Foto:
Desmarwansyah, benih faktor utama yang harus diperhatikan
Teknologi menjawab tantangan kenaikan kebutuhan jagung dan pengurangan lahan.
Bukan hanya ketersediaan dan kontinuitas suplai pangan, ulas Sonny Tababa, Biotechnology Affairs Director CropLife Asia, ketahanan pangan juga terkait akses dan mutu pangan. Di samping itu, suplai pangan harus stabil dan harganya terjangkau masyarakat. “Suplai jagung contohnya, harus tersedia setiap waktu dan dalam harga terjangkau,” katanya.
Ketahanan pangan masih menghadapi tantangan kekurangan lahan hingga kompetisi air. Dengan teknologi pertanian, yaitu bioteknologi (biotek) atau produk rekayasa genetika (PRG), kata Sonny, tantangan tersebut bisa diatasi.
Biotek marak diaplikasi pada benih, seperti jagung, kedelai, hingga kapas. “Teknologi ini adalah teknologi benih. Anda akan memperoleh benih unggul dan dengan produktivitas tinggi. Benih ini akan memberikan hasil panen yang lebih banyak untuk petani,” ungkapnya sambil menuturkan tanaman biotek sudah dipasarkan sejak 1996 dengan segudang pengalaman aplikasi lapang.
Mengutip laporan International Service for the Acquisition of Agribiotech Applications (ISAAA), tanaman biotek mencapai 185 juta ha di 26 negara pada 2016. Tanaman ini memberi manfaat lebih kepada sekitar 18 juta petani.
Perkembangan Jagung Biotek
Laporan ISAAA 2016 menyebut, di Amerika sebanyak 92% dari total 38,01 juta ha lahan ditanami jagung biotek. Lahan jagung biotek di Brasil mencapai 15,67 juta ha dari luas lahan jagung 17.73 ha. Bahkan, petani di Afrika Selatan pun menanam jagung biotek seluas 2,16 juta ha pada 2016 dengan tingkat adopsi mencapai 90%.
Tanaman jagung PRG di Asia Tenggara, ISAAA mengulas, ada di Filipina dan Vietnam. Dari lahan 1,248 juta ha di Filipina pada 2016, sekitar 0,812 juta ha ditanami jagung PGR. Menurut Marie Palacpac, Co-chair Department of Agriculture Biosafety Committee Filipina, lahan jagung biotek pada Maret-Agustus 2017 mencapai 300.588 ha. Produktivitas rata-rata jagung itu sekitar 9-10 ton/ha. Namun, ada juga petani yang mencapai 13 ton/ha.
Sementara Vietnam, baru menerapkan jagung PGR pada 2015 dengan luas 3.500 ha. Pham Duc Tuan, Asian Lead Syngenta Vietnam menjelaskan, impor jagung yang terus meningkat tiap tahun membuat pemerintah negara itu mengadopsi biotek untuk mendongkrak produktivitas jagung. Periode 2016-2017 lahan jagung PRG mencapai 10 ribu ha atau sekitar 10% total lahan jagung.
Menurut Tuan, kemitraan pemerintah dan badan usaha (public-private partnership) di Provinsi Thai Nguyen dengan 400 ha percontohan, sukses mengangkat pendapatan petani lebih dari 20% dengan hasil panen naik 15%. Kemitraan juga menjangkau lebih dari 20 ribu petani untuk mengikuti pelatihan. Selain itu, area tanam jagung PRG naik tiga kali lipat setelah setahun kemitraan berjalan.
Siap Rilis
Di Indonesia, ulas Desmarwansyah, Biotech & Seed Director Croplife Indonesia, jagung PRG sebenarnya sudah siap dilepas ke pasar. Sayang, pelepasan varietas jagung biotek terganjal aturan Pedoman Pengendalian dan Pengawasan Tanaman PRG yang belum rampung sejak dirancang pada 2016.
“Saat ini Kementerian Pertanian (Kementan) hampir menyelesaikan draft Permentan terkait Pedoman Pengawasan dan Pengendalian Varietas Tanaman PRG dengan terselenggaranya publik konsultasi pada 12 Nov 2018. Diharapkan Permentan akan ditandatangani Mentan 2-3 bulan ke depan berikut petunjuk teknisnya juga ditandatangani Kabadan Litbang Kementan,” ungkapnya.
