Sabtu, 7 September 2019

HORTIKULTURA : Pipin Arip Apilin, Biarkan Petani Menikmati

HORTIKULTURA : Pipin Arip Apilin, Biarkan Petani Menikmati

Foto: Windi Listianingsih
Pasokan kurang karena panen hanya dari daerah cukup air

Musim kemarau kali ini menggembirakan bagi petani cabai. Pasalnya, harga yang “pedas” bikin kantong mereka tebal.
 
Cabai terbilang komoditas hortikultura yang harganya sangat fluktuatif. Setelah cukup lama dilanda harga murah meriah sampai Rp3.000-an/kg di tingkat petani, pada puncak musim kemarau tahun ini harga melonjak sehingga cukup membuat konsumen “tersengat”. 
 
Minggu ketiga Agustus lalu misalnya, menurut Pipin Arip Apilin, di Ciamis, Jabar, harga pasaran cabai melambung hingga Rp100 ribu/kg. “Di tingkat petani, harganya Rp45 ribu-Rp50 ribu/kg,” ungkap Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Jawa Barat tersebut kepada AGRINA.
 
Penyebabnya, lanjut dia, saat kemarau hanya daerah tertentu dengan sumber air cukup yang dapat menanam cabai sehingga pasokan cabai berkurang. Selain luas lahan berkurang, produktivitas pun rendah. Pengalaman Pipin, produktivitas sekitar 8 ton/ha, sedangkan pas penghujan bisa sampai 15 ton/ha. 
 
“Harga cabai yang meningkat saat ini tidak dirasakan setiap hari, biarkan petani menikmatinya,” seru Pipin mewakili para petani. Ungkapan petani di Kecamatan Sukamantri, Ciamis, ini tidak berlebihan karena harga cabai yang melambung sejak sebulan jelang Idul Adha (Agustus) kini sudah melandai.
 
Konsumen di Bogor misalnya, 4 September lalu konsumen mulai menikmati penurunan harga rawit merah yang RpRp64 ribu dari sebelumnya Rp80 ribu/kg. Sebenarnya, lanjut dia, petani juga tidak ingin harga mahal-mahal, asalkan jangan turun hingga Rp8.000/kg. 
 
 
Menikmati Harga 
 
Untuk mengantisipasi gejolak harga, pada 2017 Kementan menganjurkan petani bermitra dengan perusahaan besar. Melalui kemitraan ini ada kepastian harga bagi petani. Namun tak semua petani berminat untuk bermitra lantaran tidak menyepakati harga kontrak. 
 
Pipin mengaku pernah bermitra dengan perusahaan sambal terbesar di Indonesia dua tahun lalu. Sayangnya, kerja sama tersebut terhenti karena saat awal kontrak harga tidak sesuai keinginan petani.
 
“Cabai kami hanya dihargai Rp10 ribu-Rp12 ribu/kg, harga tidak sesuai. Ditambah lagi cabai harus sudah bersih dari tangkainya. Sedangkan untuk membersihkan tangkai perlu biaya juga,” kata Ketua Kelompok Tani Karangsari ini.   
 
Memang, pada umumnya harga kontrak kemitraan tidak terlalu tinggi. Perusahaan berbagi risiko, saat harga lebih rendah ketimbang harga kontrak, petani mitra tetap mendapat harga sesuai kontrak.
 
Sebaliknya, ketika harga di atas kontrak, petani tetap memperoleh harga sesuai kontrak. Walhasil, saat harga pasar tinggi, petani tergiur menjual ke pasar bebas. 
 
 
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 303 yang terbit September 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain