Bertahan dalam budidaya udang selama tiga dekade perlu strategi, kiat, atau resep khusus agar tidak goyang menghadapi pahit-getirnya bisnis yang butuh investasi besar.
Itulah yang dilakoni Ali Kukuh, Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) wilayah Lampung. Ia sudah menjalankan budidaya udang di Kalianda, Kab. Lampung Selatan, Lampung sejak 1988. Dalam menakhodai “kerajaan” udangnya, Ali tidak memperluas tambak, tetapi menjalankan yang ada dengan sungguh-sungguh dan telaten. Hingga kini ia masih mengusahakan tambak udang seluas 40 ha meski memiliki lahan seluas 100 ha. Apa resepnya untuk bisa bertahan di satu lokasi selama 30 tahun?
Sesuai Kebutuhan Jangka Panjang
Ali tak banyak berpetuah. Ia cuma menjalankan budidaya sesuai kebutuhan jangka panjang. Pada 1998 saat pembudidaya lain belum berpikir membangun tandon untuk menetralisasi air laut, ia sudah mengerjakannya. Begitu pula dengan pembuatan instalasi pembuangan air limbah (IPAL) yang dianggap teman-teman sejawat pembudidaya udang sebagai pemborosan.
Tokoh perudangan Lampung itu tetap menjalankan rekomendasi seorang profesor bidang perikanan dari Taiwan yang menjadi konsultan membangun tambak. Walaupun sebetulnya saat itu tanpa tandon dan instalasi limbah pun budidaya bisa berjalan baik.
Bahkan, ketika sang profesor meminta Ali membebaskan lahan berketinggian lebih dari 5 m dpl, berpasir, serta jauh dari muara sungai juga diikuti. Padahal, pembudidaya lain banyak justru mencari lahan tambak di Pantai Timur Lampung yang berawa.
Kalaupun ada yang membuka tambak di seputaran Kalianda dan Bakauheni, mereka mencari lahan yang pantainya landai sehingga mudah memasukkan air. Bahkan, di Kalianda ada yang membuka areal tambak dekat muara sungai agar bisa menjadi saluran inlet.
“Kiranya rekomendasi profesor tersebut benar semua. Karena jika lahan tambak lebih tinggi dari permukaan laut, lebih mudah dan cepat mengeringkan tambak. Begitu juga areal harus jauh dari muara sungai supaya air sungai yang banyak mengandung limbah rumah tangga dan industri tidak masuk ke tambak,” kenangnya Ali ketika ngobrol dengan AGRINA.
Panen udang juga dilakukan di kolam yang lebih tinggi dari permukaan laut karena cukup membuka saluran outlet dan memasang jaring. Sehingga, udang yang masuk jaring dalam kondisi bersih.
Sarana dan prasarana yang lengkap membuat tambak (farm) Ali sering dikunjungi tamu luar negeri. Pembeli udang dari Jepang dan Amerika selalu diarahkan ke tambaknya. Begitu pula setiap ada inspeksi dari tim Uni Eropa untuk mengecek residu antibiotik pada udang yang mereka impor, selalu datang ke sana. Dengan berbagai kelebihan dan keunggulan, udang asal farm Ali sangat disukai pembeli.
Kendati demikian, ia tidak tergiur untuk jor-joran menaikkan kepadatan tebar dan memacu pertumbuhan udang dengan memberi pakan berlebihan. Hasilnya, usaha Ali stabil dan berkelanjutan hingga 30 tahun. Sementara tambak pembudidaya lain yang tidak dilengkapi tandon dan IPAL sudah banyak berpindah tangan.
Belajar ke Taiwan
Namun, Ali menambahkan, bukan berarti usaha budidaya udangnya tidak menemui masalah. Ketika pertama kali memulai bisnis “si bongkok” pada 1984, ia mengalami kegagalan. Saat itu lokasi tambaknya di Sidomulyo, Lampung Selatan. Pada 1986-1987 ia pun mencari lahan baru untuk kembali membuka tambak. Lalu ketika White Spot Syndrome Virus (WSSV) secara massal menyerang udang windu pada era 1990-an, udang miliknya juga tidak luput.
Saat periode 2000-an diperkenalkan udang vaname yang lebih tahan penyakit, padat tebar bisa lebih tinggi, dan pertumbuhan lebih cepat, Ali ikut beralih. Sebelumnya, pembudidaya udang di Lampung sempat menebar benur udang blue shrimp, tapi tidak bertahan lama karena pemasaran kurang lancar.
Padat tebar windu hanya 30 ekor/m2. Dengan angka kelulusan hidup (Servival Rate–SR) 70%, bisa panen 6-7 ton/ha pada umur 120-125 hari dan berukuran 30 ekor/kg. Pada kolam ukuran 3000 m2, Ali bisa memanen 2 ton udang. Sementara jika menebar benur vaname, padat tebar bisa dikatrol hingga 200 ekor/m2. Meski begitu, Ali tidak melakukannya. Ia cukup berhati-hati agar budidaya berjalan lancar.
Agar usaha budidaya udangnya tidak gagal lagi, Ali benar-benar serius mempersiapkan. Ia berprinsip tak akan memulai suatu bisnis baru jika belum menguasai benar seluk-beluk usaha tersebut. Karena itulah ia belajar budidaya si bongkok hingga ke Taiwan. Selepas belajar, ia mengajak sang profesor Taiwan ke Indonesia sebagai konsultan. Dari situlah profesor menemukan lokasi yang cocok untuk budidaya udang di Kalianda dan memberikan rekomendasi cara budidaya udang yang baik.
Selain teknis budidaya, Ali juga memperoleh ilmu tentang pentingnya sumber daya manusia (SDM) dalam mencapai kesuksesan budidaya udang. Sehebat apapun teknologi serta selengkap apapun sarana dan prasarana, jika SDM yang menjalankannya tidak terampil, maka hasilnya akan gagal.
“Keberhasilan budidaya di luar negeri, termasuk di Taiwan, paling utama terletak pada SDM. Kualitas SDM di Lampung masih rendah dibandingkan Jawa, apalagi dengan di luar negeri. Tidak saja dari sisi pendidikan tapi juga dari sisi etos kerja, kesungguhan, dan ketekunan,” jelasnya.
Menurut pengalaman dan pengamatan Ali, tambak yang stabil dan kontinu didukung staf dan karyawan yang terampil dan berdedikasi tinggi. Karena itu, ia selalu mendorong karyawannya untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan. Ke depan ia menilai, para pegawai tambak perlu mendapat pelatihan motivasi agar memiliki satu visi dan misi.
“Kalau dari pemilik bisa dipastikan ketika produksi udang bagus, maka keuntungannya pasti dibagi kepada semua pekerja. Kita tidak akan kaya sendiri. Kita ingin semuanya menikmati hasil kerja bersama,” terang pria yang pernah mencoba berbisnis hasil bumi itu.
Regenerasi Bertahap
Menginjak usia senja, Ali tidak berhenti berkarya. Meski sesekali masih cawe-cawe dalam budidaya udang, pria berusia kepala enam ini fokus memperluas bisnisnya ke sektor properti. Tanggung jawab usaha budidaya udang diserahkan kepada anak-anaknya secara bertahap.
Wakil Ketua Yayasan Budha Suci Lampung ini menjelaskan, “Dilakukan secara bertahap karena anak-anak sekarang maunya serba instan. Padahal dalam berbisnis tidak bisa demikian. Ibarat naik tangga kita harus memulainya dari bawah. Tidak bisa langsung berada di atas. Sebab jika kita langsung berada di atas, sulit untuk bangun saat jatuh.”
Bapak yang rendah hati ini memilih tetap menyibukkan diri dengan bekerja daripada pensiun karena mengkhawatirkan kesehatannya yang menurun bila tidak beraktivitas. Ketika kegiatan bisnis berkurang, ia akan menambah kesibukannya di bidang sosial. “Justru jika pensiun bisa sakit,” pungkasnya terkekeh.
Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)