Pedoman mengacu PP No. 21/2005 tentang Produk Rekayasan Genetika yang mengharuskan adanya pemantauan atau pengawasan setelah komoditas PRG dilepas. Selama pedoman belum disahkan, tidak ada produk biotek yang bisa dilepas, baik produk lokal maupun impor. Hanya beberapa negara, semisal Brasil yang membuat pedoman pengawasan PRG. Negara lain tidak membuatnya sebab menganggap PRG sudah aman setelah mendapat sertifikat keamanan lingkungan, keamanan pangan, dan keamanan pakan. “Seperti Amerika, Filipina, Australia, Kanada, melihat nggak perlu karena sebelumnya sudah ada aspek yang panjang,” imbuh dia.
Setelah Permentan rampung, masih ada satu ganjalan pelepasan varietas PRG. Yaitu, belum terbentuknya tim ad hoc penilai varietas PRG terutama untuk tanaman pangan. “Kami harapkan Dirjen Tanaman Pangan bisa segera membentuk tim ad hoc agar tidak terjadi kekosongan hukum saat Permentan itu keluar dan ketika perusahaan/pemilik teknologi mengajukan pelepasan tanaman PRG. Sudah ada varietas PRG yang siap dilepas karena sudah memiliki 3 sertifikat keamanan hayati berupa keamanan pangan, lingkungan, dan pakan,” tandasnya.
Berkelanjutan
Padahal, kata Desmar, jagung biotek salah satu kunci sukses mencapai target Upaya Khusus (Upsus) bahkan swasembada jagung berkelanjutan. “Sangat bisa menambah produksi yang ada sekarang. Dengan bergabungnya biotek, akan lebih naik lagi,” tandasnya.
Laporan Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang diketuai Yose Rizal Damuri pada Desember 2017 mengungkap, 20% lahan jagung biotek yang ditanam di Indonesia akan menaikkan produktivitas 8,3%, meningkatkan tenaga kerja 4,9%, mengurangi penggunaan pestisida dan herbisida sekitar 9,84% dan 56,8%-78,5%, serta mengangkat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) riil Indonesia sekitar 0,008% pada 2018. Rerata kenaikan PDB riil selama 2020-2030 sebesar 0,006%.
Jika penanaman jagung PRG mencapai 40% total lahan, akan menaikkan produktivitas hingga 6,7%, mengurangi tenaga kerja 20,4%, menurunkan penggunaan pestisida dan herbisida sebanyak 4,9% dan 56,8%-78,5%, serta mengangkat PDB riil 2018 sebesar 0,036%. Sedangkan pada 2030, PDB riil naik sebesar 0,024%.
Apalagi, benih unggul adalah hal utama yang harus diperhatikan. “Kalau benihnya jelek, sudah pasti jelek budidayanya,” ucap Desmar. Benih biotek akan meningkatkan produktivitas dan mutu jagung melalui perbaikan potensi genetik. Permasalahan gulma yang mengurangi panen 30%-50% dapat diatasi oleh jagung biotek toleran herbisida. Sedangkan hama ulat yang mengurangi hasil 10% dan menurunkan mutu jagung, bisa diselesaikan dengan jagung biotek toleran ulat.
Keberadaan jagung biotek ternyata juga diinginkan petani Indonesia. Sholahuddin, Ketua Asosiasi Petani Jagung Indonesia menuturkan, pemerintah harus mendukung petani dengan bioteknologi. ”Kebutuhan industri jagung terus berkembang sementara lahan jagung terus berkurang. Maka jawabannya hanya satu: teknologi,” tegasnya. Terlebih, jagung yang biasa diimpor dari Amerika, Brasil, dan Argentina merupakan jagung PRG. ”Sedangkan petani kita tidak boleh menanam itu. Bagaimana mau bisa bersaing?” kritiknya.
Dean Novel, pegiat agribisnis jagung sekaligus petani jagung di Pringgabaya, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menyatakan, benih jagung biotek ditinjau dari tujuan diciptakannya itu bagus karena meningkatkan produktivitas hasil panen dan tahan terhadap serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT).
“Secara prinsip, saya pribadi setuju dengan benih biotek, sejauh benih tersebut tidak keluar dari sifat-sifat alamiahnya,” ucap Dean sambil menekankan perlunya pengawasan ketat terhadap produsen pembuat benih biotek.***