Jika sarjana pertanian enggan turun langsung ke lapangan, mengapa tidak petani saja yang dijadikan sarjana pertanian?
Indonesia dikatakan sebagai negara agraris. Dengan dukungan lingkungan, iklim, dan lahan seharusnya pertanian negeri ini bisa maju. Namun faktanya kejayaan pertanian justru terlihat semakin meredup setiap tahun. Alih fungsi lahan pertanian, menurunnya kesuburan tanah, hingga ketidakmampuan produk pertanian lokal bersaing dengan produk impor, mengakibatkan petani semakin berada dalam posisi lemah. Berhenti bertani bukan pilihan, sementara kebutuhan hidup terus mendesak dan semakin mencekik leher. Sementara untuk meningkatkan produksi dan kualitas panen, petani kekurangan biaya dan teknologi.
Lalu ke mana para sarjana pertanian kita? Data Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional menyebutkan, pada 2010 jumlah mahasiswa pertanian sebanyak 173.158 orang dengan kelulusan diprediksi 100 ribu orang setiap tahun. Diperkirakan, pada 2025, jumlah mahasiswa pertanian tak kurang dari 5,5 juta orang.
Sayangnya, tak cukup banyak sarjana pertanian yang bersedia kembali turun ke lahan untuk mengaplikasikan ilmunya. Beberapa orang sarjana pertanian yang ditemui AGRINA malah bekerja sebagai karyawan bank, tenaga pemasaran perusahaan, jurnalis, hingga sekretaris. Hanya sebagian kecil yang benar-benar terjun langsung mengembangkan pertanian. Padahal, hasil penelitian dan teknologi yang dihasilkan dari lingkup universitas tidak sedikit yang jika diaplikasikan dapat meningkatkan produksi, kualitas, dan tentu saja pendapatan petani.
Perguruan Tinggi Jarak Jauh
“Kalau sarjana pertaniannya saja tidak mau turun langsung ke lapangan, bagaimana pertanian Indonesia bisa maju? Petani, kalau tidak diperkenalkan teknologi baru, masih menggunakan metode tradisional dan turun temurun dalam budidaya. Ya hasil panennya segitu-segitu saja,” ucap Sunarto Atmo Taryono, Ketua Umum Dewan Bawang Merah Nasional (Debnas) berapi-api kepada AGRINA yang menemuinya di Desa Ender, Kec. Pangenan, Kab. Cirebon, akhir Maret lalu.
Berniat meningkatkan kemampuan petani tanpa mengandalkan jebolan perguruan tinggi, sejak awal 2013 Debnas merangkul IPB mengadakan Perguruan Tinggi Jarak Jauh. Petani yang sudah lama berkecimpung di dunia pertanian bawang merah akan diperkenalkan pada teknologi terbaru langsung oleh dosen di lapang.
“Kuliahnya ini langsung praktik di lapang, bukan teori di kelas. Persyaratan pertama yang harus mereka penuhi untuk mengikuti perkuliahan ini adalah berkomitmen untuk mengaplikasikan teknologi yang baik,” papar Sunarto. Teknologi yang baik, imbuh dia, adalah teknologi yang diterapkan secara tepat sasaran, tepat guna, dan tepat waktu. Apabila dalam tiga kali budidaya berturut-turut dapat dilaksanakan, maka gelar D3 bahkan S1 pun dikantongi, tergantung hasil yang diraih.
Seperti halnya perkuliahan reguler, sistem Drop Out (DO) juga diterapkan. Artinya, jika komitmen awal sudah dilanggar, budidaya dilakukan secara asal-asalan dan melenceng dari ilmu yang diajarkan, surat DO pun dikeluarkan. “Kalau rajin ya lulus dengan baik, kalau malas ya di DO karena di perkuliahan ini mereka nggak bayar, 100% kami (Debnas) yang menanggung,” cetus pria asal Solo, Jawa Tengah ini.
Enam Bulan Sekali
Perguruan Tinggi Jarak Jauh ini akan menerima mahasiswa baru 6 bulan sekali. Tahap pertama akan dimulai awal Mei ini dengan jumlah mahasiswa 30 orang. “Yang berminat sebenarnya sangat banyak, justru berlebihan. Kita baru buka pendaftaran untuk 30 orang, yang daftar 200 orang. Makanya, saat berbincang dengan Dekan Fakultas Pertanian IPB, untuk menyiasatinya, tahap pertama 30 orang dulu. Nanti tahap kedua enam bulan kemudian apabila ini dianggap sukses. Lagi pula nanti satu mahasiswa ‘kan bisa memegang beberapa hektar lahan,” jelas ayah tiga anak ini.
Calon mahasiswa adalah petani atau anak petani lulusan SMA berusia hingga 40 tahun. Alasan Sunarto, rentang umur tersebut umumnya masih terbuka dalam menerima teknologi baru dan tidak terlalu saklek mempertahankan teknik budidaya yang telah dijalankan secara turun temurun.
Tahap pertama yang akan dilaksanakan di Cirebon ini dianggap sebagai percontohan. Jika berhasil, akan dikembangkan di wilayah sentra bawang merah lainnya. Diharapkan, dengan meningkatnya kemampuan petani dalam menerapkan teknologi, secara perlahan permasalahan produksi dalam budidaya bawang merah dapat teratasi. Bukan tidak mungkin sistem ini akan diikuti oleh komoditas-komoditas pertanian lain.
Jadi, kalau sarjana pertanian semakin sedikit yang mau kembali ke lahan, petani saja yang diwisuda menjadi sarjana.
Renda Diennazola