Tidak butuh waktu berhari-hari untuk mendapatkan 90% xanthorrhizol dari ekstrak temulawak. Mau tahu caranya?
Xanthorrizol terbilang produk unggulan Javaplant, perusahaan yang bergerak dalam usaha ekstrak bahan alam berkhasiat dari Indonesia. Junius Rahardjo, Chief Executive Officer Javaplant mengajak AGRINA melihat dari dekat proses produksi xanthorrizol di pabriknya yang berlokasi di Gedangan Salam, Karangpandan, Karanganyar, Jateng (6/2).
Junius bercerita, pada periode 2000 - 2006 belum banyak ekstrak bahan alam yang bisa diekspor. Ekstrak bahan bahan alam tersebut baru dipasarkan untuk kebutuhan di dalam negeri. Hingga pada 2006 ekspor ekstrak kayu manis untuk pertama kalinya merambah pasar Amerika.
Javaplant sebagai spesialis penghasil ekstrak bahan alam terus berinovasi dengan tanaman asli Indonesia yang berkhasiat, satu di antaranya adalah temulawak. Ekstrak temulawak menjadi salah satu perhatian utama Junius dalam mengembangkan produknya. Alasannya, “Karena temulawak asli Indonesia, tidak tumbuh di mana-mana dan tidak ada orang lain yang jual, jadi kami ingin mempromosikannya. Sehingga, kami memiliki spesialisasi di luar negeri dalam menghasilkan ekstrak tersebut, seperti Jepang, Korea, Amerika, dan Eropa.”
Menurut alumnus Fakultas Ekonomi, Universitas Oregon, Amerika Serikat ini, sudah banyak masyarakat yang tahu khasiat temulawak. Namun kebanyakan masyarakat tidak tahu manfaat kandungan xanthorrhizol yang ada dalam temulawak. Xanthorrhizol bisa digunakan sebagai obat, kosmetik, personal care, dan life style ingredients. Selain itu, temulawak juga mengandung senyawa yang juga berkhasiat, yaitu kurkumin.
Untuk bisa mendapatkan xanthorrhizol, Javaplant melakukan ekstraksi. Sebelumnya butuh waktu berhari-hari mengekstrak temulawak untuk memanen xanthorrhizol. Kini, perusahaan Junius mampu mengekstraksi tidak lebih dari satu hari melalui proses perkolasi, evaporasi, separasi, dan purifikasi. Proses ekstraksi temulawak tersebut mampu menghasilkan xanthorrhizol berkonsentrasi 90%
Perkolasi dan Evaporasi
Di pabrik, Junius menjabarkan proses memanen xanthorrhizol. Satu perkolator skala kecil mampu mengekstrak 5 kg simplisia temulawak. Javaplant memiliki empat unit perkolator skala kecil dengan kapasitas 50 liter per unit dan perkolator berskala besar dengan kapasitas 2.000 liter.
Kapasitas perkolator, kata Junius, memiliki perbandingan 1 : 10, artinya untuk 1 kg simplisia butuh pelarut yang berupa 10 liter ethanol water (campuran ethanol dan air) atau bisa menggunakan air 100%. Untuk ethanol water ini bisa menggunakan perbandingan ethanol 30% : air 70%, 50% : 50%, atau 90% : 10%. “Tergantung target yang diinginkan. Untuk menarik semua kandungan xanthorrhizol yang ada di simplisia temulawak, kami menggunakan pelarut dengan 90% etanol,” ujarnya.
Proses perkolasi ini butuh waktu 30 menit. “Dengan durasi itu, kami bisa mengekstrak simplisia temulawak. Ekstrak yang dihasilkan masih berupa etanol yang mengandung xanthorrhizol dan kurkumin yang kami sebut perkolat,” lanjutnya. Lalu, perkolat dipekatkan dengan cara diuapkan dengan rotary evaporator. Setelah itu perkolat berubah menjadi liquid concentrate dengan kandungan xanthorrhizol 23%.
Separasi
Liquid concentrate yang mengandung kurkumin dan xanthorrhizol diproses kembali. Tahapan berikutnya adalah separasi untuk memisahkan xanthorrhizol dan kurkumin. Prosesnya melalui pencampuran liquid concentrate dengan heksan 1 : 1 agar terjadi pemisahan. “Setelah dicampur, nanti yang kurkumin akan tetap larut di dalam etanol, sedangkan xanthorrhizol akan larut di dalam heksan. Yang di bawah adalah kurkumin, dan yang di atas adalah xanthorrhizol,” jelas Junius.
Setelah pemisahan, masing-masing senyawa tersebut ditempatkan pada tangki yang berbeda. “Jadi, targetnya adalah mendapatkan senyawa xanthorrhizol, tapi kita juga mendapatkan produk sampingan berupa kurkumin. Dari proses sparasi ini, kandungan xanthorrhizol meningkat menjadi 40%,” terangnya.
Purifikasi
Proses selanjutnya adalah pemurnian xanthorrhizol atau disebut dengan tahapan purifikasi. “Tahapan terakhir ini menggunakan kolom kromatografi. Kolom yang berisikan resin seperti serbuk pasir yang besar-besar. Kalau dilihat secara mikroskopik, resin ini memiliki rongga-rongga atau lubang,” sebut Junius.
Jadi, pada saat xanthorrhizolheksan dimasukkan dari atas dengan cara mengalirkan ke bawah, xanthorrhizol akan terperangkap di dalam rongga-rongga tersebut. Setiap 30 menit harus ada kontrol untuk melihat apakah ada xanthorrhizol yang lolos dari rongga tersebut. “Kalau sampai lolos berarti ada kolom yang nggak benar. Mungkin alirannya terlalu cepat atau mungkin resinnya kurang padat,” ulas pria asli Tegal, Jawa Tengah, ini.
Selanjutnya, xanthorrhizol yang terperangkap dalam lubang digelontor dengan etanol. Pada saat digelontor, konsentrasi xanthorrhizol akan meningkat menjadi 70%.
Untuk mendapatkan xanthorrhizol berkonsentrasi 90%, maka harus dilakukan purifikasi lagi dengan cara yang sama tetapi menggunakan resin berbeda. “Hasilnya akan lebih terkonsentrasi hingga mencapai 90%,” tutur lelaki yang sejak kecil tinggal di luar negeri ini.
Memang, ungkap Junius, tidak selamanya hasil ekstrasi yang dilakukan bisa mendapatkan konsentrasi xanthorrhizol tepat 90%. “Ada yang konsentrasinya mencapai 96% dan kadang ada pula yang hanya 89%,” kata pecinta travelling ini. Jadi, untuk bisa mendapatkan konsentrasi 90%, dilakukan pencampuran atau homogenitas antara xanthorrhizol yang berkonsentrasi 89% dan 96% sehingga bisa mendapatkan hasilnya 91% - 92%.
Meski, proses ekstraksi yang dilakukan dengan target kadar konsentrasi mencapai 90%, Javaplant juga melayani permintaan pelanggan yang membutuhkan xanthorrhizol dengan kadar konsentrasi 50%. “Kami memasarkan sesuai permintaan pelanggan ada yang 50%, ada juga yang 90%,” katanya.
Untuk pelanggan yang membutuhkan konsentrasi 50%, Javaplant tetap melakukan ekstraksi xanthorrhizol hingga 90%. Xanthorrhizol pekat ini diproses lagi dengan menggunakan medium chain triglyceride (MCT) dari kelapa untuk menurunkan menipiskan kadar konsentrasi xanthorrhizol sampai pada kadar yang diinginkan.
Arlina Ratnasari, Yogi Ajeng Ningrum, Hermai Nini