Senin, 11 Juni 2012

Pestisida Palsu Rugikan Petani dan Konsumen

Dari tahun ke tahun kasus pemalsuan pestisida terus meningkat. Menurut CropLife International, pendapatan dari perdagangan pestisida ilegal dan palsu mencapai 4,4 miliar Euro setara dengan 10% dari total pangsa pasar dunia.

“Tren pemalsuan pestisida dan pestisida ilegal ini terus meningkat, terutama di negara yang memiliki aturan longgar dan pengawasanya sangat lemah,” kata D`Arcy Quinn, Direktur Anti Pemalsuan CropLife International, di Jakarta, Selasa (5/6). Quinn menambahkan, pestisida palsu ataupun yang ilegal tidak hanya mengancam industri pestisida tapi juga merugikan petani, membahayakan kesehatan, serta keamanan lingkungan.

Dampak pestisida palsu pada pertanian bisa merusak tanaman dan menghancurkan produksi petani. Selain itu, lanjut dia, ekspor komoditas pertanian yang tercemar pestisida palsu bisa terhenti karena ditolak negara penerima, begitu juga dengan komoditas yang beredar harus ditarik lantaran merugikan konsumen.

Perlu Kewaspadaan

“Di Indonesia total nilai produk pestisida ilegal dan palsu mencapai Rp400 miliar. Ini berarti sudah merugikan negara,” Deddy Djuniadi, Direktur Eksekutif CropLife Indonesia. Pestisida palsu ataupun ilegal umumnya beredar di sentra-sentra produksi komoditas pertanian, antara lain Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Sulawesi, Sumatera Barat dan Jawa Tengah.

Produk pestisida yang umumnya banyak dipalsukan tentu saja merek-merek laku di pasaran. Kasus yang sering ditemukan di lapangan adalah penggunaan botol atau wadah bekas pestisida, pestisida tidak terdaftar (ilegal), pestisida yang sudah habis masa berlaku izin pendaftarannya, pestisida yang tidak sesuai izin penggunaannya, pestisida yang dipalsukan, dan pestisida yang labelnya tidak sesuai dengan yang terdaftar.

Lebih jauh Quinn menjelaskan, praktik distribusi produk pestisida ilegal biasanya menggunakan jaringan pengumpul kemasan bekas pestisida. Mereka mengisi kemasan tersebut dengan pestisida berbahan aktif sama atau mengoplos bahan aktif lain. “Bentuk, warna dan baunya mirip dengan yang asli,” tuturnya. Lalu, mereka membawa produk palsu tersebut ke sentra-sentra pertanian atau langsung ke petani pengguna. Harganya bervariasi yaitu sama, lebih murah, bahkan lebih mahal dari produk aslinya.

Kewaspadaan terhadap pemalsuan pestisida perlu ditingkatkan. Pasalnya, peningkatan permintaan pestisida tersebut akan menarik bagi para pelaku pemalsuan untuk melakukan aksinya. Yang paling penting, tambah Deddy, petani membeli produk di kios atau penyalur resmi dan tidak membeli dari penjual yang langsung ke lapangan. Apalagi jika penjualnya tidak dikenal. “Petani juga harus curiga kalau ada produk yang dijual jauh lebih murah dari produk yang biasanya,” imbaunya.

Selain itu, kata Deddy, untuk menekan peredaran pestisida palsu maupun ilegal, CropLife Indonesia secara aktif memberikan pelatihan kepada petani untuk mengetahui dan mengidentifikasi produk asli atau palsu. “Dalam upaya meningkatkan kewaspadaan serta meminimalisir pemalsuan dan peredaran pestisida ilegal, maka pengawasan peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida palsu dan ilegal tidak hanya dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah saja tapi juga oleh petani,” ungkap Deddy.

Karena itu, tambah Deddy, semua pihak yang terkait mulai dari produsen pestisida, pemerintah, distributor, dan petani harus mewaspadai produk ilegal tersebut. Sebab keberadaan pestisida palsu berdampak tidak hanya merugikan produsen pestisida dan petani tapi juga konsumen komoditas pertanian yang tercemar pestisida ilegal atau palsu.

Tri Mardi Rasa

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain