Rabu, 2 September 2020

Antisipasi OPT Agar Tak Bikin “Bete”

Antisipasi OPT Agar Tak Bikin “Bete”

Foto: Sri Sulandari
Serangan virus kerdil rumput dan kerdil hampa di Lampung

Kehilangan hasil padi akibat OPT sekitar 20%. Karena itu harus diantispasi sejak dini agar petani tidak “bete” lantaran merugi.
 
Hampir setiap musim tanam, petani padi menghadapi potensi serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Menurut Dr. Jamhari, SP, MP, Dekan Fakultas Pertanian UGM, kehilangan hasil (losses) di bidang pertanian akibat ulah OPT cukup besar.
 
“Kami di bidang ekonomi pertanian mencatat ada losses sekitar 20% pada padi. Memang mayoritas (53%) rata-rata losses kurang dari 25%. Ini kata sensus pertanian kita yang terakhir. Tapi ada juga yang cukup tinggi lebih dari 75%.Ini dialami 1% dari petani padi yang disensus. Yang losses-nya antara 50-75%, ada 6% petani. Bisa dibayangkan kalau jumlah petani kita 25 juta, maka masih sangat besar losses yang diakibatkan OPT,” ujar Jamhari dalam pengantar webinar “Kupas Tuntas Pengelolaan Wereng Cokelat dan Virus Kerdil pada Padi” (24/8).
 
Doktor ekonomi pertanian lulusan Tohoku University, Jepang, itu berharap, para alumnus Departemen Proteksi Tumbuhan bisa berkontribusi secara nyata ikut menekan kehilangan hasil pada padi. Dengan begitu, target peningkatan produksi padi nasional pun sangat mungkin dicapai melalui pengurangan losses mulai dari sawah.
 
 
Deteksi Dini Spot WBC
 
Bicara hama padi, wereng batang cokelat (WBC) pastinya masih termasuk serangga OPT yang top sampai saat ini. Padahal serangga bernama ilmiah Nilaparvata lugens itu sudah eksis sejak 1960-an. Prof. Dr. Ir. Y. Andi Trisyono, M.Sc., ahli wereng dalam webinar tersebut berpendapat,“Kita ini sebetulnya sudah punya cukup ilmu dalam mengendalikan wereng cokelat. Kedua, teknologi yang ada saat ini saya masih yakin masih mampu untuk mengendalikannya.”
 
Ketua Perhimpunan Entomologi Indonesia itu masih sering melakukan pemantauan ke lapangan. Juni 2019, Andi berkeliling di Klaten, perbatasan dengan Sukoharjo, salah satu daerah langganan serangan WBC di Jawa Tengah.
 
“Saat itu kami hanya menemukan satu spot. Bulan Juni 2019 cuaca sangat panas sehingga kondisi di lapangan tidak mendukung WBC. Spot ini kami temukan di bawah tiang listrik dan pohon pelindung. Jadi, memang sama dengan apa yang sudah kita ketahui bahwa kondisi yang agak adem, kelembapan yang cukup, itu merupakan persyaratan untuk populasi WBC bisa berkembang dengan baik,” ungkapnya.
 
Sepuluh bulan berikutnya, Maret 2020, Andi kembali turun ke Klaten. Saat itu, dia menemukan lebih banyak spot WBC. Populasinya didominasi serangga dewasa siap terbang karena tanamannya sudah mengering diisap cairannya (hopperburn). Tiga kilometer dari lokasi tersebut, terlihat hamparan luas tanaman fase vegetatif yang masih sangat hijau. “Namun kalau kita lihat, dalam satu rumpun terdapat sampai 100 nimfa satu (WBC baru menetas),” ulasnya.
 
Dari sana kita ketahui, kalau ada hopperburn spot kecil, werengnya sudah terbang mencari tanaman yang lebih muda, lebih hijau, dan mungkin mendarat di sekitar itu. Jadi, itulah pola migrasinya sehingga penanganan tidak bisa hanya di spot-spot terbakar saja tapi juga lokasi lain perlu pengecekan.
 
Pada Juni-Agustus 2020, berdasarkan pantauan lapangan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur ternyata sudah lebih banyak hopperburn (gejala serangan WBC seperti terbakar) dibandingkan Maret lalu. Pun info dari Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) dan dinas terkait menyatakan, “Ada eskalasi mengenai luas serangan dan permasalahan yang disebabkan wereng cokelat,” papar alumnus Michigan State University dan University of Missoury, Amerika Serikat itu.
 
 
Kemarau 2020 Sangat Kondusif
 
Kita tentu tidak ingin WBC memerahkan, bahkan mencokelatkan, peta sentra padi nasional seperti 2011 silam. “Serangan mulai terpantau pada 2009 dan 2010 semakin meluas. Sebagian besar Jawa banyak yang merah menunjukkan luas serangan. Sebagian Sumatera juga menguning. Data BBPOPT l (Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan) luas serangan 2011 lebih dari 218 ribu ha. Dan produksi beras 2011 berkurang 2 juta ton. Tentunya tidak hanya karena WBC tapi kalau dihubungkan dengan hopperburn, maka WBC berkontribusi cukup tinggi,” Andi mengingatkan.
 
