Perdagangan internasional yang kian terbuka ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, kita bisa mendapatkan peluang pasar lebih luas, tetapi di sisi lain pasar kita bisa diserbu produk asing lebih banyak. Sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia harus mematuhi aturan mainnya meskipun kadang kita melihat hal itu memberatkan petani kita.
Sebut saja kasus kekalahan Indonesia di pengadilan WTO dalam hal perdagangan produk ternak dan hortikultura melawan Amerika Serikat, Selandia Baru, dan sejumlah negara pihak ketiga November 2017. Implikasinya, pemerintah kita harus mengubah regulasi-regulasi yang dianggap membatasi perdagangan atau terancam membayar denda sebanyak kerugian yang diderita negara penggugat (complainant), yaitu Amerika.
Amerika mengklaim rugi US$350 juta akibat regulasi impor yang menghambat atau menutup produknya masuk ke pasar Indonesia. Karena itu Presiden Trump meminta WTO menjatuhkan sanksi kepada Indonesia karena belum mematuhi putusan sidang WTO. AS juga mempertimbangkan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang diberikan kepada 124 produk Indonesia. GSP adalah pengurangan tarif impor yang bersifat tidak mengikat antara negara pemberi dan penerimanya.
Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menghitung, nilai GSP yang dinikmati Indonesia sebanyak US$1,7 miliar – US$1,8 miliar atau Rp27,1 triliun per tahun. Sementara nilai impor produk pertanian meliputi hortikultura, perkebunan, dan peternakan AS ke Indonesia senilai US$2,56 miliar atau Rp38,6 triliun.
Artinya kalau Indonesia tetap menghambat impor produk AS dan GSP Indonesia dicabut, posisi masih lebih untung Indonesia. Kerugiannya lebih sedikit. Namun, pemerintah kita, menurut Bhima, menyerah terhadap tekanan AS. Ini terlihat dari langkah pemerintah merevisi aturan-aturan impor yang digugat AS.
Contoh Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dalam Permentan 38/2017. Pasal 6 beleid itu mengatur, impor produk hortikultura dilakukan di luar masa sebelum panen raya, panen raya, dan sesudah panen raya dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu tertentu tersebut ditetapkan Direktur Jenderal berdasarkan usulan dari kelompok kerja yang dibentuk Dirjen.
Implikasi kekalahan kita di WTO “memaksa” pemerintah membuka pagar waktu pelaksanaan impor seperti tertulis dalam Permentan 24/2018, aturan pengganti Permentan 38/2017, yang diundangkan pada 6 Juni 2018. Jadi, impor bisa dilakukan kapan saja. Prasyarat penerbitan izin impor berikutnya pun tak ada lagi. Sebelumnya, RIPH berikutnya bisa diterbitkan asalkan pelaku usaha sudah merealisasikan impor dan memberikan laporan realisasi impor.
Hal tersebut akan memberatkan petani lokal ketika mereka hendak menjual hasil jerih payahnya. Bisa jadi saat itu produk impor tengah membanjiri pasar sehingga produk lokal yang sejenis akan tertekan harganya atau bahkan tidak laku. Produk lokal yang bakal berjuang lebih keras antara lain jeruk, mangga, dan durian.
Sementara produk peternakan yang rawan tergilas adalah ayam ras. Amerika punya daging paha utuh (chicken leg quarter) yang disubsidi silang dengan daging dada sehingga harganya sangat miring.
Namun kita tidak boleh menyerah. Masyarakat dapat mendukung petani atau produsen kita dengan membeli dan mengonsumsi produk lokal agar bisnis mereka tetap berkelanjutan. Tentu mereka juga harus meningkatkan efisiensi dan memperbaiki kualitas produknya sehingga mampu bersaing di pasar sendiri dan pasar mancanegara.
Di sisi lain, kementerian terkait sebaiknya mendukung petani dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka dalam berproduksi. Mari kita upayakan bersama agar petani melek teknologi budidaya dan melek pasar. Pemanfaatan teknologi informasi yang berkembang luar biasa saat ini juga dapat meningkatkan level petani ke jenjang lebih tinggi.
Dengan sinergi semua pihak, kita bisa membuat bisnis petani tetap bertahan, bahkan berkembang melayani kebutuhan pasar lokal dan ekspor.
Peni Sari Palupi