Jumat, 21 Desember 2018

Dibutuhkan KJA Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan

Dibutuhkan KJA Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan

Foto: 
Ardi Budiono, Gibran Huzaifah, Andi Kristianto, Ridwan Kamil (kiri ke kanan), STP selalu mengikuti perkembangan teknologi demi memajukan industri budidaya perikanan di Indonesia

Teknologi Keramba Jaring Apung (KJA) telah terbukti berperan dalam peningkatan produksi ikan secara nasional. Karena itu budidaya ikan air tawar dengan KJA yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan nasional yang diprediksi mencapai 40 kg ikan per kapita per tahun. 
 
 
 
Hal ini terungkap pada seminar “Teknologi Budidaya KJA Berkelanjutan di Perairan Umum” yang diselenggarakan Trobos Aqua bekerja sama dengan Ditjen Budidaya Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam rangkaian Pameran Aquatica Asia & Indoaqua 2018 di JIexpo, Kemayoran, Jakarta, 28 November 2018. 
 
 
 
KJA Perlu Dirasionalisasi
Data Direktorat Jendral Perikanan Budidaya (DJPB) KKP menyebutkan, jumlah produksi ikan 2015 masih didominasi perikanan air tawar yang mencapai angka 69%, sementara budidaya air payau 30% yang terdiri dari udang, ikan dan rumput laut, sedangkan untuk budidaya laut hanya 1%. Pada 2016, produksi perikanan budidaya mencapai 13,2 juta ton atau naik 6,9% dibandingkan 2015 yang mencapai 11,5 juta ton.
 
 
 
Besarnya produksi ikan air tawar yang didominasi ikan lele, mas, nila, dan patin ini membuktikan bahwa budidaya ikan air tawar, terutama melalui teknologi KJA menjadi ujung tombak bagi pemenuhan kebutuhan protein hewani yang terjangkau bagi masyarakat. Selain itu, KJA memberikan dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat karena merupakan mata pencaharian utama bagi penduduk di sekitar perairan umum dengan KJA. 
 
 
 
Lebih jauh, teknologi KJA juga memberikan efek berganda terhadap penyerapan tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung, dari hulu ke hilir. Tenaga kerja itu terserap dalam kegiatan pembenihan, bisnis pakan ikan, buruh bongkar muat, buruh transportasi, tenaga panen, hingga pemilik warung makan.
 
 
 
Dr. Yudi Nurul Ihsan, S.Pi., M.Si., Dekan Fakultas Perikanan Universitas Padjadjaran yang menjadi salah satu pembicara dalam seminar tersebut mengingatkan, pada 2030 jumlah penduduk dunia mencapai 9 miliar jiwa. Untuk itu diperlukan asupan protein yang besar. Dengan luas daratan yang semakin sempit, maka sumber protein dari daratan akan semakin terbatas. Dengan demikian, protein dari ikan menjadi sumber protein yang sangat diandalkan dimasa yang akan datang. 
 
 
 
Budidaya perikanan menjadi sektor yang diandalkan untuk memenuhi sumber protein serta menjadi lahan pekerjaan bagi penduduk produktif yang menjadi bonus demografi Indonesia pada 2030 tersebut. Laporan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI, 2018 menyebut, 9 juta balita di Indonesia atau satu dari tiga balita menderita stunting (tubuh pendek), dan Indonesia masuk dalam klasemen 5 besar negara dengan megastunting Indonesia akibat kurangnya asupan gizi.
 
 
 
Namun di sisi lain, saat ini sejumlah pemerintah daerah tengah mengkaji pengurangan KJA di waduk dan danau di wilayahnya karena KJA dianggap sebagai penyebab utama pencemaran air. Padahal hasil riset yang dilakukan Pusat Riset Perikanan Kementrian Kelautan dan Perikanan (Pusriskan) menyatakan, sumber pencemaran dari budidaya perikanan relatif rendah jika dibandingkan dengan sumber pencemar lainnya dari limbah Industri dan limbah domestik.
 
 
 
Menanggapi hal itu, Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto mengatakan, ”Melihat fenomena penurunan kualitas lingkungan di perairan umum, memang rasionalisasi jumlah unit KJA sesuai batasan daya dukung lingkungan perlu dilakukan. Rasionalisasi ini tentu akan berdampak terhadap penurunan produksi ikan tawar. Karena itu, DJPB akan mendorong pemanfaatan potensi lahan di darat yang saat ini masih luas (2,83 juta ha untuk budidaya air  tawar dan 2,88 juta ha untuk budidaya air payau). Misalnya pengembangan nila salin, dan teknologi bioflok yang secara nyata telah mampu meningkatkan produktivitas.”
 
 
 
Lima Kebijakan 
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Dr. Krismono, M.S dari Pusriskan menambahkan, “Perkembangan KJA harus diimbangi dengan perhitungan kemampuan daya dukung perairan. KJA memerlukan lingkungan perairan yang bersih agar ikan dapat tumbuh secara optimal dan mulai sekarang KJA harus menyesuaikan dengan daya dukung perairan serta menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. Contohnya, dengan penebaran ikan di perairan umum dengan jenis ikan yang dapat memanfaatkan fitoplankton dan tumbuhan air dapat mengurangi kesuburan perairan.”
 
 
 
KJA di perairan umum seharusnya ditata dengan mempertimbangkan aspek sosial ekonomi masyarakat dan lingkungan. Untuk itu, perlu adanya program pembinaan untuk keberlangsungan KJA sehingga dapat memberikan manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat. 
 
 
 
Teknologi yang diterapkan dalam budidaya perikanan dimulai dari penggunaan benih yang baik, hingga pakan apung dengan kadar fosfor yang rendah dan efisien. Selain itu, tata laksana atau manajemen KJA juga harus memperhatikan kebersihan dan sanitasi lingkungan seperti yang dipersyaratkan dalam Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) yang menjadi standar KKP.
 
 
 
Lebih jauh Dirjen Slamet akan mendorong lima kebijakan berikut agar KJA di perairan umum bisa berkelanjutan. 
 
 
 
Pertama, pengelolaan yang berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ini mutlak dilakukan dalam upaya meminimalkan dampak KJA terhadap lingkungan. Artinya, produksi KJA akan lebih terukur sesuai batasan kemampuan lingkungan.
 
 
 
Kedua, mendorong pendekatan budidaya berbasis ekosistem. Artinya pengelolaan tidak fokus pada upaya menggenjot produksi sebesar-besarnya, namun dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, fungsi, dan layanan ekosistem. Dengan demikian pengelolaan budidaya lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan.
 
 
 
Ketiga, mendorong pengembangan integrated multitrophic aquaculture untuk menjamin budidaya yang lebih ramah lingkungan.
 
 
 
Keempat, menerapkan Good Aquaculture Practice terutama manajemen pakan yang lebih efisien dan mendorong penggunaan pakan yang low phosphor dengan tingkat kecernaan tinggi.
 
 
 
Kelima, konsistensi penerapan zonasi. Ini menjadi kunci karena penurunan lingkungan tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal KJA saja, namun sektor lain seperti industri, pertanian, pemukiman juga turut berkontribusi besar terhadap pencemaran perairan umum.
 
 
 
Selain itu, DJPB juga mendorong agar usaha di KJA mengikuti dan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu usaha KJA harus memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) atau tanda daftar usaha perikanan (TDUPi) bagi usaha kecil. Selain itu, teknologi akuakultur yang diterapkan dalam usaha KJA sesuai dengan rekomendasi teknis pemerintah.Windi Listianingsih
 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain