebih luas daripada lahan sawah, tapi kita memaksakan tanam padi. Sementara sorgum ini tanaman yang tahan dengan kondisi marginal terutama kekeringan,” cetus alumnus S1 IPB 1981 itu.

Pengguna sinar gamma untuk merakit varietas tersebut menekankan, sorgum harus naik kelas dan dipromosikan sebagai pangan fungsional. “Tergolong pangan fungsional karena tidak mengandung gluten, indeks glikemik (IG) rendah), kaya polifenol dan antioksidan,” ulas doktor lulusan Agricultural University of Norway ini.

Konsumsi pangan bebas gluten menurut banyak publikasi dapat mencegah penyakit celiac (reaksi autoimun yang mengakibatkan gangguan pencernaan). Pangan ber-IG rendah dan kaya fenol baik dikonsumsi diabetasi karena dapat mengontrol gula darah.


Ketersediaan Benih

Masyarakat yang tertarik untuk menanam sorgum dan membutuhkan benih dapat menghubungi Balai Penelitian Serealia Maros, Sulsel. Sejauh ini Puslitbang Tanaman Pangan merilis 16 varietas unggul. Lalu menyusul tiga varietas teranyar yang dilepas pada 2019, yaitu Soper 7 Agritan, Soper 8 Agritan, dan sorgum manis (Bioguma 1, Bioguma 2, dan Bioguma 3).

Sementara dari BATAN, menurut Ranto, ada tiga varietas yang sudah dilepas, yaitu Pahat, Samurai 2, dan Samurai 2. Enam varietas lagi tengah dalam proses pelepasan. Dia membocorkan karakter tiga dari enam varietas paling gres tersebut. Dua untuk pakan ternak dan satu untuk menghasilkan pangan.

Soal kelangsungan penyediaan benih, lanjut dia, tidak masalah. Sorgum bersifat menyerbuk sendiri dan homozigot. Jadi, kalau sudah ketemu suatu varietas, benihnya dapat ditanam kembali.


Terintegrasi

Pengusahaan sorgum sebaiknya terintegrasi dengan memanfaatkan semua bagian tanaman, baik itu dalam kelompok maupun perusahaan. Sejauh ini sangat sedikit pengembang sorgum berskala perusahaan.
 
Salah satunya, PT Sedana yang memiliki dua divisi, yaitu PT Sedana Panen Sejahtera yang menangani pangan dan PT Sedana Peternak Sentosa yang mengurus ternak ruminansia, yaitu sapi, domba, dan kambing. Lokasinya di Jombang, Jatim.

Dalam Rembug Online 5 yang digelar Fapet IPB tersebut, Rahardi Gautama, CEO Sedana Peternak Sentosa, menuturkan, pihaknya mengawali riset tentang sorgum pada 2012.  Mulai dari varietas, kesesuaian lahan, teknologi produk olahan, sampai uji penerimaan pasar.  

Baru pada 2016 Rahardi dan dua koleganya, Kristinan Benny Hapsoro dan Novan Satrianto mendirikan dua perusahaan. Dan tahun itu pula mereka mantap mengusung brand Sorghumfoods untuk memasarkan produk pangan mereka.
 
Produk terdiri dari gula, kecap, beras, tepung, nektar, dan cuka. Produk yang dikemas dengan sangat baik ini dapat ditemukan di lapak-lapak digital.

“Saat ini total luas lahan sorghum kami 30 ha. Ada pun varietas yang kami tanam ialah G19 dan Bioguma untuk pakan ternak. Varietas KD4, Pahat, G19, Bioguma untuk pangan seperti gula, kecap, tepung, dan beras sorghum,” ungkap alumnus Meteorologi dan Geofisika IPB tahun 2000 itu kepada AGRINA.

Sorgum pakan ditebang pada umur 60-70 hari. Sementara sorgum untuk pangan dipanen pada umur masak biji, yaitu 95-100 hari.

“Panen umur 60-70 hari karena kandungan karbohidrat nonstruktural seperti glukosa, fruktosa, sukrosa, dan pati tinggi, sementara kandungan selulosanya masih rendah sehingga mudah dicerna. Ternak dapat menghabiskan seluruh tanaman. Semakin tua tanaman, kandungan serat kasarnya, terutama lignin, makin tinggi. Tingkat kecernaan nutrisinya makin lama dan nilai energi produktifnya makin rendah sehingga dapat menurunkan konsumsi pakan,” urai Rahardi.

Sedana menerapkan sistem pertanian terpadu. Limbah dari peternakan dipasok ke lahan sebagai pupuk dasar tanaman. Daun dan bagas (batang yang telah diperas niranya) sorgum untuk pakan ternak. Biji dan niranya diolah menjadi berbagai produk pangan.

“Sapi kami beri pakan sebanyak 2% dari bobot badannya dalam bentuk berat kering, yaitu 40% hijauan dan 60% konsentrat. Misal sapi 500 kg diberi 16 kg hijauan sorgum segar dan 7,5 kg konsentrat,” rinci pria yang sebelumnya programmer ini.

Hasil penggemukan sapi cukup baik. Persentase karkas sapi lokal 55%-56%, sedangkan sapi madura bisa mencapai 58,4%. Sapi madura ini dia klaim tidak kalah dengan sapi Belgian Blue yang penampilannya berotot bak binaragawan. “Nggak perlu cetak Belgian Blue,” sentilnya.

Untuk mencegah kasus kekurangan gizi akibat melambatnya ekonomi nasional, Rahardi usul pemerintah membagikan bantuan dalam bentuk beras sorgum. Dengan begitu, pasar tercipta dan petani dapat terus menanam sorgum sepanjang tahun. Ketahanan pangan nasional pun lebih kuat.



Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain