Minggu, 5 Pebruari 2012

Menyensus Produksi Padi dari Langit

Aplikasi teknologi ini bisa menghitung data produksi padi dengan akurasi tinggi. Bila data akurat, tentu perhitungan cadangan pangan nasional bakal lebih tepat.

Data produksi padi yang dilansir Badan Pusat Statisik (BPS) acapkali diragukan kebenarannya. Kementerian Pertanian dan Perum Bulog, dua pihak yang kadang “berhadapan” karena kepentingan masing-masing berbeda. Para pelaku bisnis di lapangan juga sering tidak percaya dengan data pemerintah. Mereka hanya melihat harga gabah sebagai indikator tinggi-rendahnya produksi. “Kalau harga mahal, pasti barang langka,” kilah mereka.

Untuk mendapatkan data yang lebih presisi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menggandeng Kementerian Pertanian, Lembaga Antariksa Nasional, IPB, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, serta pemerintah daerah mengkaji teknologi hiperspektral dalam memetakan sentra produksi padi. Teknologi ini pengembangan dari teknologi penginderaan jarak jauh (remote sensing) multispektral yang direkayasa dari sisi analisis spektral untuk diterapkan pada bidang pertanian.

Tahapan Kerja

Menurut Dr. Muhammad Evri, koordinator kegiatan HyperSri, kerjasama itu bertujuan membangun model prediksi produktivitas hasil panen padi (ton per hektar) berbasis teknologi hiperspektral secara cepat, akurat, dan berbasis spasial dan berbasis fase pertumbuhan. Lebih jauh pakar hiperspektral lulusan Fakultas MIPA IPB 1993 ini, menguraikan, ada tiga tahapan yang dilakukan timnya.

Tahap pertama, mengumpulkan data sampel dari lapangan dengan parameter biofisik tanaman, seperti  indeks luas daun (leaf area index-LAI) dan nilai klorofil atau nilai SPAD (soil-plant analysis development). Keduanya diukur dengan LAI-meter dan alat SPAD meter. Tanaman padi menyerap energi dari matahari dalam jumlah sesuai kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang. Sisanya dipantulkan kembali (reflektan). Dengan mengukur panjang gelombang pantulan itu dapat diketahui jumlah yang diserap.

Pengambilan data itu dilakukan sepuluh kali yang merepresentasikan fase pertumbuhan padi dalam satu siklus hidup padi, yaitu setelah pindah tanam, fase vegetatif (beberapa fase), fase reproduktif saat malai sudah keluar, dan fase pematangan (maturity) dan selanjutnya panen. Setiap varietas dan setiap fase menunjukkan penampakan spektral yang berbeda. Semakin tua tanaman, semakin banyak energi yang dipantulkan (reflektansi panjang gelombang merah) karena kebutuhan energinya semakin sedikit menjelang panen. Untuk sementara ini, pengumpulan data spektral sudah dilakukan mencakup 20 varietas padi. Data lapangan ini sebagai dasar untuk membangun sistem prediksi produktivitas.

Data LAI adalah penciri kondisi terkini status daun tanaman. Daun merupakan dapurnya tanaman untuk fotosintesis. Daun juga mempunyai hubungan empiris dengan hasil-hasil biomassanya, apakah berwujud daun, batang, atau bulir padi. Pengukuran LAI dan SPAD tadi sekali-dua kali siklus tanaman sudah cukup, asalkan akurat.

Tahap kedua, memperluas liputan data dari individu tanaman dalam ubinan ke hamparan. “Kita menggunakan pesawat yang dipasangi sensor hiperspektral. Sensornya sama karakteristiknya dengan yang bawa orang di lapangan, cuma ketinggiannya yang beda, coverage-nya lebih luas,” terang doktor lulusan Universitas Gifu, Jepang 2007 ini.

Tahap ketiga, memperluas cakupan data dari hamparan ke seluruh wilayah Indonesia menggunakan satelit. Untuk menghubungkan data dari lapangan (insitu), pesawat, dan satelit itu sehingga hasilnya benar, “Kita pakai metode up-scaling (memperluas),” lanjut Evri.

Dengan berkembangnya ilmu komputer dan matematika yang pesat, sekarang banyak metode canggih dapat digunakan untuk mengkelaskan, menghitung, menganalisis hubungan empiris antara penampakan-penampakan reflektan terhadap hasil panen. Jadi dari sinilah prediksi produksi padi lebih akurat bisa didapatkan.

Tinggal Pijit Layar Sentuh

Pembangunan sistem tersebut membutuhkan dana sekitar Rp1 miliar. Mengingat pentingnya akurasi data produksi padi untuk mendukung ketahanan pangan nasional, Evri memandang, jumlah ini tidak seberapa dibandingkan bujet Kementerian Pertanian yang Rp16 triliun lebih.

Ketika sistem ini sudah terkoreksi dengan baik, hasilnya bisa digunakan sebagai masukan terkini dalam rapat kabinet. Presiden dengan para menteri masing-masing menghadap komputer dengan layar sentuh. Misal ingin tahu produksi di Subang, dengan sekali sentuh, Presiden tahu berapa ton per hektar prediksinya, lalu dalam skala nasional berapa (produksi) pada bulan itu. Bilamana prediksi menunjukkan kecukupan untuk konsumsi dan cadangan misalnya, maka tidak perlu impor lagi.

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain