Tidak perlu repot membeli mesin ke Eropa. Datang saja ke Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Bahkan mesin karya anak bangsa ini sudah diekspor ke Jerman.
Sebagai salah satu produsen kakao, Indonesia tentu memerlukan mesin pengolah biji kakao, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Menurut data Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), jumlah biji kakao yang digiling di Indonesia sekitar 350 ribu ton. Jika produksi kakao mengacu data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, yang sekitar 800 ribu ton per tahun, berarti biji kakao yang diolah di Indonesia sekitar 44%.
Dalam perdagangan biji kakao dikenal peringkat mutu, yang dapat dilihat dari jumlah biji kakao per bobot 100 gram. Mutu AA dengan jumlah biji maksimal 85 per 100 gram, mutu A 86 – 100, mutu B 100 – 110, mutu C 110 – 120, dan mutu S di atas 120 per bobot 100 gram.
Nah, kita patut berbangga, putra-putri Indonesia mampu memproduksi mesin pengolah biji kakao, mulai dari pemisah biji kakao dengan dagingnya hingga pengolahan daging biji kakao menjadi pasta kasar dan halus. “Selama ini, mesin-mesin pengolah (biji) kakao (dari) Eropa. Tapi alat-alat ini asli dari Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Bahkan sudah dieskpor ke Jerman,” kata Iwan Ridwan, Engineer PT Kerta Laksana, produsen mesin pengolah biji kakao.
Bahkan, menurut Iwan, mesin-mesin pengolah biji kakao yang mereka produksi ini bisa mengolah sampai jadi permen cokelat. “Dari proses awal pengolahan biji kakao sampai candy siap makan hanya butuh waktu 6 jam,” katanya beberapa waktu lalu kepada AGRINA.
Tentu saja masing-masing mesin berkapasitas berbeda-beda. ”Beda-beda kapasitas, mulai dari 7-8 kg, 10-12 kg, bahkan 100 kg. Mesin yang kapasitasnya besar sudah diproduksi sejak 1980-an dan yang kecil sejak 2010. Sehingga, kalau mau dinaikkan kapasitasnya bisa, nggak perlu beli mesin semua, tinggal di-scale up,” ulas Iwan saat ditemui AGRINA di Jakarta.
Proses
Langkah awal yang harus dilakukan tentu pemisahan kulit biji kakao dengan dagingnya. Karena, tidak mungkin kulitnya ikut dikonsumsi. “Kulit dan dagingnya harus dipisah. Kulitnya jangan dimakan, yang dimakan dagingnya. Dari 100 kg biji kakao, setelah dipisahkan nanti perbandingan hasilnya 70 kg daging dan 30 kg kulit, itu ambil jeleknya. Dari (daging) itu nanti nyusut dengan kadar air yang tadinya 12% menjadi 5%-7%,” ujar Iwan.
Setelah terpisah, daging biji kakao dipanaskan dengan alat yang disebut roaster. Mesin ini berfungsi untuk mengeringkan daging biji kakao sehingga kadar airnya berkurang lagi, “Dipanaskan sekitar 50 menit dengan suhu maksimalnya 110oC. Kapasitas sekali proses 15 kg – 20 kg. Dengan roaster ini, kadar airnya berkurang 0% - 3%,” kata pria berkaca mata ini.
Kemudian, Iwan menerangkan, langkah selanjutnya adalah pendinginan daging buah dengan cooler. Mesin yang digunakan ini dilengkapi dengan blower peniup sebagai proses pendinginan daging biji kakao untuk mempercepat proses pendinginan. “Karena, proses sebelumnya akan menyisakan panas. Jadi, akan ada efek gosong pada (daging) bijinya. Kalau sudah begitu nggak enak jadinya,” ujar pria berprofesi sebagai perekayasa ini.
Setelah daging biji kakao tersebut dingin, proses selanjutnya adalah menggunakan mesin yang mengubah inti biji cokelat (Nibs) menjadi pasta kasar. “Jadi ini adalah pemastaan. Ada bola bajanya juga, gunanya sebagai grinding (penggiling). Nah nanti hasil akhirnya seperti pasta kasar,” tutur Iwan. Dan selanjutnya menggunakan mesin untuk menghaluskan pasta kasar menjadi liquor atau pasta halus, yang selanjutnya dapat diolah menjadi permen coklat.
Arlina Ratnasari, Yogi Ajeng Ningrum