Foto: Windi Listianingsih
Budidaya udang lebih minim risiko dengan memanfaatkan teknologi
Generasi milenial cenderung mengandalkan teknologi untuk memudahkan budidaya.
Data Badan Pusat Statistik menyebut, kebutuhan bahan baku udang untuk konsumsi dan ekspor naik pada 2018 sebesar 21,25%.
Kebutuhan bahan baku udang pada 2017 sebanyak 662.158 ton yang terdiri dari 353.544 ton untuk konsumsi lokal dan 308.614 ton ekspor.
Pada 2018 angka ini naik menjadi 802.834 ton dengan 463.777 ton untuk konsumsi dan 339.058 untuk ekspor. Sebanyak 60% bahan baku ekspor udang nasional berasal dari hasil budidaya.
“Budidaya udang ini memang tempatnya mencari uang dan devisa. Di usaha ini pula kita bisa ciptakan banyak entrepreneur baru,” ujar Iwan Sutanto, Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI).
Bisnis “si bongkok” yang sangat menjanjikan tersebut mendorong generasi milenial terjun dalam budidaya udang.
Generasi penerus itu umumnya berpendidikan tinggi dan sangat adaptif teknologi dalam budidaya udang.
Selain berbudidaya mengandalkan peran teknologi berbasis internet, para petambak milenial juga membentuk jejaring pasar melalui aplikasi sehingga seluruh kegiatan budidaya hingga pemasaran menerapkan industri 4.0.
Petambak Muda Indonesia
Adalah Rizky Darmawan, petambak milenial generasi kedua yang meneruskan usaha budidaya udang milik ayahnya di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Bersama lima petambak muda lainnya, Rizky merasa pentingnya wadah berkumpul untuk mengobrol dan belajar budidaya udang. Pada Oktober 2015, tercetuslah grup whatsApp Petambak Muda Indonesia (PMI) dengan Rizky sebagai ketua.
Pembentukan grup PMI, pria kelahiran 27 Februari 1991 itu menjelaskan, bertujuan berbagi informasi dan belajar bareng tentang tambak udang.
“Dari situ mulai tumbuh karena banyak petambak baru yang masih muda atau petambak yang mulai ambil alih dari orang tua,” ujarnya kepada AGRINA.
Rizky membatasi anggota grup harus petambak di bawah umur 40 tahun dan menerapkan sistem intensif.
Setiap tahun PMI mengadakan seminar atau pertemuan. “Biasanya kita pilh satu kota sekalian silaturahmi dan datangkan guru dari luar negeri.
Kebanyakan petambak muda ini fasih bahasa Inggris, teknologi, jadi kita lebih senang kalau ilmu dari luar masuk. Dan kita untuk ilmu-ilmu seperti ini lebih update.
Untuk ilmu baru kita lebih gampang adopsi, lebih gampang ngerti,” ulasnya yang menyebut grup PMI setengah informal namun kerap diundang ke berbagai acara dari instansi pemerintah dan swasta.
Saat ini anggota PMI mencapai 150-an orang dengan 15 di antaranya adalah perempuan. “Secara budidaya, kaum milenial ini lebih pintar dalam managing risk (mengelola risiko). Kita lihat dari data saja.
Kalau lihat data kita harus panen, ya kita panen. Jadi, lebih melek data. Dan karena yang muda-muda ini sudah melek komputer, teknologi, sudah nggak asing buat pelaporan pakai excel,” papar pengelola 50 tambak ini.
Teknologi berbasis internet pun hal biasa bagi petambak milenial. “IoT (internet of things) beberapa petambak muda sudah pakai, malah develop (membuat) sendiri, salah satunya Pasar Udang, JALA.
Ada yang develop sendiri untuk tambaknya sendiri. Dengan adanya teknologi bisa mengurangi waktu kita di lapangan, bisa jalan-jalan,” cetus salah satu pendiri Pasar Udang itu sambil tertawa.
Melalui PMI, Rizky berharap Indonesia bisa menjadi nomor wahid dalam budidaya udang, pertambakan Indonesia bisa lebih berkelanjutan, dan bisnis udang lebih tidak berisiko.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 306 yang terbit Desember 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/