Ambisi meningkatkan produksi padi tidak akan terealisasi jika mengabaikan komponen-komponen dasar yang harusnya menjadi perhatian utama.
Tahun ini, salah satu kegiatan pembangunan pertanian adalah penambahan luas tanam padi 1,75 juta ha. Target produksi padi nasional sebanyak 80,08 juta ton. Peningkatan produksi masih menjadi fokus untuk mencapai swasembada padi berkelanjutan. Karena itu, seluruh dinas diharuskan melakukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan luas tambah tanam (LTT).
Menjelang 2019, Ditjen Tanaman Pangan, Kementan sudah merencanakan kegiatan prioritas. Pada acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian (Musrenbangtan) Nasional 2018 (21/5), Sumarjo Gatot Irianto, Dirjen Tanaman Pangan mengungkapkan, pagu anggaran 2019 untuk Ditjen TP sebesar Rp6,01 triliun.
Dengan sasaran produksi padi sebesar 84 juta ton, anggaran yang dikhususkan untuk komoditas prioritas ini sebesar Rp901 miliar. Kegiatan ini akan menyasar lahan seluas 2,5 juta ha dengan penyediaan benih 62.500 ton dan urea subsidi 91.400 ton.
Untuk menjaga produksi sesuai target, tentu tidak terlepas dari perlakuan teknis di tahan budidaya. Pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Seluruh pihak dari sektor pemerintahan, petani, perusahaan swasta harus bekerja sama untuk mencapai target.
Pada teknis produksi padi tahap awal, harus benar-benar memperhatikan lahan yang digunakan untuk bercocok tanam, benih unggul, dan cara melindunginya supaya hasil mencapai potensi yang diharapkan.
Perbaiki Tanah
Berdasarkan penelitian Balai Penelitian Tanah (Balittanah) sudah banyak tanah pertanian terdegradasi. Hal ini dikarenakan tanah pertanian yang tergolong subur tapi tidak terawat dengan baik. “Kita cenderung eksploitasi sehingga lupa kalau tanah juga butuh istirahat,” papar Husnain, Kepala Balittanah pada AGRINA (28/8).
Parameter kesuburan tanah bisa diukur dari kandungan karbon organik dalam tanah. Dari penelitian 30 tahun terakhir, kandungan karbon organik di tanah pertanian Indonesia sudah menurun di bawah 2%. Bahkan, 70% tanah sawah di Jawa terpantau hanya memiliki karbon organik kurang dari 2%.
Untuk mengembalikan karbon organik, salah satu caranya bisa dengan memanfaatkan pupuk organik. Pupuk organik berfungsi sebagai penyeimbang dan penyedia hara, khususnya unsur mikro. Hara utama C-organik (karbon organik) berperan sebagai sumber makanan mikroba.
Sebagai pembenah tanah, pupuk organik mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk ini tidak menggantikan keberadaan pupuk anorganik, tetapi mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik.
Karena itu, pemerintah terus mendorong petani untuk mengembalikan bahan organik kembali ke lahan. “Pemerintah mendukung melalui subsidi pupuk organik,” jelas Muhrizal Sarwani, Direktur Pupuk dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementan, yang membuka acara Bimbingan Teknis Peningkatan Kualitas Pupuk Organik di Balittanah, Bogor (28/8).
Tahun ini, pemerintah memberikan subsidi 1 juta ton pupuk organik yang diproduksi perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sejauh ini, realisasi subsidi pupuk organik sudah mencapai 40% dari total 1 juta ton.
Dalam memproduksi pupuk organik, BUMN melibatkan mitra-mitra produsen pupuk organik (usaha kecil menengah-UKM) yang tersebar diseluruh Indonesia. Mitra produsen pupuk organik ini harus mengikuti beberapa uji agar produknya bisa lulus ke pasar.
Namun, banyak juga produsen yang mengklaim produknya bagus, tapi ketika diuji ada parameter yang tidak lulus. Untuk meningkatkan kualitas pupuk organik produksi mitra PT Pupuk Indonesia (Persero Group), Balittanah mengadakan Bimbingan Teknis Peningkatan Kualitas Pupuk Organik di kantornya pada 28-30 Agustus 2018.
Jaga Produksi
Tahun 2017 merupakan tahun yang berat bagi petani padi. Pasalnya, hama wereng batang cokelat (WBC) menyerang dengan hebat dan membawa virus yang menyebabkan padi menjadi kerdil rumput dan kerdil hampa. Petani wilayah pantura Jawa Barat mengenalnya dengan istilah mejen. Di daerah Pantura Jawa, serangannya meluas.
Tahun ini petani relatif lebih tenang. Serangan wereng dan virus masih ada tapi tidak separah tahun lalu. Haji Adin, petani padi asal Cirebon, mengambil hikmah dari kegagalan tahun lalu. “Saya berpikir positif saja. Mungkin kita kurang sedekah, makanya banyak serangan hama penyakit. Sekarang kita harus lebih banyak sedekah lagi, berbagi dengan sesama. Alhamdulillah tahun ini panennya bagus,” ungkap petani yang pernah mengenyam pendidikan sarjana ekonomi itu.
Kejadian ledakan hama tahun lalu bisa disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, penggunaan pestisida berlebihan yang tidak sesuai dosis dan rekomendasi. Menurut Arya Yudas, Marketing Manager FMC Agricultural Manufacturing, jika ada petani yang menggunakan pestisida tidak terdaftar di Kementan, itu bahaya. “Intinya, ketika petani sudah bisa mengaplikasikan pengendalian hama terpadu (PHT), insya Allah akan terkendali,” ujarnya.
Menurut alumnus Universitas Padjadjaran itu, dalam menangani hama dan penyakit yang terpenting adalah pengamatan. “Saya yakin pemerintah juga sudah melakukan pengawalan. Saran saya, pemerintah meneruskan program sekolah lapang pengelolaan hama terpadu (SLPHT),” ujarnya.
Ia menjelaskan, selama bisa dikendalikan secara biologis, lakukanlah pengendalian biologis terlebih dahulu. Jika tidak bisa kemudian mekanis. Dan pengendalian kimia merupakan pilihan terakhir ketika sudah tidak ada jalan lain untuk mengatasi hama dan penyakit.
Benih Hibrida
Cuaca ekstrem dan kondisi lingkungan yang mudah berubah menuntut petani untuk memanfaatkan teknologi pertanian. Sudah banyak benih varietas unggul dirilis, tetapi tanpa produksi massal, varietas unggul itu hanya akan jadi publikasi yang tidak sampai manfaatnya ke petani.
“Kami industri benih dalam negeri bertekad terus mendukung swasembada nasional. Kontribusi kami adalah dengan penyediaan benih unggul secara massal,” terang Yuana Leksana, Kompartemen Tanaman Pangan Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo) di Jakarta (9/7).
Menengok keberhasilan jagung hibrida dalam meningkatkan produksi jagung dalam negeri, tidak ada salahnya mengaplikasikan teknologi padi hibrida di tanah Ibu Pertiwi ini. Saat ini, padi dengan varietas Ciherang masih mendominasi pertanaman padi di Indonesia.
Dari data Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) 2015, luas tanam varietas Ciherang yang dilepas pada 2000 itu masih mencapai 30,44% dari total luas tanam padi nasional. Padahal, sudah banyak varietas unggul baru yang dirilis Kementan.
Salah satu produk teknologi pertanian yang unggul adalah benih padi hibrida. Padi hibrida sudah terbukti berkontribusi dalam penyediaan beras. Di China, pemanfaatan padi hibrida mencapai 54% dari total pertanaman. Dengan produksi rata-rata 7,5 ton/ha, padi hibrida menyumbang sekitar 120 juta ton/tahun atau 57,5% total produksi padi di Negara Tirai Bambu itu.
Selain itu, India, Pakistan, Bangladesh, Filipina, dan Vietnam, juga sudah banyak menanam padi hibrida. “Mengapa kita tidak mencoba? Padi hibrida ini sudah menjadi pilihan di banyak negara Asia,” cetusnya.
Di Indonesia, pengembangan benih padi hibrida masih menghadapi beberapa tantangan. Yang utama adalah alih keterampilan khusus dari industri benih kepada penangkar mitra. Pasalnya, masih terjadi kesenjangan produktivitas antara industri dengan penangkar.
Misalnya, produktivitas benih oleh industri sebanyak 1,5 ton/ha, di tangan penangkar turun 25%-75%. Akibatnya, produktivitas rendah menyebabkan stok sedikit dan harga benih hibrida mahal.
Tampaknya masih perlu tambahan waktu untuk meningkatkan ketrampilan penangkar agar kinerjanya menyamai industri benih.
Galuh Ilmia Cahyaningtyas