Foto: Istimewa
Mahendra Siregar: Label Palm Oil Free melanggar hukum
Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM). Isu pelabelan makanan Palm Oil Free (POF) harus dilihat dari perspektif yang stategis karena telah merusak reputasi Indonesia. Wakil Menteri Luar Negeri, Mahendra Siregar mengatakan, secara perspektif POF tentu saja tidak baik atau merugikan industri kelapa sawit.
“Namun pada konteksnya, secara stategis yang dirugikan bukan semata-mata stakeholder sawit tetapi Republik Indonesia karena dibelakangnya adalah persepsi dan informasi yang menyesatkan dan merugikan baik reputasi Indonesia secara umum maupun pemerintah, regulator, serta berbagai pihak tentu yang melakukan penegakan hukum,” tutur Mahendra, Rabu (16/9).
Isu label POF menjadi isu seputar kesehatan seperti saturated fat yang telah terbantahkan secara ilmiah. POF dikaitkan dengan isu deforestasi yang digulirkan dan dimanfaatkan oleh beberapa pihak. Mahendra menyebut, tren POF di luar negeri dilatarbelakangi dan didorong oleh beberapa faktor diantaranya adanya idealisme suatu kelompok tertentu, sikap proteksionisme dari para ekstrimis sayap kanan dan juga kepentingan-kepentingan marketing yang mengambil peluang demi kepentingan pasar.
“Saya yakin pasar Indonesia juga memiliki beberapa idealisme serupa, namun kita bersyukur Badan POM yang merupakan lembaga yang memiliki otoritas memahami posisi strategis produk kelapa sawit,” ujar Mahendra.
Di kesempatan yang sama, Reri Indriani, Deputi III Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menjabarkan, secara hukum label POF bertentangan dengan pasal 67 poin I peraturan BPOM no.31/2008 tentang Label Pangan Olahan. Dimana “Pelaku Usaha dilarang mencantumkan pernyataan, keterangan, tulisan, gambar, logo, klaim dan/atau visualisasi yang secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa pihak lain.”
Mahendra membeberkan kompleksitas persoalan industri kelapa sawit menjadi lebih beragam, sehingga diperlukan strategi sistematis untuk menghadapi kampanye-kampanye anti kelapa sawit. Salah satunya dengan diplomasi. Diplomasi secara bilateral, multilateral bahkan pertemuan-pertemuan internasional lainnya terkait kelapa sawit selalu dilakukan pemerintah.
Ia menjelaskan, pada level multilateral, pemerintah melayangkan tuntutan melalui WTO terhadap Uni Eropa pada kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II yang saat ini memasuki tahapan penetapan panelist di settlement body. Tidak hanya itu, Indonesia juga mengajukan inisiatif penetapan Sustainable Development Goals Standard of Vegetable Oil dalam rangka menselaraskan standar untuk seluruh minyak nabati. Sementara pada tingkat regional, isu diskriminasi kelapa sawit telah merenggangkan hubungan Uni Eropa dan ASEAN.
“Pertama dalam sejarah hubungan Uni Eropa dan ASEAN akan ditunda peningkatannya karena diskriminasi yang dilakukan terhadap sawit. Seluruh anggota ASEAN bersatu demi sawit,” ujar Mahendra.
Saat ini, Indonesia bersama dengan Inggris sedang melakukan perundingan untuk menerapkan due dilligence pada proses perdagangan internasional, salah satunya kelapa sawit. Untuk menerapkan sistem yang adil, Indonesia mengusulkan penetapan acuan standar atau sertifikasi yang nantinya akan diterapkan tidak hanya untuk Indonesia namun juga pihak Inggris.
Hal ini dapat menguntungkan namun juga mengancam posisi Indonesia, dimana keterlibatan komoditas strategis lainnya seperti Kakao dan Kopi akan memerlukan standar pembangunan berkelanjutan yang sama dengan komoditas kelapa sawit.
Try Surya A