Banyak petani memupuk hanya dengan dosis berdasarkan pengalaman atau perkiraan. Tak pelak hasilnya tidak selalu bisa dipertanggungjawabkan.
Keprihatinan inilah yang diungkapkan Muhammad Luthfi Nurfakhri ketika ditemui AGRINA di sekolahnya, SMA Negeri 1 Bogor. Menurutnya, pemupukan yang tidak efektif bukan hanya meningkatkan biaya produksi petani, tapi juga menimbulkan efek buruk bagi lingkungan.
Semakin penasaran, Luthfi, begitu ia disapa, akhirnya menemukan alat pengukur kebutuhan pupuk untuk padi buatan Amerika bernama klorofil meter di internet. Namun, harganya sangat tidak terjangkau bagi petani, sekitar sekitar Rp14 juta. Hal ini memicu tekad bungsu dari dua bersaudara ini untuk dapat menciptakan alat serupa dengan harga yang lebih terjangkau. Tekad kuat ini mengantarkan Luthfi menemukan Digital Leaf Color Chart (DLCC) yang juga membawanya menginjak negara pencipta klorofil meter, Negeri Paman Sam.
135 Kali Gagal
Berbekal hobinya meneliti, pada April 2011 Luthfi mulai melakukan serangkaian uji coba untuk menciptakan DLCC. Di tengah kesibukannya sebagai pelajar, ia harus sering begadang guna melakukan percobaan di rumah. Kegagalan demi kegagalan tidak membuat pemuda kelahiran Bogor, 6 Oktober 1995 ini menyerah begitu saja. Pada Oktober 2011, alat kreasinya diikutkan ke Lomba Karya Ilmiah Remaja tingkat nasional, dan berhasil menyabet juara satu. Saat itu, judul karya ilmiahnya adalah Sensor Optis Digital sebagai Alat Efisiensi Pemakaian Pupuk Nitrogen (N) untuk Tanaman Padi (Oryza sativa). “Di ajang lomba itu ‘kan harus bikin catatan penelitian, ternyata saat diakumulasi, saya telah mengalami gagal 135 kali!” kata siswa kelas XII ini sambil tertawa.
Dari LKIR, Luthfi menjadi salah satu wakil Indonesia dalam kompetisi International Science Engineering Fair (ISEF) di Pittsburg, Pennsylvania, Amerika Serikat. “Awalnya murni saya ngerakit semuanya sendiri. Karena menang LKIR, saya dibimbing mentor dari LIPI untuk persiapan ke ISEF. Jadi alatnya disempurnakan lagi, lalu diubah juga desainnya jadi lebih futuristik,” paparnya.
Ketekunan Luthfi membuahkan hasil manis. Di ajang kompetisi dunia yang diselenggarakan pada 14-18 Mei 2012, DLCC meraih juara ketiga kategori Electrical dan Mechanical. Prestasi ini melengkapi segudang prestasi di bidang ilmu pengetahuan lainnya yang telah diraih Luthfi sejak bangku SMP.
Hemat Pupuk
DLCC buatan Luthfi menarik perhatian para juri kompetisi. Dengan tingkat keakuratan seperti klorofil meter, DLCC dapat diperoleh petani seharga Rp950 ribu. Bahkan, alat ini lebih unggul ketimbang klorofil meter. “Alat klorofil meter ini sistem sensornya cuma satu, kalau ini ada dua sensor. Lalu yang bikin murah, alat ini dirangkai benar-benar dari yang paling sederhana,” tuturnya.
Cara kerjanya pun terbilang sederhana. Sebelum pemupukan pertama setelah tanam, daun padi dimasukkan ke dalam alat, lalu dosis rekomendasi pemupukan nitrogen per kg per hektar akan tertera di layar LCD. Prosedur ini diulangi pada pemupukan kedua. Daun yang digunakan untuk uji diambil dari bagian pucuk.
Hasil uji penggunaan pupuk di lahan padi di wilayah Ciomas, Bogor, sekitar tempat tinggalnya menunjukkan, selama ini petani memberikan 25 kg pupuk lebih banyak per hektar lahan. “Jadi kalau di Indonesia itu ada 13 juta ha, bisa dihitung berapa kelebihan pupuk yang terbuang. Hasil produksinya tetap sama,” ungkapnya bersemangat.
Tidak mudah bagi putra pasangan Iyus Hendrawan dan Endang Sri Rejeki ini untuk meyakinkan petani agar menggunakan DLCC. Namun, dengan penjelasan mengenai penurunan biaya produksi dan hasil panen yang sama, petani sekitar rumahnya pun bersemangat mengambil manfaat alat ciptaannya. Nilai Rp950 ribu dapat digolongkan sebagai investasi jangka panjang karena Luthfi memperkirakan alatnya akan bertahan hingga lima tahun.
Garansi Seumur Hidup
Terpilih sebagai juara ketiga ajang internasional tidak membuat Luthfi berhenti mengembangkan DLCC. Bahkan, dia bercita-cita menambahkan Global Positioning System (GPS) pada alatnya sehingga petani tidak perlu datang ke lahan untuk melakukan uji dosis pemupukan. Selain itu, pengembangan DLCC untuk dapat digunakan pada banyak tanaman juga akan dilakukannya.
“Jadi kalau ingin uji tanaman lain, langsung ada pilihannya di situ. Kalau sekarang ‘kan mau ganti tanaman, alatnya harus dibawa ke saya dulu, saya program lagi,” dalihnya. Saat ini, DLCC baru dapat diaplikasikan untuk tanaman padi, jagung, dan sawit.
Alat yang sedang dalam proses mendapatkan paten ini masih memiliki kekurangan, antara lain ukuran alat masih terlalu besar dan ada kemungkinan terjadi kerusakan komponen seperti IC. Namun, Luthfi menjamin, “Kalau rusak, dibawa ke saya. Saya beri garansi seumur hidup saya,” cetusnya yakin.
Renda Diennazola, Windi Listianingsih