Bergeser Positif atau Negatif?
Persoalan seputar pemenuhan kebutuhan daging sapi nasional ternyata masih jauh dari selesai. Langkah pemerintah membuka impor daging kerbau dari India, nyatanya tidak serta merta dapat menekan harga daging di pasaran supaya lebih terjangkau. Malahan ada tren rataan harga daging di pasar cenderung terus meningkat.
Sedikit menyegarkan ingatan kita, setidaknya 9.500 ton daging kerbau asal India sudah membanjiri pasar Jabodetabek mulai akhir Agustus 2016. Sepanjang 2016 Bulog diberi izin impor daging India sampai 70 ribu ton.
Daging kerbau itu diimpor Bulog selaku pemegang hak tunggal atas pemasukan daging asal India. Sementara pengusaha yang selama ini mengimpor daging ditawari ikut andil dalam pendistribusiannya ke pasar tradisional. Alasannya, Bulog tidak memiliki fasilitas rantai dingin untuk mendukung proses distribusi daging.
Melenggangnya daging kerbau asal India ke pasar Indonesia merupakan konsekuensi diberlakukannya Undang-undang (UU) No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengubah dasar pemasukan ternak dan produk ternak dari berbasiskan negara (country) menjadi zona (zone base). Artinya ternak atau produk ternak dapat diimpor dari sebuah zona bebas penyakit tertentu, meski secara negara belum dinyatakan bebas penyakit tersebut oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Karena itu India yang belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dapat mengirim daging ke Indonesia dari zona bebas PMK.
Implementasi UU tersebut baru sebatas pemasukan daging tanpa tulang, sementara untuk ternak hidup belum diperbolehkan mengingat India belum bebas PMK. Sejauh ini baru India yang masuk pasar Indonesia, tapi tidak menutup kemungkinan menyusul Brasil dan Argentina.
Pemerintah berdalih, langkah ini untuk menyediakan daging sapi atau kerbau dengan harga yang terjangkau. Presiden Jokowi sempat menekankan harga daging sapi di tingkat konsumen tidak boleh lebih dari Rp80 ribu per kg. Kebutuhan masyarakat Indonesia yang terbilang tinggi juga jadi alasan pemerintah membuka pintu impor daging dari India dan negara lain supaya ada persaingan harga.
Satu tahun lebih setelah kebijakan impor daging ini diterapkan mulai terlihat dampaknya. Dari sisi harga, pelaku usaha peternakan sapi potong Yudi Guntara Noor mengeluarkan data rataan harga daging sapi periode 2010 - 2016 yang cenderung meningkat, bahkan sampai di atas Rp100 ribu per kg. Padahal seharusnya pemasukan daging impor bisa menekan harga karena daging India terbilang murah.
Ketum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana melihat dampak kebijakan ini pada 2017 berupa pergeseran preferensi konsumen, khususnya industri skala rumah tangga, seperti bakso, sosis, dan lainnya yang cenderung membeli daging India yang lebih murah. Hal ini mulai berimplikasi pada turunnya minat beternak karena harus bersaing dengan daging impor.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, dikhawatirkan tahun depan akan mulai terjadi depopulasi sapi di dalam negeri. Meskipun pemerintah mengklaim populasi sapi potong terus meningkat, kemungkinan besar di lapangan relatif stagnan. Peternak sapi pun mulai mengeluh permintaan sapi lokal menurun drastis akibat pergeseran preferensi konsumen tersebut.
Lalu dari sejumlah dampak tersebut, bisa dipertanyakan mana dampak positifnya? Dari sisi konsumen memang tersedia daging yang lebih murah. Tapi harus dilihat jenis daging apa karena umumnya daging yang dijual lebih murah masuk kategori jeroan. Sementara harga daging murni tetap tinggi.
Terkait dampak ini pemerintah juga harus mendengar keluhan peternak lokal. Kalau tidak, bisa terjadi depopulasi sapi lokal yang ujung-ujungnya harga daging melambung. Alih-alih harga daging turun, malah peternak sapi lokal merana akibat kebijakan ini.
Seharusnya pemerintah menerapkan kebijakan jangka menengah dan panjang untuk meningkatkan populasi sapi nasional supaya terjadi keseimbangan antara permintaan dan pasokan. Tentunya ini perlu kesabaran tingkat tinggi dari semua pihak terkait bisnis sapi potong.