“Bisakah pertanian Indonesia didukung oleh mekanisasi yang lebih hebat dari sekarang?” ujar Dr. Ir. Haryono.
Untuk menghadapi pasar bebas ASEAN Economy Comunity (AEC) 2015, Indonesia memerlukan sistem pendukung ketahanan pangan. Karena itu, melalui kegiatan Rembug Nasional (Remnas) Mekanisasi Pertanian pada 25 Maret 2014 di Kementerian Pertanian, diharapkan terjadi penyatuan persepsi sebagai modal konsolidasi dan kolaborasi.
Pentingnya Mekanisasi
Ir. H. Winarno Tohir, Ketua Kelompok Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) berharap, melalui Remnas ini, ia mendapatkan titik terang untuk mengatasi permasalahan petani. “Karena, menghadapi AEC 2015 tanpa mekanisasi, pertanian nasional akan tersisih oleh petani-petani negara lain. Terutama masalah harga-harga yang tidak kompetitif,” tutur pria kelahiran Indramayu ini.
Dr. Ir. Haryono, M.Sc., Ketua Komisi Nasional Mekanisasi Pertanian mengungkapkan, yang menjadi komoditas penting pada 10 tahun terakhir adalah padi (pangan) dan sawit (perkebunan) yang selalu memberikan devisa tertinggi. Sehingga pria yang menyelesaikan studi Strata 1 di Institut Pertanian Bogor ini menambahkan, “Mekanisasi pertanian dan engineering pertanian is a must! Itu sebuah kepastian.”
Penguasaan bioscience, engineering support system, teknologi dan inovasi merespon dinamika iklim, serta Information Technology (IT) merupakan ciri-ciri dari pertanian modern. Jadi, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian, Kementerian Pertanian itu, pertanian tanpa mekanisasi itu bukan apa-apa. Sesungguhnya alat mesin pertanian (alsintan) ini sangat membantu petani. Manfaat yang dirasakan adalah efisien waktu, tenaga kerja manusia ataupun hewan, serta hemat biaya. Selain itu dengan mekanisasi, jumlah produksi padi nasional dapat terus ditingkatkan walaupun terjadi perubahan iklim dan penurunan jumlah Kepala Keluarga (KK) yang mengusahakannya.
Lebih jauh Haryono menjelaskan, jumlah KK petani pada 2003 sebanyak 43 juta, dan mengalami penurunan menjadi 38 juta pada 2013. Mereka mengolah lahan seluas 12 juta ha sehingga memerlukan efisiensi yang baik untuk pengolahan tanah dan kegiatan tanam hingga panen. Memang, petani Indonesia hebat meski belum optimal menggunakan alsintan lantaran produksi padi yang selalu meningkat setiap tahun. Luas area penanaman padi tidak ada perubahan setiap tahun, yaitu berkisar 12 juta – 13,5 juta ha. Namun, hasil produksi padi nasional pada 2003 sebanyak 4,54 ton/ha. Dan mengalami peningkatan jumlah produksi sebesar 5,16 ton/ha pada 2013. Meski demikian, ia menekankan petani untuk menggunakan alsintan agar lebih efisien dalam berproduksi.
UPJA
Haryono menyayangkan, banyak komponen-komponen dalam bisnis pertanian yang berjalan sendiri-sendiri. “Bisakah pertanian Indonesia didukung oleh mekanisasi yang lebih hebat dari sekarang? Sesungguhnya kita dihadapkan pada masalah pertanian yang sangat kompleks,” tantang dia.
Di dalam pertanian nasional, terdapat tiga permasalahan terbesar, yaitu, lahan, infrastruktur, dan permodalan dan pembiayaan. “Jika lahan dan infrastruktur dapat terpecahkan, sesungguhnya pertanian di Indonesia akan menjadi menarik,” tutur peraih gelar doktor lulusan Thailand ini. Dan apabila ketiga permasalahan tersebut sudah dapat teratasi, maka yang perlu dihadapi adalah teknologi, inovasi, termasuk perbenihan.
Selain itu, teknologi juga menjadi suatu permasalahan bagi petani. Alsintan banyak yang rusak. Bukan karena tidak dapat diperbaiki, tetapi lantaran masalah manajemen. “Banyaknya yang terjadi sekarang, masuknya mesin-mesin dari luar ini, petani tidak dapat mengontrol kualitas,” keluh Winarno. Ia menyarankan, baiknya petani hanya sebagai pengguna saja, tidak dilibatkan dalam pemeliharaan.
Winarno mengakui, kemampuan petani terhadap mesin terlalu lemah. Ia pun menyambut baik keputusan Kementerian Pertanian yang membentuk Unit Penyewaan Jasa Alsintan (UPJA). “Jadi khusus untuk orang-orang yang memahami tentang mesin-mesin itu. Dan dia khusus memelihara, spesial masalah alsintan. Jadi ke depan berharap, UPJA ini bisa lebih besar lagi sehingga bisa dimanfaatkan oleh petani,” terang pria kelahiran 1957 ini.
Selain itu, Winarno menyesalkan tidak adanya dukungan petani dari perbankan. Kesulitan untuk mendapatkan traktor dengan cara kredit menjadi permasalahan tersendiri. “Kalau motor cukup Rp100 ribu – Rp200 ribu/unit, sedangkan traktor harus tunai karena tidak ada Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Saya sudah mengusulkan untuk dikasih BPKB agar bisa sama dengan motor. Tapi kata pemerintah jangan, kalau petani dikasih BPKB nanti traktornya kena pajak, sama dengan motor. Dan hingga saat ini tidak ada jalan keluarnya,” keluh Winarno.
Sosial Budaya
Dalam penanganan alsintan tidak hanya berbicara masalah teknologi. Tetapi, sosial budidaya juga menjadi aspek yang penting karena tidak semua petani dapat menerima teknologi mekanisasi ini. “Kalau kita lihat dari kondisinya, ada wilayah-wilayah yang dibagi menjadi tiga klaster. Yaitu, ada yang sangat responsif terhadap inovasi atau penerapan teknologi mekanisasi. Kemudian ada yang responnya sedang-sedang saja. Dan bahkan, ada yang sampai menolak,” ungkap Ir. Pending Dadih Permana, Mec., Dev., Direktur Pascapanen Tanaman Pangan, Ditjen Tanaman Pangan, Kementan.
Dadih mengatakan, ketiga klaster tersebut sebaiknya dijadikan landasan dalam perumusan kebijakan mekanisasi pertanian dan komitmen pembiayaan yang terkait dengan dukungan untuk membangun mekanisasi pertanian.
Sementara itu, Prof. Bustanul Arifin, berpendapat, dalam pengembangan alsintan terdapat empat poin yang dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan. “Yang pertama, selama ini kita masih terkait dengan keterbatasan dalam basis data alsin. Basis data alsin yang selama ini menjadi pedoman adalah basis data sensus terakhir yang dilakukan pada 2003 lalu. Sehingga kita mengalami kesulitan,” ujar pengamat ekonomi pertanian ini.
Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah pengembangan alsintan, yaitu harus sinergi dan koordinasi baik lingkup internal maupun eksternal Kementan. “Karena banyak sekali pembuat kebijakan di luar Kementan yang juga memberikan posisi yang tidak kecil dalam pengembangan pertanian, seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Sosial,” ungkap Bustanul.
Ketiga, lanjut Guru Besar Tetap Ilmu Ekonomi Pertanian, Universitas Lampung (Unila) itu, pembina kelembagaan yang menaungi dalam pembangunan alsintan ini sangat lemah di lapangan. “Hanya sekitar 3% UPJA itu bisa berkembang. Memang betul. Data statistik nasional mengatakan, UPJA profesional itu jumlahnya hanya 457 unit. Tersebar di seluruh tanah air. Ini wajar, bahwa pengembangan alsintan untuk penguatan kelembagaan ini masih jalan di tempat,” tutur dia.
Keempat, menurut Inul, sapaan akrabnya, perlunya dibangun suatu percontohan. Walaupun selama beberapa tahun yang lalu telah direncanakan, tetapi hingga saat ini belum terealisasi.
Dadih menimpali, “Lakukan strategi pendekatannya. Kemudian jalinlah kerja sama serta membangun investasi di bidang mekanisasi.” Jadi, pembangunan mekanisasi pertanian ini perlu segera dirumuskan untuk menyusun kebijakan yang baru dengan memperhatikan perubahan konstelasi pemerintahan baru.
Arlina Ratnasari