Kamis, 2 Januari 2020

HORTIKULTURA : AACI: Petani Cabai Harus Bertransformasi

HORTIKULTURA : AACI: Petani Cabai Harus Bertransformasi

Foto: Try Surya Anditya
Pelantikan pengurus AACI 2019-2024 di Kuningan, Jawa Barat, Jum’at (6/12)

Efisiensi pada budidaya cabai akan membuat usaha ini berdaya saing sekaligus menjaga laba dan membuka peluang pasar.
 
 
Komoditas hortikultura cabai masih menjadi perhatian pemerintah lantaran pasokan dan harganya yang kerap berfluktuasi. Direktur Perbenihan Hortikultura, Ditjen Hortikultura, Kementan, Sukarman mengungkapkan, selain Kementerian Pertanian, cabai juga ditangani Kemenko Perekonomian dan Bank Indonesia.
 
Hadir di tengah-tengah musyawarah nasional (Munas) Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI), 5-6 Desember 2019, di Kuningan, Jawa Barat, Karman berujar, cabai sering menjadi penyebab faktor laju inflasi dan deflasi cukup tinggi di dalam negeri.
 
Untuk itu, lanjutnya, Kementan mengembangkan kawasan cabai nasional seluas 10 ribu ha. Lokasinya hampir di tiap kabupaten, tak terkecuali Kuningan. Hal tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cabai di tiap wilayah. Kecuali di Jawa yang ditujukan untuk stabilisasi pasokan dan harga nasional.
 
“Akhir tahun (2019) kami hampir tiap minggu rapat koordinasi. Dengan terpilihnya Ketua Umum baru, ke depannya kami berharap AACI terus menjadi mitra pemerintah dalam menstabilkan harga dan ketersediaan cabai,” imbuh bapak yang juga menjadi Plt. Direktur Sayuran dan Tanaman Obat.
 
Dalam kesempatan itu AACI sukses menggelar munas untuk pertama kalinya sejak berdiri pada 2008. Wadah independen para penggiat usaha cabai ini, secara aklamasi memutuskan Abdul Hamid menjadi Ketua Umum AACI periode 2019-2024. Hamid menggantikan Dadi Sudiana yang saat ini tengah menjadi Dewan Penasihat AACI.
 
 
Pentingnya Efisiensi Usaha
 
Abdul Hamid, yang sebelumnya menjabat sebagai Sekjen AACI menilai, usaha cabai sudah saatnya bertransformasi secara budidaya. Petani cabai perlu didorong untuk berkoperasi kemudian berkooperasi. Dari situ, bisa dilihat letak kelemahan dan situasi pasar selama ini sehingga bisnis cabai bisa lebih baik lagi.
 
Secara budidaya, ia mengajak petani untuk lebih efisien agar berdaya saing dalam rangka membidik kerjasama industri maupun pasar ekspor regional. Dengan begitu, pasar pun akan lebih jelas.
 
“Kita berharap kelembagaan ekonomi yang direstui negara berupa koperasi, dapat menjalankan Good Agriculture Practices (GAP), Good Handling Practices (GHP), Good Manufactured Practices (GMP), Good Warehouse Practices (GWP) maupun Good Retail Practices (GRP) dan sistem keuangan yang baik,” rinci Hamid.
 
Hamid juga mengusulkan perlunya pembentukan klaster kawasan hortikultura khusus cabai. Namun hal tersebut harus memberikan dampak konkret bagi petani, terutama efisiensi pengeluaran dalam usaha cabai.
 
Sejauh ini, kawasan klaster cabai sudah ada di beberapa lokasi, hanya saja pengelolaan dan akses pasar masih belum jelas. Padahal, ia mencatat, produksi cabai rawit merah bisa mencapai 800 ribu ton/tahun. 
 
Persoalan akses pasar, diakui Direktur PT Mulia Bintang Utama itu memang tidak sederhana. Tanpa mengurangi laba yang diterima petani, harga produksi cabai yang dihasilkan dituntut untuk lebih murah.
 
“Peningkatan efisiensi usaha akan mengoptimalkan klaster. Output dengan harga cabai rata-rata Rp10 ribu -Rp12 ribu/kg, petani sudah bisa untung. Tentunya produkvitias pun harus tinggi,” jabar Hamid.
 
Berdasarkan catatan AACI, biaya produksi rata-rata cabai merah keriting, cabai merah besar, dan cabai rawit mencapai Rp14 ribu/ kg. Adanya kerjasama antara swasta dengan pemerintah diyakini akan mampu menekan biaya produksi.
 
Hal ini akan berujung pada terserapnya cabai oleh industri secara masif. Sebab, selama ini penjualan cabai langsung oleh petani masih bergantung pada harga yang ditetapkan pengepul.
 
Di samping itu, Hamid terutama mengajak petani untuk tidak hanya menjual cabai mentah. Melainkan olahan dalam bentuk bubuk atau pasta yang digunakan oleh industri makanan.
 
“Dari 1 kg cabai akan pula menghasilkan 1 kg pasta dengan harga yang jauh lebih menguntungkan. Ini perlu dukungan pemerintah daerah, bukan hanya Kementerian Pertanian dan lainnya, tapi saling bekerjasama,” tandasnya.
 
 
Early Warning System Cabai
 
Di dalam Munas, dilakukan pula penandatanganan nota kesepahaman terkait pengembangan hortikultura antara Ditjen Hortikultura dengan Acep Purnama, Bupati Kuningan, disaksikan Benny Kusbini, Ketua Dewan Hortikultura Nasional dan pemangku kepentingan terkait lainnya.
 
Sebagai tuan rumah berlangsungnya Munas AACI, Acep mengapresiasi langkah yang diambil Kementan dan AACI dalam menjadikan Kuningan sebagai sentra hortikultura nasional.
 
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian siap menggelontorkan bantuan benih tanaman hortikultura untuk lahan seluas 100 ha di Kab. Kuningan. Dengan rincian, cabai seluas 50 ha, bawang merah 30 ha, dan tanaman obat 20 ha.
 
Selain pengembangan kawasan cabai, lanjut Karman, Ditjen Hortikultura turut mengembangkan instrumen early warning system (EWS) yang mampu memprediksi ketersediaan dan harga selama tiga bulan ke depan.
 
Sistem ini dikembangkan sebagai dasar kebijakan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah antisipasi dan juga mitigasi risiko.
 
EWS cabai Januari hingga Maret 2020 mencatat, kebutuhan konsumsi nasional cabai besar mencapai 254.670 ton. Sementara produksi sebesar 281.712 ton maka akan ada surplus sebesar 27.042 ton.
 
Konsumsi cabai rawit 238.189 ton, perkiraan produksi mencapai 258.969 ton atau surplus 20.780. Surplus selama Januari untuk aneka cabai hanya berkisar 2.000-3.000 ton sehingga dimungkinkan adanya penurunan pasokan.
 
 
 
Try Surya Anditya

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain