Minggu, 7 April 2019

HORTIKULTURA : Nanang Triatmoko Memilih Bertani Ketimbang Jadi Pegawai

HORTIKULTURA : Nanang Triatmoko Memilih Bertani Ketimbang Jadi Pegawai

Foto: Istimewa
Nanang Triatmoko, Petani Cabai Harus Tahu Waktu Tanam dan Tidak

Pelaku usaha budidaya cabai tidak hanya mahir menanam, tetapi harus tahu potensi pasar.
 
Menjadi pembudidaya cabai memang tidak mudah, perlu kerja keras dan konsistensi dalam menekuni. Itulah pengalaman Nanang Triatmoko, petani cabai sukses dari Dusun Krajan, Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi, Jatim. Galuh, begitu sapaannya di kalangan kawan seperjuangannya itu, sudah menekuni budidaya cabai selama 13 tahun. 
 
Selepas kuliah dari jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang, pada 2001 Galuh bekerja di berbagai perusahaan sampai 2006. Namun ia tidak merasa puas sehingga selalu berpindah tempat kerja. 
 
Hingga akhirnya peluang terjun ke bidang pertanian datang ketika ia diangkat menjadi manajer koperasi bidang pertanian di desanya selama beberapa tahun. Koperasi tersebut merupakan pelaksanaan Program Sarjana Pencipta Kerja Mandiri (Prospek Mandiri) dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. 
 
Pria kelahiran 1977 ini menjelaskan, program hasil kerja bareng Kemenkop UKM dengan pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota itu bertujuan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dengan menggerakkan usaha atau wirausaha dalam berbagai bidang atau sektor. Saat itu, komoditas yang menjadi fokus adalah cabai. 
 
Memutuskan Bertani 
 
Galuh berpendapat, lulusan sarjana tidak harus bekerja sebagai pegawai, tetapi justru menciptakan lapangan pekerjaan. Menurut kalkulasi dia, “Lebih banyak keuntungan dari bertani dibandingkan pegawai. Yang terpenting, sangat cukup untuk kebutuhan hidup,” tegasnya.
 
Paling tidak itulah pengalaman pribadinya menuai sukses dari bertanam cabai dengan modal awal Rp100 juta per musim di lahan seluas dua hektar.  Semua dikerjakan dengan tekun dan menggandeng perusahaan sehingga ia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan orang lain.
 
“Sampai saat ini, omzet kurang lebih Rp12 miliar per tahun dan memiliki anak buah 400 orang dengan luas lahan 72 ha,” ungkap Galuh dengan penuh syukur. 
 
Pengalamannya bekerja sebagai manajer koperasi ternyata sangat berharga. “Program tersebut menjadikan saya tahu mengenai cabai, baik dari budidaya hingga pemasaran. Saya juga melakukan pengiriman cabai antarkabupaten dan provinsi. Lulusan yang jauh dari pertanian seperti saya saja bisa, pasti yang lainnya juga bisa,” cetus Galuh kepada AGRINA (28/03). 
 
Pada 2006, bapak dua anak ini melepas pekerjaannya sebagai manajer koperasi dan memutuskan untuk bertanam cabai. Empat tahun lalu, ia bergabung dengan Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) yang kemudian mengantarkannya bermitra dengan salah satu perusahaan saus. Kerja samanya dengan perusahaan menggunakan sistem kontrak yang di dalamnya memuat jumlah produksi dan harga cabai. 
 
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 298 yang terbit April 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/
 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain