Kamis, 2 April 2020

HORTIKULTURA : Jeruk Dekopon Lampung, Menunggu Dilirik Konsumen

HORTIKULTURA : Jeruk Dekopon Lampung, Menunggu Dilirik Konsumen

Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
Buah jeruk dekopon muda

Rasanya segar dan lebih cepat berbuah.
 
Mencoba sesuatu yang baru merupakan sikap pionir Ngatimin, petani di Desa Batangharjo, Kec. Batanghari, Kab. Lampung Timur, Lampung.
 
Meski belum pangsa pasarnya belum jelas, petani gaek ini tak pikir panjang untuk menanam jeruk dekopon mengingat potensinya yang besar.
 
Dengan perawatan yang mudah dan minim biaya, dekopon dapat menjadi primadona baru pertanian Indonesia. Dari lahan 500 m2, dapat dipanen sekitar 1,5 kuintal jeruk. Satu tanaman menghasilkan hingga 25 kg dekopon.
 
 
Keunggulan
 
Menurut Ngatimin, jeruk dekopon memiliki sedikit perbedaan dengan jeruk yang beredar di pasar. Dekopon memiliki ukuran lebih besar dibandingkan jeruk lokal.
 
Kulitnya lebih tebal, daging buah tidak memiliki biji, bentuknya selintas mirip buah pir, namun warnanya kuning kemerahan. 
 
Kelebihan lainnya pertumbuhan yang cepat, terutama bila dirangsang dengan media tanam, pupuk, dan zat pengatur tumbuh yang sesuai. Jeruk dekopon tergolong genjah alias cepat berbuah.
 
Dalam 1 atau 2 tahun sejak menjadi bibit, sudah berbuah. Dekopon tumbuh lebih subur di dataran tinggi. Meski begitu, menurut pengalaman petani berusia 70 tahun ini, dekopon juga bisa berbuah lebat di dataran rendah.
 
Yang membedakan adalah warna buah dan ukurannya. Di dataran rendah, dekopon berwarna kuning, sedikit keriput, dan ukurannya kecil.
 
Menurut berbagai sumber, jeruk dekopon berasal dari Jepang. Nama asli dekopon adalah shiranui. Shiranui diberi nama sesuai daerah tanamnya.
 
Misalnya, shiranui dari Prefektur Ehime bermerk himepon. Shiranui merk dekopon asalnya dari prefektur Kumamoto. Bisa dibilang, dekopon adalah merk dagang. Namun lama-kelamaan nama dekopon lebih familiar di telinga orang Indonesia.
 
Di Indonesia, dekopon banyak ditanam di Ciwidey, Bandung, Jabar. Sementara di Lampung, selain di Lampung Timur, dekopon juga mulai ditanam di Pesawaran. 
 
 
Dekopon
 
Setelah sebelumnya menanam jeruk keprok BW, di 2018 Ngatimin menanam dekopon. Bibit jeruk dibeli putrinya Listiana di Pekalongan, Lampung Timur. Tahap awal ditanam 50 batang dan bulan berikutnya ditambah 50 batang dengan harga Rp15 ribu/batang.
 
Bibit dekopon ditanam pada sawah 1.000 m2 dengan membuat lubang berukuran 75 x 75 cm, kedalaman 50 cm, dan jarak tanam 3 m. Lubang ditaburi pupuk kandang.
 
Ketika jeruk mulai mengeluarkan pucuk baru, pupuk ditebar dengan cara dikocor pada jarak 1 m dari pokok batang. Pemupukan setiap awal musim hujan dengan kombinasi pupuk Mutiara, SP36, KCl, dan Ponska.
 
Selain itu, disemprot dengan bahan aktif vitamin C. Selanjutnya, potong cabang bawah batang agar buah tidak menyentuh tanah. 
 
Berbeda dengan jeruk BW yang baru berbuah pada umur 2 tahun ke atas, dekopon mulai berbuah di umur 5 bulan. “Jadi saya kaget begitu jeruk yang batangnya baru sekitar 0,5 m lebih dari tanah sudah mulai berbunga,” ujar Ngatimin di dampingi putrinya, Mutia Ade Dea. 
 
Mengenai hama dan penyakit, hampir sama dengan jeruk BW. Kutu daun dan kutu bor yang paling membahayakan dan menyerang buah muda. Akibatnya, jeruk menguning dan busuk. Hama lebih banyak menyerang pada musim pancaroba atau cuaca ekstrim.
 
 
Kendala Pemasaran
 
Menurut Ngatimin, pemasaran menjadi kendala pengembangan dekopon. Hal ini karena masih asingnya dekopon di mata masyarakat Lampung.
 
Selain citarasanya masih baru di lidah warga, yakni manis-asam, juga dalam sekilogram hanya ada 2 atau 3 buah. “Jeruk ini sudah ramai dijumpai di Jawa, namun di Lampung sendiri masih baru,” ungkap petani kelahiran tahun 1950 itu. 
 
Padahal, jeruk dari negeri sakura ini punya beberapa kelebihan, seperti lebih kaya vitamin C. Bentuknya pun lebih besar dan rasanya lebih segar.
 
Selain ukurannya berbeda dengan jeruk lokal, dekopon memiliki ciri khas benjolan kecil di bagian atas jeruk. “Di Jepang dekopon tergolong buah yang cukup mahal. Harganya berkisar 800 yen atau sekitar Rp80 ribu/kg,” jelasnya.
 
Sebagai solusi pemasaran, Ngatimin berencana memasukan ke supermarket. Ia masih menghitung harga yang layak, sekitar Rp20 ribu-Rp25 ribu/kg sehingga harga di supermarket Rp25 ribu-Rp30 ribu/kg.
 
Jika pemasaran lancar, ia yakin budidaya dekopon cukup menjanjikan. Selain berbuah lebih cepat daripada jeruk BW, produktivitas per pohon juga cukup tinggi, mencapai 15-25 kg/tanaman atau rata-rata 40-50 buah/tanaman sehingga menjadi potensi yang dapat dikembangkan secara maksimal.
 
Alternatif pemasaran lain dengan mengundang pengunjung memetik jeruk di kebunnya. Jeruk yang dipetik ditimbang dan dibayar dengan harga tertentu.
 
Ngatimin masih menilai pemasaran yang tepat. “Kalau dari sisi promosi agar jeruk dekopon lebih cepat dikenal masyarakat, memang cara pemasaran dengan mengundang warga lebih baik,” akunya.
 
 
Tanam Jeruk
 
Di samping dekopon, Ngatimin masih menanam jeruk BW. Saat ini ada 300 batang jeruk BW yang sudah berproduksi. Rata-rata jeruk BW dijual Rp10 ribu/kg.
 
Hasil jeruk untuk luas lahan setengah ha mencapai 4 ton/tahun. Setiap panen, ia membuka kebun untuk umum. Warga yang ingin membeli bisa langsung memetik di kebun lalu menimbangnya.
 
Sebelum budidaya jeruk, Ngatimin menanam padi. Ia beralih ke jeruk karena setiap panen, harga gabah jatuh. Hasil menanam jeruk mencapai 2 kali lipat padi.
 
Menanam padi di lahan seperempat ha menghasilkan Rp10 juta/tahun dengan 2 kali panen sementara jeruk mencapai Rp20 juta/tahun.  
 
Awalnya ia menanam jeruk seluas 0,25 ha hingga kini sudah 3 kali bongkar. Umur ekonomis jeruk 10 tahun. Setelah itu produksi turun harus diremajakan.
 
Namun sebelumnya, disela tanam padi 2 musim untuk memutus rantai hama dan penyakit. Selain itu, ia tetap menanam padi untuk konsumsi keluarga seluas 1 bahu atau sekitar tiga perempat ha.
 
 
 
Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain