Senin, 16 April 2012

Sekali Bidik, Dua Target Tercapai

Pengembangan sawit dengan tata cara produksi berkelanjutan menjadi keniscayaan bagi pelakunya. Nilai pasar yang lebih tinggi serta kelestarian lingkungan alam dan perbaikan tatanan sosial sekaligus diraih.

Sejak satu setengah dekade lalu, industri perkebunan sawit berkembang sangat pesat. Seiring dengan itu, isu lingkungan pun terus bergulir. Tak bisa dipungkiri, fakta pengembangan sawit melalui tata cara yang mengabaikan aspek pelestarian lingkungan masih marak dilakukan. Perubahan paradigma ke arah pengembangan sawit berkelanjutan pun mendesak dilakukan.

Paradigma Pembangunan Berkelanjutan

Dalam sebuah diskusi, Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec, advisor Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menyatakan, selama ini cara peningkatan produksi minyak sawit (crude palm oil-CPO) di Indonesia masih didominasi oleh perluasan areal. Peran perbaikan produktivitas hanya 20% dari total upaya peningkatan produksi.

Fakta itu cukup memprihatinkan karena secara tidak langsung menunjukkan terjadinya pembukaan lahan baru dalam peningkatan produksi. Berdasarkan pengalaman, lahan baru yang dibuka adalah kawasan hutan. Kendati pembukaan tersebut sudah mengantongi izin, risiko kerusakan lingkungan tetap melekat apabila langkah tersebut diteruskan.

Belum lagi menyoal ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Untuk itu, sambung Bungaran, ke depan tidak ada cara lain untuk meningkatkan produksi CPO kecuali melalui peningkatan produktivitas dari kebun yang sudah ada. Saat ini, rata-rata produktivitas kebun sawit kita masih relatif rendah, yakni 3,4 ton CPO/ha (perkebunan rakyat) dan 4 ton CPO/ha (perusahaan perkebunan), atau baru mencapai sekitar 50% dari potensi produksi.

Bungaran menambahkan, paradigma yang selama ini mengejar perluasan lahan, perlu diubah menjadi paradigma mengejar produktivitas karena tingkat produktivitas kebun sawit Indonesia kalah dengan Malaysia. Dengan luas areal sawit sekitar 8,5 juta ha, produksi sawit Indonesia sekitar 23 juta ton CPO/tahun atau sekitar 3 ton CPO per ha per tahun. Sementara Malaysia mampu memproduksi 3,93 ton/ha/tahun. Indonesia memproyeksikan luasan kebun sawit meningkat menjadi 10 juta ha pada 2020 dengan produksi CPO 40 juta ton. Berarti produktivitas rata-rata meningkat menjadi 4 ton CPO/ha/tahun.

Pertanyaannya, sejauh mana peningkatan produktivitas tersebut bisa masif dilakukan di Indonesia yang notabene banyak terdapat petani sawit independen. Dalam berbagai diskusi yang digelar sejak 2002, kumpulan stakeholder sawit dari seluruh dunia yang tergabung dalam RSPO mencetuskan konsep pengelolaan sawit berkelanjutan. Konsep ini diyakini ideal dalam mengembangkan industri sawit di seluruh dunia tanpa mengesampingkan aspek kelestarian lingkungan.

Irwan Gunawan, Manajer Program Transformasi Pasar WWF Indonesia, mengungkapkan, konsep pengembangan sawit RSPO cukup terpadu mencakup persyaratan pelindungan area bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value) yang merupakan indikator kunci diterapkannya prinsip keberlanjutan pada industri minyak sawit.

“WWF meminta agar pengembangan kelapa sawit hanya dilakukan pada lahan-lahan yang telantar atau terdegradasi, dan bukan dengan mengorbankan hutan alam atau lahan gambut sehingga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan daya dukung kehidupan. Dengan mengakomodir aspek-aspek lingkungan dan sosial, termasuk pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat lokal dan penduduk asli, WWF meyakini pelaku usaha juga dapat melakukan peningkatan produktivitas untuk memenuhi target produksi,” tambah Irwan.

Penerapan Prinsip dan Kriteria RSPO tidak saja dapat menyelamatkan lingkungan, tetapi produsen sawit juga dapat meningkatkan produktivitas karena menerapkan Good Agriculture Practices (GAP). GAP dimulai dari pembukaan lahan tanpa pembakaran, penggunaan mesin dan alat pertanian yang tidak merusak lingkungan, penggunaan bibit sawit unggul, pemupukan seimbang, dan pengendalian hama penyakit terpadu. Selain peningkatan produktivitas, produsen yang menerapkan GAP bagian dari Prinsip dan Kriteria RSPO pun akan memperoleh harga premium dari hasil panennya.

Memperoleh Harga Premium

Tak sebatas merampungkan rumusan kriteria pengelolaan sawit berkelanjutan, RSPO juga telah merumuskan mekanisme pasar Certified of Sustainable Palm Oil/CSPO (CPO yang dihasilkan dari kebun sawit bersertifikat RSPO) yang memberikan nilai tambah ekonomis secara langsung bagi produsennya. Pasalnya, terdapat perbedaan harga produk antara CSPO dengan CPO. 

Menurut Desi Kusumadewi, Direktur RSPO Indonesia, sejak RSPO mengeluarkan program sertifikasi untuk komoditas kelapa sawit pada 2008, pasokan CSPO meningkat sebesar 250% dari 1.357.511 ton pada 2009 menjadi 4.798.512 ton pada 2011.

Volume penjualan CSPO juga mengalami peningkatan. Pada 2009, volume perdagangan CSPO masih sebesar 343.857 ton. Jumlah tersebut tumbuh 620% menjadi 2.490.526 ton pada akhir 2011. Desi menambahkan, saat ini CSPO dikategorikan sebagai produk premium dan produk turunan dari CSPO menjadi produk bernilai jual tinggi untuk segmen premium.

Sebagai produsen sawit terbesar dunia, tak ada alasan bagi pelaku usaha sawit untuk tidak menerapkan sertifikasi RSPO. Pasalnya, RSPO akan menjadi pengendali utama harga produk sawit di pasar dunia. Tak sebatas soal harga, kesepakatan ini juga memberikan “sanksi” seperti kasus penghentian pembelian produk sawit Sinarmas Grup oleh Unilever beberapa waktu lalu.  

Bahkan dalam pertemuan RSPO di Kualalumpur 8 Maret lalu, stakeholder dari kelompok negara pengimpor sawit menyatakan, mulai 2015 mereka hanya akan membeli CSPO. Hal ini tentu sebuah tantangan sekaligus keniscayaan bagi pelaku industri sawit Indonesia.

Tonthowi Jauhari

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain