Kebingungan masyarakat tentang tidak klopnya klaim jumlah surplus produksi beras nasional dengan tingginya harga beras medium beberapa waktu lalu setidaknya terjawab oleh data terbaru produksi beras dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data terbaru yang dirilis 10 Oktober lalu tersebut menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA).
KSA merupakan inovasi dari Badan Pengkajian dan Penerapan (BPPT) dan sudah mendapat penghargaan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Memang, untuk menghasilkan data yang lebih kredibel, BPS memperbaiki metodologinya dengan menggandeng BPPT, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi Geospasial (BIG).
Data produksi beras baru itu berdasarkan luas lahan baku sawah hasil pembaruan Kementerian ATR-BPN yang diverifikasi LAPAN dan BIG. Luas lahan baku sawah yang pada 2013 sebesar 7,75 juta ha berkurang 635 ribu ha tinggal 7,1 juta ha pada 2018.
Jadi, dengan luas lahan baku sawah terbaru dan metode KSA, luas panen padi 2018 diperkirakan 10,9 juta ha sehingga produksi diperkirakan 56,54 juta ton gabah kering giling (GKG) atau 32,42 juta ton beras. Sementara Kementan memproyeksikan produksi gabah tahun ini 83,3 juta ha atau setara 48 juta ton beras.
Menurut Kepala BPS Kecuk Suharyanto saat rilis bersama Wapres Jusuf Kalla, dengan angka konsumsi beras per kapita per tahun 2017 sebesar 111,58 kg/orang, maka total konsumsi beras di Indonesia sebesar 29,50 juta ton. Jadi, masih ada surplus beras sebesar 2,85 juta ton. Angka yang jauh lebih tipis ketimbang harapan Kementan sebesar 13,03 juta ton. Perkiraan surplus tersebut dihitung dari target produksi padi 2018 sebesar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras, sementara perkiraan total konsumsi beras nasional hanya 33,47 juta ton.
Perbedaan situasi lapangan dengan data produksi jagung dari Kementan juga memicu debat panas belakangan ini. Di lapangan, para peternak ayam petelur seputar Blitar, Jawa Timur, yang meramu pakan sendiri berdemo karena tidak mampu membeli jagung lantaran harganya melambung sampai Rp5.600 – Rp5.700/kg. Melambungnya harga adalah indikasi umum kekurangan pasokan.
Sementara Kementan bersikeras produksi melimpah sehingga pihaknya melarang kalangan pabrik pakan ternak untuk impor jagung dan sebaliknya mendorong ekspor jagung. Debat ini sebaiknya juga diakhiri dengan mengupayakan data yang lebih kredibel. Dan BPS pun menjanjikan hal tersebut menyusul perbaikan data beras yang menurut Wapres Jusuf Kalla tidak akurat sejak 1997.
Selain itu, ada juga masukan dari pelaku usaha untuk meminta Bulog memperlakukan jagung seperti halnya beras. Misal, Bulog juga perlu mengadakan cadangan jagung di gudang-gudangnya. Ketika harga tidak kondusif bagi peternak dan pabrik pakan ternak, Bulog melepas cadangannya. Demikian pula sebaliknya sewaktu produksi petani melimpah di dalam negeri, Bulog menyerap dengan harga yang cukup baik bagi petani. Ini tentu perlu alokasi bujet khusus.
Di samping perbaikan data produksi dan pengadaan cadangan di Bulog, tugas pemerintah lagi adalah mengharmonisasikan empat kepentingan, yaitu kepentingan pemerintah sendiri tentang keberhasilan programnya, kepentingan petani untuk mendapatkan pendapatan yang layak, kepentingan pabrik pakan untuk memproduksi pakan berkualitas baik dengan harga terjangkau peternak. Dan terakhir kepentingan peternak petelur yang meramu sendiri pakan untuk ayam mereka.
Mengorkestra hal itu tidak mudah, tetapi bisa diupayakan dengan duduk bersama dan saling berkomitmen. Tujuannya tentu saja menguntungkan semua pihak tanpa mengecilkan kepentingan pihak lain. Pemerintah senang dengan terlaksananya program peningkatan produksi pangan, khususnya jagung dan perbaikan pendapatan petani. Pelaku usaha juga gembira karena iklim bisnisnya kondusif. Dan masyarakat umum pun terpenuhi kebutuhan gizi protein pada khususnya.
Peni Sari Palupi