Karena itu Dosen Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan (HPT), Faperta UGM, itu mengajak para pemangku kepentingan untuk memikirkan langkah bersama agar efektif dan efisien dalam mengelola WBC. “Kondisi musim kemarau 2020 ini sangat kondusif bagi WBC, yaitu tidak terlalu panas, kelembapan cukup tinggi, seringkali masih ada hujan. Ini sangat berbeda dengan 2019. Kalau kondisi 2020 dapat kita tangani, 2021 luas serangan akan turun. Namun kalau kondisi yang kondusif ini tidak tertangani dengan baik, maka mungkin ada kekhawatiran apa yang terjadi pada 2011 itu bisa terjadi 2021,” cetusnya sembari menambahkan serangan 2017-2018 pun sangat luas di Jawa Barat.
 
Ledakan WBC terjadi karena lima faktor, yakni resistensi, resurgensi, patahnya sifat tahan varietas padi, rendahnya peran musuh alami, dan kondisi cuaca makro yang mendukung. Resistensi dan resurjensi terkait ketahanan OPT terhadap bahan kimia pestisida. Pada 2010, Andi melakukan penelitian di laboratorium. Hasilnya, WBC selain sudah tahan terhadap organofosfat, juga tak mempan lagi dikendalikan dengan kelompok neonikotinoid seperti imidakloprid.
 
 
Strategi Jangka Pendek dan Panjang
 
Untuk jangka pendek, Andi berkaca pada pengalaman penanganan puncak serangan hebat 2011 di Klaten. Waktu itu petani lima musim tidak bisa panen meskipun telah melakukan penyemprotan pestisida sampai 20 kali dalam satu musim.
“Ketika populasi wereng sangat tinggi, pilihannya ya tindakan kuratif dengan pestisida yang daya bunuhnya cepat. Pilih bahan aktif yang belum mengalami resistensi. Kelompok karbamat masih oke. Hindari piretroid dan organofosfat. Pastikan volume semprotnya cukup. Kalau memilih pestisida nabati, jangan menggunakan dalih karena ini alami maka bisa digunakan pada waktu populasi wereng masih bisa dikendalikan oleh alam,” tegasnya.
 
Dalam kondisi wabah, aplikasi pestisida tidak bisa hanya sekali. Bila yang terserang tanaman muda, gunakan karbamat atau yang lain untuk mengendalikan serangga dewasa. Seminggu kemudian, periksa apakah masih ada penetasan baru (nimfa). Kalau ada, manfaatkan bahan aktif untuk nimfa. Penggunaan bahan aktif yang sama, maksimal tiga kali berturut-turut supaya tidak terjadi resistensi.
 
Strategi pengelolaan jangka menengah dan panjang, diawali dengan pemikiran rotasi tanaman. Bila tiga kali tanam padi, buatlah jeda antarmusim. Varietas tahan wereng yang ditanam pada musim depan sebaiknya tidak sama untuk menghindari lahirnya biotipe baru WBC.
 
Teknologi kedua adalah konservasi dan stimulasi peranan musuh alami. “Satu contoh yang sudah banyak dilakukan POPT, penyuluh dan petani adalah menanam tanaman berbunga (refugia) di pinggir sawah. Itu secara ilmiah sudah dibuktikan mampu mendukung perkembangan musuh alami,” ulasnya.
 
Langkah berikutnya adalah  pengendalian mekanis, pemasangan perangkap, dan kultur teknis. Penanaman refugia mendahului padi dan dijaga kelangsungan hidupnya  sepanjang waktu karena polen dan madunya menjadi sumber pakan bagi musuh alami. “Kalau ini kita lakukan dan kemudian populasi hamanya di bawah ambang ekonomi, maka jangan menggunakan teknologi-teknologi di atasnya,” lagi-lagi Andi menekankan.
 
Ketika berdasarkan pantauan lapangan, sudah ada tanda-tanda populasi WBC naik, pilihan pertama, melepas stok musuh alami dari laboratorium untuk membantu. Jika belum terkendali, gunakan pestisida hayati dan nabati.
 
Bila pestisida berbahan tumbuhan dan mikroorganisme tersebut belum mampu juga mengendalikan WBC, pilihan terakhir adalah pestisida kimia sintetik yang notabene berdaya kerja lebih cepat untuk menurunkan populasi WBC. Tindakan kuratif ini perlu dibarengi langkah-langkah untuk jangka panjang secara preventif.
 
Pada kesempatan lain, Frendy Tarigan, Brand Manager Insektisida Syngenta Indonesia memberikan saran tentang penggunaan insektisida sebagai langkah kuratif. “Petani sebaiknya sering melakukan pengamatan di lapangan.  Bila ditemukan wereng batang cokelat pada rumpun padi, segera melakukan pengendalian. Aplikasi insektisida dianjurkan bila jumlah populasi WBC per rumpun sudah melewati ambang ekonomi berdasarkan rekomendasi setempat,” tuturnya kepada AGRINA.
 
Produk andalan pengendali WBC keluaran Syngenta adalah Plenum 50WG yang berbahan aktif pimetrozin 50%. Insektisida sistemik ini bersifat menghambat aktivitas makan serangga, berbentuk butiran berwarna kecokelatan yang dapat dilarutkan dalam air. Dosisnya 250-300 g/ha diaplikasikan dengan penyemprotan volume tinggi 500-600 liter/ha. “Sebaiknya dilakukan maksimal dua kali penyemprotan hingga panen,” saran Frendy.
 
Sebelum aplikasi pestisida, dia juga menekankan pentingnya petani melakukan pengamatan hama secara rutin di lapangan, pemusnahan sisa-sisa panen, dan penanaman serentak serta perlakuan benih. Lebih cepat ditemukan WBC, lebih besar peluang mencegah padi gosong akibat isapan hama tersebut.
 
 
Virus Kerdil Bisa Bikin Puso
 
OPT lain yang mengikuti WBC adalah dua jenis virus kerdil, Rice Grassy Stunt Virus (RGSV) alias kerdil rumput dan Rice Ragged Stunt Virus (RRSV) atau kerdil hampa. Virus ini bisa menyerang secara tunggal atau bersama-samamenyebabkan penyakit kerdil kuning.
 
Menurut Dr. Sri Sulandari, SU, Dosen HPT Faperta UGM, dalam webinar yang sama, sejak 10 tahun belakangan berakhirnya wabah WBC selalu diikuti penyakit kerdil kuning.  “Serangan virus kerdil tidak hanya terjadi saat wabah WBC. Ketika dilaporkan ada serangan WBC di suatu daerah, akan kita jumpai gejala seperti itu,” tutur Ndari, sapaan akrabnya. Dia menunjukkan kasus di Sleman (DIY) 2015, Bantul (DIY) 2017, Karawang (Jabar) 2018, Lampung 2019, dan akhir-akhir ini di Klaten (Jateng) 2020. Jadi, serangan tersebut selalu ada tetapi berbeda-besa intensitasnya.
 
Gejala serangan virus itu bervariasi. Tanaman terlihat kerdil sampai sangat kerdil menyerupai rumput. Anakan lebih banyak daripada yang sehat, bahkan jauh lebih banyak. Warna daun kuning pucat hingga oranye tetapi tetap ada warna hijau. Helai daun menggulung ke bagian dalam dan kaku. Kadang tampak bercak seperti karat, mengalami malformasi sehingga terasa kasar diraba. Daun bendera memuntir dengan ujung daun membentuk spiral. Jumlah malai sangat sedikit dan bahkan tidak menghasilkan malai. Bulirnya hampa dan berwarna cokelat hitam.
 
Lebih jauh Ndari mengatakan, penyakit yang belum banyak mendapatkan perhatian petani tersebut bisa menyebabkan pertanaman puso alias tidak panen bila serangannya sangat berat. “Pada serangan berat, penurunan hasilnya di atas 60%. Kategori sedang 20%-40%, dan yang ringan, spot-spot 10%-20%,” rincinya. Hasil wawancaranya dengan petani, panen bagus bisa menghasilkan Rp10 juta. Namun ketika terserang berat, petani hanya meraup Rp1 juta-Rp1,5 juta.
 
 
Cara Pengendalian
 
Penyakit kerdil kuning hanya ditularkan oleh WBC. Sekali mengandung virus, sepanjang hidupnya WBC, baik jantan maupun betina, mampu menularkan virus kerdil ke tanaman padi. Karena itu penting sekali mengelola dulu sang penular (vektor). Sanitasilahan agar tidak ada sumber inokulum.
 
“Virus ini parasit obligat dan sistemik. Tidak ada senjata pamungkas seperti fungsida dan insektisida. Satu-satunya jalan adalah mencegah infeksi virus sejak dini ya sejak pembibitan,” ujar Ndari yang menyelesaikan pendidikannya hingga S3 di Faperta UGM.
 
Pertama, menggunakan bibit sehat. Lahan pembibitan ditutup kain kasa yang kedap serangga. Selain itu, bibit juga diperlakukan dengan agensia hayati. Sejauh ini agensia hayati yang siap diproduksi massal secara mudah adalah bakteri Bacillus sp. “Di tengah serangan WBC dan virus kerdil, ternyata penggunaan bibit yang sehat diperlakukan agensia hayati, produksi padi masih bisa naik,” ujarnya. Pembibitan seperti itu, menurut dia, sebaiknya dilakukan secara bersama dalam kelompok tani.
 
Aplikasi agensia hayati bisa dengan cara merendam benih atau disemprotkan di daerah perakaran seminggu sekali selama masa vegetatif. Manfaatnya bukan hanya meningkatkan ketahanan tanaman tetapi juga mengurangi penggunaan pupuk. Selain itu, Ndari juga menganjurkan penanaman refugia yang terbukti mengurangi kejadian penyakit.
 
Untuk mengendalikan penyakit dalam kawasan, dia menganjurkan pemberdayaan kelompok tani. Mereka juga perlu diberi informasi lebih jauh tentang penyakit kerdil karena selama ini mereka hanya memperhatikan kala fasenya sudah berat.
 
 
 
Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain