Kamis, 2 Januari 2020

PETERNAKAN : Menakar Peluang Industri Tepung Telur Domestik

PETERNAKAN : Menakar Peluang Industri Tepung Telur Domestik

Foto: Istimewa
Tepung telur, lebih tahan simpan, lebih mudah digunakan dan diangkut

Produksi telur nasional berlebih. Peternak merasa jenuh dengan harga yang turun setiap tahun. Apakah industri tepung telur bisa jadi solusi?
 
Sampai saat ini belum ada industri tepung telur (egg powder) di Indonesia. Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, impor tepung telur terus meningkat setiap tahun. Tepung telru digunakan dalam industry makanan dan minuman, seperti roti, biskuit, permen, mayonais, krim nougat, serta sebagai bahan perekat.
 
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, impor tepung kuning telur dan putih telur pada 2015 sebesar 1.310,33 ton. Volume impor meningkat menjadi 1.785,1 ton pada 2018. Sedangkan pada 2019 dari Januari hingga Agustus impor tepung telur sebesar 1.130,27 ton.
 
Di sisi lain produksi telur di dalam negeri mengalami surplus. I Ketut Diarmita, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, menjelaskan, produksi telur dalam empat tahun terakhir rata-rata meningkat kurang lebih 1 juta ton/tahun.
 
Ia merinci, produksi telur 2019 sebanyak 4.753.382 ton atau rata-rata 396.115 ton/bulan. Sementara itu, kebutuhan nasional sebesar 4.742.240 ton atau rata-rata 395.187 ton/bulan.
 
“Artinya terdapat surplus sebesar 11.143 ton atau rata-rata 929 ton/ bulan,” jelas Ketut pada diskusi terbatas bertema “Industri Pengolahan Telur- Pasti Bisa” yang digelar Kementan dan Pataka di Jakarta beberapa waktu lalu.
 
 
Berbenah Kualitas
 
Menurut Dirjen, suplai telur nasional berlebih, peluang industri tepung telur pun terbuka lebar. Namun kualitas telur harus menjadi kunci utama.
 
“Peternak bisa diajarkan untuk mengejar kualitas dan efisiensi karena akan terus bersaing, tanpa kualitas tidak akan laku. Supaya laku, dididik dengan baik hingga nanti ada pengolahan produk akhir. Ending-nya terbangun pabrik tepung telur di Indonesia,” harapnya. 
 
Franciscus Welirang, Ketua Umum Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) sependapat, sangat penting bagi peternak untuk mengetahui kualitas telur.
 
Telur yang didapatkankonsumendalam peti belum tentu aman. Terkadang telur masih ada bulu ayam, telurnya lengket, atau bahkan ada kotoran.
 
Padahal kulit telur berpori-pori hingga bakteri mudah masuk ke dalam telur sehingga perlu ada edukasi kepada peternak tentang keamanan hingga standar kualitas telur.
 
“Dalam pascapanen peternak tidak bisa membersihkan secara manual,harus menggunakan mesin. Jadi peternak harus mencanggihkan diri agar memiliki target pasar. Apalagi, kalau sudah bekerja sama dengan industri ada kepastian mendapatkan telur setiap hari dan harga yang diperoleh sesuai standar kualitas telur,” jelas Franky, sapaannya, yang mengimpor tepung telur dari India.
 
 
Hilirisasi Selamatkan Harga
 
Sementara itu, Yudianto Yogiarso, Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Petelur Nasional, berpendapat, ide perintisan industri tepung telur sangat bagus.
 
Ada dua fokus, yaitu pertama, harga telur selalu turun secara drastis setiap tahun, tidak ada solusi sama sekali. Kedua, tujuan rintisan industri tepung telur sebagai penyangga saat produksi dalam negeri berlebih.
 
“Pinsar ingin menegaskan, sudah merasa jenuh sekali dengan kondisi turunnya harga telur setiap tahun. Mari duduk bersama untuk membenahi perunggasan nasional,” cetus Yudi.
 
Produk hilir, lanjut dia, ke depan sangat dibutuhkan. Seperti peternak Amerika misalnya, telah mengembangkan produk turunan telur.
 
Peternak nasional bisa diberikan edukasi dalam hal tersebut. Di Thailand, sudah ada yang mengolah cangkang telur menjadi bedak dan kalsium. Kotoran ayam diolah menjadi pembangkit listrik dan sebagainya.
 
“Pengolahan limbahnya sangat baik sekali dan disetujui pemerintah setempat karena membantu penyediaan daya listrik. Kalau hilirisasi akan diterapkan di Indonesia tentu butuh proses. Perlu adanya pertemuan antara integrator, peternak layer, broiler, dinas terkait untuk memberikan edukasi dan mendorong percepatan,” harap Yudi.
 
 
Belajar dari India
 
Wahyuni Rianti, Kasubdit Hasil Laut, Perikanan, dan Peternakan, Kementerian Perindustrian, menyatakan, Kemenperin mendukung produk hilirisasi. Selain memperpanjang masa simpan, pengolahan telur untuk mempermudah penggunaan, efisiensi penyimpanan dan pengiriman.
 
“Produk olahan bisa dalam bentuk beku, tepung atau pun refrigerated liquid (telur beku).Liquid sudah ada industrinya. Biasanya untuk mayonaise.Tapi kalau tepung putih telur dan kuning masih tergantung pada impor. Kalau ingin dibuat industri rintisan pasti Indonesia bisa,” jelasnya.
 
Wahyuni mengungkapkan, tepung telur banyak diimpor dari India, Ukraina, dan negara Eropa lainnya. Mengacu pada data impor 2018, jumlah impor tepung kuning telur mencapai 695 ton dan tepung putih telur 1.089 ton.
 
Memang, Indonesia sudah mampu memproduksi telur hingga melebihi kebutuhan. Namun, untuk membangun industri tepung telur harus melalui studi kelayakan.
 
Perlu ada perhitungandalam operasional industri dan mesin yang menunjang. “Kalau suplai bahan baku secara kontinu bisa diperoleh, bisa mengetahui pasar, dan harga kompetitif kenapa tidak dibangun. Kenapa kita harus menunda-nunda,” tegasnya.
 
Menurut Wahyuni, pasar produk tepung telur di Indonesia cukup potensial, tapi tantangannya adalah pemasaran produk tepung telur lokal. “Harga tepung telur impor cukup murah.
 
Mengacu data impor 2018 nilai impor tepung kuning telur US$3,5 juta dan nilai impor tepung putih telur US$5,4 juta. Sehingga bisa dihitung harga tepung telur impor sekitar US$5/kg atau Rp70.500/kg,” bebernya. 
 
Sebelum mendirikan pabrik tepung telur, ada baiknya melihat pasar internasional. Dalam laman researchandmarkets.com tren tepung telur akan terus meningkat hingga 2024. Pasar bubuk telur global mencapai 197.552 ton pada 2018, tumbuh sekitar 4% selama 2011-2018.
 
Salah satu produsen dan eksportir utama tepung telur adalah India. Dalam laman livechennai.com disebutkan, harga telur bulanan Agustus – Desember 2019 di 12 wilayah berturut-turut adalah INR (Rupee) 351,5, 385,2, 419.4, 438, 468, dan 489,6 per 100 butir.
 
Dengan asumsi kurs Rp195/rupee dan 1 kg telur berisi 16 butir, maka harga telur sebagai bahan baku tepung telur di sana hanya Rp10.900 – Rp14.600/kg. Teknologi penepungannya disediakan pemerintah dan peralatannya tersedia di dalam negeri.
 
Sanggupkah peternak kita memproduksi bahan baku dengan kisaran harga tersebut?
 
 
 
Sabrina Yuniawati

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain