Dengan target besar sebagai lumbung pangan, pembangunan pertanian dimulai dari daerah-daerah potensial. Hal ini tak luput dari peran penting pemerintah daerah.
Merealisasikan mimpi menjadi lumbung pangan dunia 2045 memang tidak mudah. Tetapi, Indonesia memiliki modal besar sebagai negara agraris. Diantaranya, lahan pertanian tersebar ke seluruh daerah di Tanah Air. Target tinggi tersebut juga dinilai sangat masuk akal dan terukur.
Lantaran, saat ini Indonesia sudah mampu swasembada beberapa komoditas, seperti beras, jagung, bawang merah, dan protein, khususnya daging dan telur ayam. Karena itu semua pemerintah daerah wajib berkontribusi secara konkret dalam menyukseskan tekad besar itu.
Gambaran kontribusi tersebut setidaknya tampak di Jawa Tengah (Jateng). Suryo Banendro, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Prov. Jateng berujar, dalam mewujudkan kedaulatan pangan, pembangunan pertanian di tiap provinsi harus dijaga. Cita-cita itu disusun melalui peta jalan (road map) berdasarkan usulan yang tetap menjaga kearifan lokal. Salah satu poin nawacita adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Poin tersebut berkaitan erat dengan pertanian, yakni peningkatan kedaulatan pangan.
Menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Jateng periode 2013-2016 ini, kedaulatan pangan dicerminkan pada kekuatan untuk mengatur masalah pangan secara mandiri. Yang didukung dengan ketahanan pangan, pengaturan kebijakan, serta mampu melindungi dan menyejahterakan pelaku utama di bidang pangan.
“Sistem yang kompleks melibatkan peran lintas sektor dengan penanganan secara multidisiplin. Ini perlu diwujudkan melalui koordinasi dan kerjasama lintas sektor masyarakat,” papar Suryo dalam Seminar Kedaulatan Pangan “Menuju Lumbung Pangan Dunia 2045” yang diselenggarakan AGRINA dan Pusat Pangan dan Agribisnis, di Jakarta, Rabu (28/4).
Peran Strategis Daerah
Dinas Ketahanan Pangan (DKP) tiap provinsi memainkan peranan strategis menuju kemandirian atau pemenuhan kebutuhan pangan yang diutamakan bersumber dari produksi dalam negeri. Suryo menjabarkan, peranan DKP antara lain menjamin hak atas pangan, menjadi basis untuk membentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas, dan menjadi pilar ketahanan pangan.
Dalam hal ini, imbuh Suryo, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng selaras dengan benang merah nawacita. Yakni, mewujudkan kedaulatan pangan dan energi, serta mengentaskan kemiskinan yang ada di desa. “Pembangunan di Jawa Tengah didorong dari peta kemiskinan,” ulasnya.
Untuk mengejar upaya khusus padi, jagung, kedelai (upsus pajale), khususnya komoditas kedelai, Jateng sudah menanam seluas 200 ribu ha. Sebelumnya hanya sekitar 97 ribu-105 ribu ha. Hal ini tak luput dari peningkatan anggaran yang mencakup 500 ribu ha. Suryo menjelaskan, ini sudah menjadi lompatan jauh dan didukung identifikasi lapangan.
Sebagai terobosan dalam langkah strategis pemberdayaan sektor pertanian, Pemprov Jateng membuat pertanian yang terintegrasi dengan Perhutani dan pihak lainnya. Selain itu, membuat payung regulasi sehingga tambahan produksi tanaman pangan secara nyata juga berasal dari lahan-lahan milik Perhutani.
“Optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya di dalam kawasan hutan dan di sekitar kawasan hutan untuk menumbuhkembangkan perekonomian di desa-desa sekitar hutan,” ungkap lulusan S-2 Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jateng ini.
Adaptif Teknologi
Untuk meningkatkan produksi bisa melalui peningkatan luas panen dan perluasan areal. Namun, ketersediaan lahan di Jateng terbatas dan sudah kurang memungkinkan lagi untuk perluasan. Suryo mencontohkan, “Cilacap pun kalau untuk tambahan lahan hanya mampu sekitar 700-1.000 ha dan itu kemungkinan untuk kedelai,” kata dia.
Sebagai upaya peningkatan produksi, ujarnya, Jateng melakukan peningkatan indeks pertanaman. Semua berkat mengeksekusi teknologi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan). Tetapi, ia meminta diseminasi hasil litbang juga harus agresif agar petani tahu teknologi terbaru.
Suryo mengklaim, Jateng sangat adaptif dengan teknologi. Dengan teknologi, akses informasi juga dimudahkan. Lahan-lahan dekat pantai produksi padinya hanya 2 ton/ha. Dengan dukungan APBD, varietas genjah Banyuasin yang toleran salinitas didatangkan dari litbang. Suryo menyebutkan, hasil panen kini lebih besar, yakni 4,5-5 ton/ha.
Sementara untuk daerah tadah hujan, lulusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UGM ini mengandalkan Inpago 4 dan Inpago 5. Baik Inpago 4 maupun Inpago 5 merupakan padi gogo golongan cere yang dijadikan alternatif budidaya padi di lahan kering. Kemudian, ada Inpari 42 dan Inpari 41. Ia meyakini, keberhasilan pertanian di hulu, khusunya Jateng tidak lepas dari adopsi teknologi yang telah dikeluarkan litbang.
Untuk komoditas jagung, Jateng bekerja sama dengan Balit Serelia Maros, Sulsel. Menurut Suryo, benih-benih yang diciptakan para ahli di Maros tidak kalah bersaing. Sebagai contoh, jagung BIMA 14 yang cocok ditanam di lahan Perhutani. “BIMA 14 dapat beradaptasi dengan tanaman tegakan,” beber Suryo.
Kolaborasi Antardaerah
Pertanian juga tidak bisa lepas dari masalah budaya dan sosial. Untuk itu Jateng menerapkan prinsip budaya kehati-hatian. Misalnya untuk masalah kekurangan SDM, pria kelahiran 8 April 1961 itu menjelaskan, diatasi dengan mekanisasi.
“Dengan combine harvester, jangkauan petani dalam memanen lebih tinggi dan sekarang petani jadi bisa menikmati harga yang lebih baik,” terangnya. Sementara untuk daerah yang masih cukup tenaga kerja, diberikan pelatihan dan pengetahuan.
Suryo menekankan, peran para pimpinan daerah juga sangat penting. Kolaborasi satu daerah dengan daerah lainnya akan memudahkan dalam pembangunan pertanian. “Jateng berkolaborasi dengan pemerintah daerah lainnya juga. Saat ini tengah dibangun empat waduk di Karanganyar, Grobogan, Kudus, dan Kuningan. Walaupun Kuningan itu Jawa Barat tapi airnya mengalir dari Brebes, Jawa Tengah,” ia melengkapi.
Try Surya Anditya, Galuh Ilmia Cahyaningtyas