Jagung adalah bahan baku utama industri pakan ternak. Kontaminasi mikotoksin dalam jagung dapat menurunkan kekebalan tubuh dan mempengaruhi performa ternak.
Terbentuknya mikotoksin dalam jagung (bahan baku pakan ternak) merupakan problem global pada industri peternakan. Dari berbagai riset ditemukan lebih dari 400 jenis mikotoksin di dunia. Di Indonesia, menurut Rochmiyati Setiarsih, DVM, Technical Sales Manager Biomin Singapore Pte. Ltd., pada jagung banyak ditemukan jenis aflatoksin dan fumonisin, serta ada juga deoxynivalenol (DON) dan zearalenone. Aflatoksin dihasilkan cendawan Aspergillus sp., sedangkan fumonisin, DON, dan zearalenone dari Fusarium sp.
Keracunan mikotoksin berdampak cukup serius pada manusia dan hewan. Pada hewan, selain menyebabkan turunnya kekebalan tubuh, dapat juga mempengaruhi performa karena efek seperti keracunan pada hati, keracunan ginjal, keracunan pada saraf, kulit, karsinogenik (pemicu kanker), keracunan pada organ reproduksi, teratogenik (perubahan formasi sel, jaringan, dan organ), dan sistem pencernaan. Semuanya ini tergantung jenis hewan, lingkungan, dan racun lainnya.
Kerugian ekonomi
Mikotoksin pada ayam didominasi aflatoksin yang dapat menurunkan kekebalan tubuh. Trichothecenes tipe A (T-2 toksin, HT-2 toksin, dan diacetoxyscripenol) saat ini mendapat perhatian utama industri perunggasan karena menimbulkan kerugian ekonomi berupa menurunnya produktivitas. Bagi ayam, sangat beracun, dengan nilai LD50 2 mg/kg untuk diacetoxyscripenol dan 4 mg/kg T-2 toksin. Toksin ini menurunkan asupan pakan (feed intake), bobot badan, produksi telur, dan juga menimbulkan luka oral.
Saat ini operasional ayam pedaging di bawah tekanan besar untuk memproduksi daging ayam dengan biaya semurah mungkin. Konversi pakan, tingkat pertumbuhan, dan tingkat kematian dipantau dengan seksama. Begitu juga ayam petelur, dilihat tingkat produksi telurnya.
Untuk memperoleh produksi yang optimal, perhatian terhadap efek kontaminasi mikotoksin pada ayam meningkat. Konsumsi pakan yang terkontaminasi mikotoksin, meski dengan tingkat rendah, dapat menurunkan asupan pakan, pertumbuhan, dan daya tahan terhadap penyakit. Jika tingkat kontaminasi tinggi, ayam menunjukkan gejala klinis seperti luka pada paruh dan organ pencernaan, akumulasi lemak pada hati, gangguan fungsi ginjal, dan kematian. Namun demikian efek kontaminasi mikotoksin pada ayam ini tergantung umur, kondisi fisiologis, dan nutrisi saat keracunan mikotoksin.
Detoksifikasi
Sayangnya, kontaminasi mikotoksin di lapangan pada tingkat rendah sulit diidentifikasi dan dideteksi. Karena itulah penghilangan mikotoksin (detoksifikasi) setelah pemanenan jagung sangat penting. Prosedur detoksifikasi dibagi tiga, yaitu fisik, kimia, dan biologi. Penambahan bahan pengikat pada pakan hewan merupakan metode yang sangat umum untuk mencegah mikotoksin, terutama aflatoksin. Komponen ini mengikat toksin selama pencernaan di dalam usus dan mencegah terserapnya pengikat ini ke dalam darah.
Pengikatan ini ditentukan oleh grup polar dari pengikat (binder) dan mikotoksin yang diikat. Hanya beberapa mikotoksin yang bisa diikat secara efisien, misalnya aflatoksin. Sampai saat ini, tidak ada satupun jenis pengikat yang dapat mengatasi semua jenis mikotoksin. Ada yang bagus mengikat aflatoksin, tapi belum tentu terhadap ochtratoksin dan zearalenone. Bahkan ada yang sama sekali tidak bisa mengikat grup thrichothecenes.
Detoksifikasi mikotoksin secara biologi dengan mikroorganisme dan atau enzim sudah diteliti selama 30 tahun. Metode ini paling efisien dan bekerja dengan mendeaktivasi mikotoksin di dalam saluran pencernaan, bekerja sangat spesifik, dan tidak bisa bolak-balik. Dengan demikian, mikotoksin yang tidak dapat diikat bisa dideaktivasi menggunakan enzim. Kombinasi metode pengikatan dan deaktivasi mikotoksin akan jauh lebih berhasil.
Syatrya Utama