Tak hanya ilmu agama, di Darul Falah, santri pun bisa melengkapi diri dengan kemampuan non-akademik, khususnya bidang agribisnis.
Indonesia negara agraris, tetapi sayang tak banyak petani yang bangga akan statusnya. Berbeda dengan Darul Falah (DF), pondok pesantren yang terletak di Jl. Raya Bogor-Ciampea Km 12, Bogor, Jabar, ini dengan bangga mengaku berbasis pertanian.
Pendidikan berbasis pertanian diwujudkan melalui pendidikan formal (madrasah Tsanawiyah dan Aliyah), proyek unit usaha agribisnis, dan proyek percontohan di pedesaan. Di atas tanah seluas 26,6 ha terlohat berbagai tanaman besar, tanaman pertanian, dan lenguhan ternak seakan membuktikan keseriusan DF.
Cinta Pertanian
Untuk menumbuhkan
kecintaan, DF mulai mengajarkan tentang pertanian sejak dini. “Kalau kita mulai
(pengajaran) ternyata lebih mudah yang tingkat SMP (Tsanawiyah) dari pada SMA
(Aliyah),” ujar KH Abdul Hanan Abbas, Lc, Kepala Pesantren DF. Seratus orang dari masing-masing
jenjang pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah digembleng secara disiplin.
Setiap pagi setelah melaksanakan sholat subuh, para santri, baik pria maupun wanita, tidak santai menunggu waktu masuk sekolah. Mereka diharuskan berkebun pada pukul 06.00 – 07.00, baru kemudian sekolah. “Mereka ‘kan sebenarnya diajarkan cinta bekerja. Pagi mereka merawat kebun sehingga mereka sendiri suka,” terang Haji Abbas.
Tak hanya itu, pengetahuan tentang pertanian pun dimasukkan ke dalam kurikulum pelajaran. “Kita ada materi khusus untuk pelajarannya. Untuk Tsanawiyah bertanam sayuran umum atau tanam-tanaman semusim. Kalau tingkat madrasah Aliyah sudah meningkat ke peternakan, perikanan, dan pengolahan hasil,“ papar Maman Suparman, S.Ag, M.Pd, Direktur Madrasah.
Penggarapan proyek pertanian tersebut dilakukan dalam kelompok. Masing-masing anak dari tiap kelompok tersebut mendapatkan rata-rata empat bedeng tanah seluas 100 m2. Sebelum mengerjakan proyek, siswa diminta membuat analisis usaha mulai dari bibit sampai ke pascapanennya. Maman yang merangkap sebagai Kepala Madrasah Aliyah menambahkan, “Dari kelompok itu kita minta laporan, dari modal sekian, biaya produksi berapa, hasilnya berapa nanti diulang lagi.”
Hasil panen dari santri tersebut akan kembali ke santri. “Nanti hasilnya kita beli. Ada hitungannya. Jadi, sayuran dan ikan kita timbang, kemudian kita jual di dapur umum, (nanti) dia juga yang makan,” terang Ir. Nursyamsu Mahyuddin, M.Si, Direktur PT DaFa Teknoagro Mandiri, unit usaha Darul Falah.
Magang
Pada akhir masa pendidikan, para santri wajib magang. Magang dilakukan ketika mereka naik ke kelas 3 atau semester 5. Uniknya, magang tersebut bukan dilakukan di perusahaan, tetapi malah di rumah petani. “Magangnya tidak boleh di perusahaan besar, harus di petani, yang terjangkau,” ujar Haji Abbas. Syarat ini diterapkan agar saat lulus nanti santri dapat meneladani petani atau peternak tempatnya magang.
Maman menjelaskan, “Tinggal di rumahnya (petani), pelajari dia, pelajari teorinya, pelajari juga orangnya sampai dia berhasil. Bagaimana kesuksesan petani mulai dari kehidupan keluarganya bagaimana, kemampuan ekonominya bagaimana, dan ketokohan di masyarakat bagaimana.” Selain di rumah petani, magang juga bisa dilakukan di berbagai unit usaha yang dimiliki PT DaFa Teknoagro Mandiri, seperti pembibitan kultur jaringan, unit pengolahan susu, dan unit penggemukan ternak.
Pada saat magang, kesiapan terjun ke masyarakat dinilai. Tak hanya dari segi keilmuannya, penilaian kepribadian, sholat, tetapi juga kemampuan santri berinteraksi dengan lingkungan menjadi salah satu tolo ukurnya. “Ada empat kemampuan, potensi akademik, potensi profesional, potensi kepribadian, dan kometensi sosial,” jelas Maman. Alasannya, tanpa kepribadian dan daya adaptasi dengan lingkungan yang baik, santri akan menjadi pribadi yang tertutup.
Seimbang
“Prinsipnya, pendidikan kita berkarakter, yang terpadu antara kemandirian, keagamaan dan intelektualitas. Secara teknis, madrasah ini terpadu, baik secara teknis maupun program dari hulu ke hilir,” ujar Iman Tohaga, S.HI, M.HI, Kepala Madrasah Tsanawiyah. Dengan keterpaduan itu, sudah sepantasnya bila santri DF tak hanya pandai dalam ilmu pertanian, ilmu umum mereka pun patut dibanggakan. “Kita alhamdulilah lulus 100%,” ujar Maman.
Ia menambahkan, hampir 95% santri melanjutkan ke perguruan tinggi, dan sisanya langsung berwirausaha. Mereka yang ke perguruan tinggi bukan berarti melupakan apa yang telah diajarkan di DF. “Kalau buat bekerja di pertanian mereka sangat siap, tetapi mereka tidak dididik untuk jadi pekerja, dan banyak yang berhasil sebagai wiraswasta,” tutup Nursyamsu dengan bangga.
Ratna Budi Wulandari