Senin, 18 Pebruari 2013

Menyiasati Problema Bahan Baku Pakan

Harga bahan baku pakan yang kian tidak ramah terhadap ternak perlu solusi jitu.

 Dampak perubahan iklim, teknik budidaya dan pascapanen yang buruk, serta meningkatnya kompetisi antara ternak dan manusia menyebabkan produksi biji-bijian keteter mengejar permintaan. Walhasil, harga biji-bijian, termasuk pakan meningkat. Selain pasokannya lebih sedikit, “Kualitas biji-bijian untuk industri pakan juga menurun sehingga kualitas pakan ternak pun tidak baik. Ujung-ujungnya imunosupresi (penurunan kekebalan tubuh yang meningkatkan risiko dan kemunculan penyakit),” ungkap Tara Jarman, Asia Pacific Quality Assurance Manager Alltech Biotechnology Corp. dalam acara Asia Pacific Lecture Tour di Jakarta bulan silam.

Contoh lain, tepung ikan. Harganya yang melonjak dari tahun ke tahun, menurut Tara, menyebabkan porsi penggunaannya dalam formulasi pakan unggas makin berkurang. Sementara porsi protein alternatif kian membesar. Pada 2010 porsi tepung ikan sebanyak 18%, minyak ikan 12%, minyak sayur 11%, serat 12%, vitamin dan mineral 0,5% serta protein alternatif 46,5%. Pada 2015 diperkirakan porsi tepung ikan turun 12%, minyak ikan 8%, minyak sayur 15%, serat 9%, vitamin dan mineral 0,5%, sisanya berupa protein alternatif sebesar 55,5%. “Tahun 2020, pemakaian tepung ikan tinggal 8%, minyak ikan hanya 6%, minyak sayur 17%, vitamin dan mineral 0,5%, serat 6%, dan 62,5% berupa protein alternatif,” bebernya.

SSF

Untuk menyiasati kondisi tersebut, berbagai upaya perlu dilakukan, salah satunya dengan mencari sumber bahan baku lain. Selain jagung dan kedelai, masih banyak jenis bahan baku yang berpotensi lain, seperti sorgum, barley, bunga matahari, limbah gandum, kanola, rapeseed, dan bungkil kelapa. Dengan memanfaatkan teknologi, sumber pakan alternatif tersebut dapat dioptimalkan.

“Untuk menjawab tingginya harga bahan baku, gali potensi pakan dengan menggunakan (Solid State Fermentation) SSF,” saran Tara.  SSF adalah proses produksi biomolekul dengan mikroorganisme yang biasa diterapkan pada produksi pakan, pangan, bahan bakar, bahan kimia industri, dan farmasi. SSF membuat limbah industri pertanian, seperti dedak gandum, dried distillers grains (DDG), kulit biji kedelai, dan bekatul menjadi lebih kaya nutrisi.

Tara menambahkan, dari jagung yang dikonsumsi, unggas mendapatkan pasokan energi 88% dan fosfor sebesar 24%. Dari angka itu, 12% energi dan 66% fosfor kembali  terbuang bersama kotoran. Namun kalau jagung itu ditambah 0,2 kg produk SSF, jumlah energi dan fosfor yang diserap unggas lebih banyak, masing-masing 92% dan 64%. Jadi, lanjut wanita yang bergabung dengan Alltech sejak September 2007 itu, “SSF mampu meningkatkan kandungan gizi dari biji-bijian.”

Potensi Alga

Selain alternatif dari darat, perairan juga menyediakan sumber bahan baku yang sangat potensial.  Misalnya alga yang telah diuji di Eropa sebagai sumber protein. “Saat ini alga telah sukses digunakan untuk pakan nila, kepiting, ikan trout dan spesies ikan laut lainnya,” ujar Tara. Khusus dalam pakan nila, alga bisa menggantikan 20% dari total protein.

Terdapat ratusan spesies alga dengan komposisi nutrisi yang bervariasi. Namun, “Secara umum kandungan protein berkisar 40%-60%, minyak antara 2%-40%, karbohidrat berkisar 4%-70%, asam nukleatnya pun bervariasi antara 1%-10%,” rinci Tara.  Selain itu alga juga kaya akan vitamin.

Secara khusus Alltech meneliti kandungan asam lemak dari empat jenis alga, yaitu Nannochloropsis, Tetrasemis, Isochrysis, dan Schizochytrium. Dari keempat alga tersebut, Alltech memilih Schizochytrium sebagai andalannya. “Alga Schizochytrium mengandung 50% lemak, EPA sebanyak 0,3% dan DHA 28%,” imbuh Tara. Satu hektar alga dalam setahun dapat memproduksi protein setara dengan 21 hektar kedelai atau 49 hektar jagung. Sangat menarik bukan?

Mycosorb

Selain pasokan, persoalan lain terkait bahan baku pakan yang berupa biji-bijian adalah mikotoksin (racun cendawan) yang timbul selama penyimpanan. Terdapat enam jenis mikotoksin utama yang sering merugikan manusia, yaitu aflatoksin, citrinin, ergot alkaloid, fumonisin, okratoksin, patulin, trikotesen, dan zearalenon.

Mikotoksin akan terbentuk bila kandungan air di atas 14%, kelembapan lebih dari 70%, dan kandungan oksiden 1%-2%. “Temperatur lebih dari 20°C akan membuat cendawan Aspergillus tumbuh, tetapi bila kurang dari 20°C cendawan Fusarium yang tumbuh,” kata Tara.

Untuk mencegah mikotoksin, Alltech melahirkan produk bernama Mycosorb. “Mycosorb dapat membantu memperbaiki kualitas bahan baku pakan yang jelek,” promosi Tara. Mycosorb ini dapat menyerap mikotoksin pada pakan. Kemampuan produk ini telah diverifikasi oleh berbagai lembaga riset terkenal dunia.

Ratna Budi Wulandari

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain