Probiotik khusus sawit ini bekerja secara ganda. Dari dalam mengandalkan lima jenis mikroba endofit dan dari luar dengan tiga jenis Trichoderma.
Konsep imunisasi pada sawit ini bisa kita analogikan dengan minuman probiotik. Dengan pendekatan kompetisi ruangan spesifik, menyebabkan mikroba yang baik pada minuman probiotik bisa menempati ruangan tadi sehingga membelokkan keberadaan mikroba jahat yang akan menempati ruang itu. Akibatnya, tubuh kita tahan terhadap serangan penyakit.
Pada sawit, menurut Dr. Ir. Wiwik Eko Widayati, MS, mikroba yang digunakan adalah mikroba endofit, yang memang hidup di dalam jaringan tanaman kelapa sawit. Antara lain Bacillus sp., Pseudomonas sp., Klebsiella sp., Azospirillum sp., dan Burkholderia sp. Mikroba ini diisolasi dari tanaman sawit. Kemudian bakteri ini disinergikan dengan cendawan Trichoderma harzianum, T. viride, dan T. koningii. “Berdasarkan penelitian, sinergi bakteri dan jamur ini sangat baik dalam meningkatkan keragaan dan kesehatan tanaman sawit,” kata periset pada Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) itu.
Pembibitan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan, Jawa Timur, ini bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Medan, Sumatera Utara, untuk menghasilkan produk yang dapat digunakan dalam imunisasi sawit. “Sebaiknya produk ini diaplikasikan sejak pembibitan. Seperti manusia, ‘kan imunisasi sejak bayi,” kata Ir. Suroso Rahutomo, M.Agr.ST, periset pada PPKS. Tapi, produk ini dapat juga diaplikasikan pada tanaman belum menghasilkan (TBM), tanaman menghasilkan (TM), dan pengayaan kompos tandan buah kosong.
Yang menarik, formulasi mengandung bakteri endofit dan cendawan Trichoderma sp. ini tidak dalam bentuk cair atau bubuk, tapi tablet efervesen (effervescent). “Cair atau bubuk itu bulky, menyulitkan dalam logistik. Kalau efervesen ini enak membawanya,” lanjut Wiwik saat ditemui di kantor PT Prima Agro Tech di Pluit, Jakarta. Memang perusahaan ini menerima lisensi produk itu dari P3GI dan PPKS. “Kami menerima lisensi dan membayar royalti,” jelas Gunawan Sutio, Direktur Pemasaran PT Prima Agro Tech.
Untuk memproduksi probiotik khusus sawit dalam bentuk efervesen ini, menurut Wiwik, diperlukan teknologi membuat mikroba dan jamur tadi menjadi dorman (mati suri). “Mati suri dan bisa dihidupkan lagi,” tambah Suroso. Dalam bentuk dorman, menurut Gunawan, produknya tahan simpan dua tahun pada suhu kamar tanpa kehilangan daya hidup. Bahkan produk yang berkemurnian agensia hayati sampai 100% ini dapat berdaya hidup 10 tahun jika disimpan dalam kulkas.
Di pasaran, produk dengan merek EndoPalma ini dikemas dengan strip, yang setiap strip terdiri dari empat tablet efervesen. Harganya sekitar Rp20 ribu/strip atau Rp5.000/tablet efervesen. Jika diaplikasikan pada TM, menurut Gunawan, setiap tablet bisa digunakan untuk lima pohon. Caranya, untuk mengaktifkan kembali mikroba tadi, tablet direndam dalam 50 ml (sekitar setengah gelas) air bersih, lalu dibiarkan sekitar 6 jam. Kemudian, diencerkan dalam satu liter air dan disemprotkan merata di pinggiran pohon. Perlakuan ini dilakukan setahun sekali minimal dua bulan sebelum pemupukan anorganik.
Pada prapembibitan (pre nursery), dua tablet diaplikasikan satu kali untuk 100 bibit berumur 2-4 minggu. Setelah mikroba dorman diaktifkan, tablet ini dilarutkan ke dalam 10 liter air. Lalu disemprotkan pada polibag. Sedangkan pada pembibitan utama (main nursery), dilakukan dua kali, sekali pada bibit umur sebulan, dan sekali lagi satu bulan menjelang ditanam di lapangan. Caranya, enam tablet diaktifkan, kemudian dilarutkan ke dalam 15 liter air bersih untuk 30 bibit. Penyemprotan dilakukan pada polibag dan daun.
Manfaat tambahan
Selain sebagai probiotik khusus untuk imunisasi, EndoPalma ini juga bisa menjadi pelarut fosfat karena mengandung 107 – 109 cfu per gram genus bakteri Bacillus sp dan Pseudomonas sp. Selain itu, bakteri Klebsiella sp., Azospirillum sp., Bacillus sp., dan Burkholderia sp., mampu menambat nitrogen dari udara sehingga dapat menghemat 25% pupuk urea.
Menurut Dr. Ir. Iman Yani Harahap, peneliti PPKS, populasi sawit saat ini berkisar 128 – 183 pohon/hektar. Pada tanaman belum menghasilkan (TBM) penggunaan pupuk urea sekitar 2 kg/pohon/tahun. Jika harga pupuk urea komersial Rp4.500/kg dan populasi tanaman sawit rata-rata 155 pohon/hektar, maka penghematan biaya urea sekitar Rp175 ribu/hektar. Selain itu, mikroba endofit ini menghasilkan fitohormon Indole Acetic Acid (IAA) yang memacu pertumbuhan tanaman. “Yang utama itu imunisasi. Penghematan biaya ini, hanya manfaat tambahan,” timpal Suroso.
Kandungan tiga jenis Trichoderma pada tablet imunisasi sawit ini juga bermanfaat sebagai musuh alami Ganoderma boninense, penyebab penyakit busuk pangkal batang pada sawit. “Kami punya prinsip tidak mau tunggal, tapi multistrain. Kalau satu strain, kalau kalah, sudah selesai. Tapi kalau multistrain, kita mengambil banyak kesempatan,” papar Wiwik, lulusan Universitas Gadjah Mada, yang mendalami bidang mikrobiologi tanah.
Dari dalam, menurut Iman, produk ini mengandalkan mikroba endofit, sedangkan dari luar dengan Trichoderma sp. “Jadi, double protection. Mikroba endofit bekerja dari dalam dan Trichoderma sp. dari luar,” jelas Iman. Selain ketersediaannya tinggi, menurut Gunawan, produk yang keluaran Tangerang, Jawa Barat ini, mudah didapat.
Berbasis riset
Formulasi ini tentu saja berbasis penelitian, apalagi dilakukan dua lembaga penelitian yang terkemuka, yaitu PPKS dan P3GI. Dengan teknologi Green Fluorescent Pattern (GFP), bisa dideteksi bahwa mikroba endofit ini masuk ke dalam jaringan tanaman sawit. “Keunggulan mikroba endofit ini, jumlahnya tidak akan lebih dari normal, sekitar 103 sampai 104 (cfu per gram),” imbuh Wiwik yang tampak periang ini.
Menurut Gunawan, ada dua teknologi yang diterapkan di sini. Pertama, seleksi mikroba endofit dan mencampurkannya dengan cendawan Trichoderma. Kedua, teknologi membuat bakteri dan cendawan ini mati suri sehingga mudah membawanya. Semuanya ini dilakukan melalui penelitian yang intensif, termasuk dalam aplikasinya. “Produk kami ini berbasis riset, yang bisa dipertanggungjawabkan,” tandas Gunawan kepada AGRINA.
Syatrya Utama dan Liana Gunawan