Foto: Dok. Hobiternak
Gumboro dapat menular ke unggas yang imunnya lemah melalui feses
Kejadian penyakit viral gumboro masih terhitung besar di Indonesia. Bagaimana evaluasi dan pengendaliannya?
Gumboro bersifat endemik di lingkungan peternakan. Penyakit dengan nama lain Infectious Bursal Disease (IBD) ini menyerang, baik di peternakan ayam layer (petelur) maupun ayam broiler (pedaging). Selain kematian, gumboro dapat pula menyebabkan terjadinya imunosupresi yang mengakibatkan unggas menjadi rentan terhadap infeksi mikroorganisme patogen lain.
Dedi Nur Aripin, Technical Service Hipra menuturkan, pada kandang yang pernah mengalami kasus gumboro, virus akan cenderung bertahan di lingkungan. Hal ini lantaran struktur virusnyatidak beramplop (non-enveloped) sehingga bersifat sangat stabil di lingkungan dan resisten terhadap beberapa disinfektan.
“Adanya vektor kumbang franky (Alphitobius diaperinus) menjadikan gumboro semakin bertahan dan sulit dieliminasi dari lingkungan kandang,” tukasnya.
Budi Purwanto, Animal Health Senior Manager Medion menanggapi, penyakit yang disebabkan virus dari famili Birnaviridae ini lebih stabil dan mampu bertahan hidup lebih dari tiga bulan di lingkungan.
Berbeda dengan virus penyebab penyakit Avian Influenza (AI), Newcastle Disease (ND), dan Infectious Bronchitis (IB), gumboro lebih sulit dihancurkan oleh disinfektan lantaran terhalang lapisan protein.
Dengan demikian, jika pembersihan dan istirahat kandang tidak dilakukan secara benar, maka kemungkinan besar virus masih tertinggal dan risiko terserang kembali cukup tinggi.
“Virus ini tahan juga terhadap pelarut organik, dan juga relatif tahan terhadap ether, kloroform, dan tripsin. Akan tetapi sangat peka terhadap disinfektan yang mengandung formalin dan larutan yodium,” rincinya.
Ranking Teratas Penyakit Viral
Kejadian penyakit yang disebabkan virus dari genus Avibirnavirus ini masih sering dilaporkan di peternakan unggas. Budi mengungkapkan, berdasarkan data yang dirangkum Medion, gumboro menduduki ranking pertama penyakit viral pada ayam pedanging. Sementara pada ayam petelur, menempati posisi ketiga di bawah AI dan ND.
Ia mengulas, kejadian gumboro pada 2019 lebih tinggi dari tahun sebelumnya, baik pada layer maupun broiler. Perkembangannya hingga semester pertama2020 juga mengalami peningkatan ketimbang 2019.
Kasus gumboro, bahasnya, mengalami peningkatan tren pada musim hujan dan peralihan cuaca (pancaroba). Pada September, trennya meningkat hingga Januari.
Budi mengingatkan, “Peternak perlu mewaspadai musim-musim basah atau pancaroba yang menyebabkan ayam mengalami stres dan kondisinya jadi menurun,”
Dilihat dari sisi umur, jabar dia lebih lanjut, serangan gumboro pada ayam pedaging paling sering pada umur 22-28 hari, kemudian kelompok umur 15-21 hari. Sedangkan pada ayam petelur, umur paling rawan adalah 22-28 hari. Berikutnya, 29-35 hari dan 15-21 hari.
“Range umur itu merupakan waktu organ kekebalan primer berkembang dan aktif bekerja, yaitu 3-6 minggu. Oleh karena itu harus waspada,” tuturnya.
Dedi pun mengamini hal tersebut. Menurutnya, virus gumboro sulit dieliminasi secara total dan berulang di lingkungan kandang. Terutama pada peternakan yang manajemen biosekuritinya kurang optimal.
Umumnya, gumboro mulai terjadi saat kondisi cuaca yang fluktuatif disertai kelembapan tinggi. Pada kondisi demikian, mikroorganisme patogen berkembang di lingkungan kandang.
Di lain kesempatan, Roiyadi, SBU Animal Health & Livestock Equipment – Marketing Vaksindo menyebutkan, terjadinya gumboro lantaran virus masih ada di dalam kandang dan menginfeksi ayam yang imunitasnya kurang baik.
Pencucian dan desinfeksi kandang yang tidak totalakan membuat virus dari periode sebelumnya masih tersisa sebelum bibit anak ayam (Day Old Chicken – DOC) masuk.
“Virus bisa saja masuk ke kandang yang steril (desinfeksi total) terbawa orang atau serangga dari luar,” terangnya.
Penularan dan Gejala
Ayam yang terserang gumboro dapat menularkan ke unggas lain melalui feses. Unggas yang terinfeksi, imbuh Dedi, biasanya mengeluarkan virus melalui feses dari hari kedua hingga hari kesepuluh pascainfeksi. Gejala klinis yang ditunjukkan seperti demam dan kotorannya putih disertai dengan kematian yang meningkat.
Ketika dinekropsi (pembedahan post mortem), terjadi pembengkakan bursa (oedematous), pendarahan bursa fabricius, serta perdarahan pada otot dada atau paha. Sementara ayam yang bertahan akan mengalami imunosupresi sebagai akibat kerusakan di bursa fabricius. Efek imunosupresif yang sangat besar dapat menggagalkan program vaksinasi.
“Kondisi tersebut biasa terjadi pada infeksi gumboro strain very virulent (vvIBDV) dan classic (caIBDV) dengan tingkat keparahan penyakit tertinggi pada infeksi strain very virulent,” bebernya.
Di samping itu, juga dapat ditemukan keadaan imunosupresi parah dengan gejala klinis tidak spesifik yang disebabkan oleh infeksi gumboro strain variant (vaIBDV). Strain ini menyebabkan kerusakan pada bursa fabricius ayam, bahkan ketika titer maternal antibodi dalam keadaan tinggi dan seragam.
Bursa fabricius ayam yang terinfeksi mengalami atrofi cepat (deplesi limfosit) tanpa adanya tanda peradangan seperti yang teramati pada awal infeksi Gumboro strain classic.
Budi menambahkan, selain penularan secara horizontal, biasanya serangan gumboro pada ayam di bawah umur tiga minggu bersifat subklinis (tanpa gejala). Semakin tua ayam yang terserang, tingkat kesakitan dan kematian cenderung menurun. Angka kematian biasanya bervariasi, antara 20%-70%, tergantung tingkat virulensi, infeksi sekunder, dan umur saat terinfeksi.
“Tanda-tanda klinis yang sering terlihat itu ayam cenderung mematuk-matuk daerah kloaka (karena bursa fabricius terletak berdekatan dengan kloaka), lesu, nafsu makan turun, diare berwarna keputihan, daerah kloaka kotor, depresi, bulu berdiri, dan dehidrasi,” jabar Budi.
Manajemen Brooding
Roiyadi mengatakan, faktor manajemen brooding yang kurang baik akan menyebabkan ayam tumbuh dalam keadaan stres dan pertumbuhannya jadi kurang baik. Hal ini akan berdampak kepada turunnya kualitas daya tahan ayam ketika ada serangan penyakit.
Periode brooding merupakan periode pemeliharaan dari DOC (chick in) hingga umur 14-21 hari (hingga lepas pemanas) yang menentukan performa ayam ke depannya. Adanya kesalahan manajemen pada periode ini seringkali tidak bisa dipulihkan dan berdampak negatif terhadap performa ayam di fase berikutnya.
Seperti halnya keberhasilan vaksinasi, kaitannya sangat erat dengan hal ini. Sebab, pada masa ini organ kekebalan tubuh ayam berkembang pesat.
Dedi menjelaskan, pada saat brooding terjadi penyerapan kuning telur yang mengandung antibodi dari induk (Mab). proses tersebut berperan sebagai transfer kekebalan pasif untuk melindungi unggas dari gumboro sampai dengan terbentuknya kekebalan aktif.
Pada umur satu minggu perkembangan organ limfoid sudah mencapai 70%. Perkembangan optimal dari organ limfoid ini berkaitan erat dengan penggertakan kekebalan aktif yang akan menggantikan peran kekebalan pasif yang diturunkan dari induk ke anak ayam.
Karena itu, Budimengingatkan, jika berat badan ayam tidak mencapai standar,maka perkembangan organ limfoid pun terganggu. Keberhasilan vaksinasi yang dilakukan pada periode inipun terpengaruh.
Biosekuriti dan Vaksinasi Terukur
Biosekuriti menjadi hal yang pertama, namun vaksinasi bersifat mutlak. Dedi mengimbau, vaksinasi sangat disarankan sebagai pengendalian lantaran gumboro bersifat endemik. Metode vaksinasinya menyesuaikan dengan jenis vaksin yang digunakan, di antaranya vaksin klasik, imun kompleks, dan rekombinan.
Untuk penggunaan vaksin klasik, penting untuk menentukan waktu terbaik dalam melakukan vaksinasi dengan menyesuaikan titer maternal antibodi yang dapat ditembus oleh virus vaksin. Biasanya, vaksin dimasukkan melalui air minum.
Sebelum vaksinasi, kondisi umum ayam dilihat dan dihitung kebutuhan vaksindanairnya.Air minumnyaharus bebas dari senyawa yang bisa merusak atau mematikan virus vaksin.
Sedangkan dalam pemanfaatan vaksin imun kompleks atau rekombinan, pemasukannya secara in ovo atau subkutansehingga dosis yang diberikan pastitepat.
Vaksin imun komplek diadministrasikan secara in ovo lantaran adanya formulasi antibodi spesifik (IgY) gumboro yang melapisi virus vaksin. Kemudian vaksin rekombinan, karena protein dari virus gumboro ditempelkan ke virus HVT Marek.
“Setelah vaksinasi perlu dilakukan evaluasi keberhasilan vaksinasi dan performa ayam,” tuntas Dedi.
Try Surya Anditya