Racun cendawan berbahaya bagi unggas. Untuk menghindarinya, kadar air bahan baku pakan, terutama jagung, harus diupayakan di bawah 13 persen.
Kondisi daerah tropis sangat mendukung perkembangan berbagai jenis cendawan atau disebut jamur oleh masyarakat awam, yang memproduksi racun cendawan (mikotoksin). Dari sekitar 300 jenis mikotoksin telah ditemukan, hanya lima sampai enam jenis yang penting, seperti fumonisins, aflatoksin, T-2 toksin, zearalenon, dan fusarins. Di Indonesia, menurut Prof. Dr. Ir. Budi Tangendjaja, Technical Consultant US Grain Council Southeast Asia – Indonesia, mikotoksin yang dominan adalah aflatoksin.
Aflatoksin dan Pengaruhnya
Aflatoksin terbilang salah satu permasalahan dalam industri pakan di seluruh negara beriklim tropis. Tidak hanya jagung, kedelai, kacang, dan sorgum juga bungkil kopra tidak lepas dari masalah ini. “Hampir semua jagung yang ada di Indonesia terkontaminasi aflatoksin, bervariasi dari di bawah 20 ppb (part per billion) sampai di atas 100 ppb,” ungkap Budi dalam US Corn Outlook Seminar dengan tema Corn Storage, Processing and Grading di Jakarta (18/10).
Aflatoksin pada jagung diproduksi cendawan Aspergillus flavus. “(Di Indonesia) jangan minta (jagung) yang bebas mikotoksin, nggak ada,” tegas Budi yang disusul tawa peserta seminar. Rat-rata kandungan aflatoksin pada jagung di Indonesia 60 ppb. Ia menambahkan, kalau pabrik pakan ingin mendapatkan pasokan jagung dengan kadar aflatoksin 20 ppm, paling hanya akan beroleh 30 persen dari kebutuhan. Namun kalau syarat toksin dilonggarkan menjadi 50 ppb, mungkin bisa memperoleh pasokan sampai 53 persen.
Aflatoksin, berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin, termasuk kelompok senyawa dengan daya racun tinggi, bersifat mutagenik dan karsinogenik. Selain itu, aflatoksin juga bersifat imunosupresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh, hepatokarsinoma (aflatoksis akut), kwashiorkor (malnutrisi karena kekurangan protein), reye’s syndrome, kanker hati, dan teratogenik (perkembangan tidak normal dari sel selama kehamilan).
Hasil penelitian menunjukkan, pemberian aflatoksin sebesar 100 ppb pada ayam petelur tidak mempengaruhi produksi telur harian (hen-day). Pada kadar 3.500 ppb, untuk ayam broiler, produksinya turun. Masih menurut Budi, pada ayam yang diberi aflatoksin 100 ppb aflatoksin terus menerus selama enam bulan akan ditemukan aflatoksin di dalam tubuh dan kuning telurnya. Uji aflatoksin pada ayam berpenyakit, seperti Newcastle Disease (ND) dan Infectious Bronchitis (IB), ia simpulkan aflatoksin lebih berpengaruh terhadap kekebalan tubuh ayam.
Pemicu
Racun hanya terbentuk bila kadar oksigen, kadar suhu, kadar air, dan kandungan substrat tepat untuk menghasilkan mikotoksin. Komposisi substrat membuat bekatul mempunyai kandungan mikotoksin lebih sedikit ketimbang jagung. Pembentukan mikotoksin tidak hanya terjadi pada saat penyimpanan, bahkan, menurut Budi, bisa mulai dari lapangan. “Jadi pada waktu tanaman belum panen mikotoksin sudah tumbuh. Tetapi pada waktu dipanen, kadar airnya turun 23-13 persen berhenti, mikotoksinnya juga berhenti,” terangnya.
Namun, dengan berhentinya pembentukan aflatoksin, bukan berarti jagung kita sudah aman. Pasalnya, “Aflatoksin sudah ada di dalam jagung nggak akan hilang. Nanti pada saat disimpan lagi, pada waktu di gudang kadar air naik, (kadar) aflatoksin naik lagi,” lanjut pakar nutrisi itu mewanti-wanti.
Kebiasaan petani yang menjemur jagung di bawah sinar matahari juga berperan dalam pembentukan aflatoksin. Jagung yang panen pada musim hujan mengandung aflatoksin lebih tinggi ketimbang musim kemarau karena petani tidak bisa menjemurnya. Karena itu Budi menyarankan untuk memilih jagung dikeringkan dengan oven yang aflatoksinnya lebih rendah.
Pencegahan
Cendawan dapat memproduksi aflatoksin pada suhu antara 12o-42oC, tetapi kisaran suhu yang optimal 28o-30oC dan kelembapan udara 89-99 persen. Untuk mencegah pertumbuhan cendawan, kita dapat menurunkan kadar air jagung hingga 13 persen.
Budi memaparkan, “Waktu tahun 1990-an, saya menganggap jagung yang bagus dari Jawa Timur. Jagung Lampung itu jelek kualitasnya tahun 1985-1990an. Tetapi ternyata sekarang jagung Lampung itu bagus.” Menurut analisisnya, perbaikan kualitas jagung di Lampung tak lepas dari beroperasinya mesin-mesin pengering jagung di sana dalam 15 tahun terakhir.
Pada sesi lain seminar jagung tersebut, Dr. Michael Montross, pakar biosistem dan rekayasa pertanian dari Universitas Kentucky, Amerika Serikat, KY, memberikan saran-saran cara penyimpanan jagung. “Bila ingin menyimpan jagung, jagung harus dibersihkan dulu. Selain itu supaya jagung itu tahan lama, usahakan bagian luarnya itu masih utuh. Tujuannya agar cendawan tidak tumbuh dan serangga tidak masuk. Jadi bila ingin menyimpa jagung lebih lama, upayakan agar jagung dibersihkan baik dari kotoran maupun dari jagung yang pecah, baru kemudian disimpan di silo,” jelasnya.
Untuk menjaga kualitas, Budi pun menambahkan, sewaktu panen, segera dikeringkan sampai kadar air di bawah 13 persen. Pada saat penyimpanan, perlu dilakukan pengontrolan kadar air dalam silo. Kondisi mesin pemroses, mesin pembentuk pellet, alat transportasi, penyimpanan di gudang peternakan, bahkan ketika diberikan ke ternak pun harus diperhatikan. “Kalau kita bisa kontrol dari awal sampai akhir, kita bisa mengendalikan (aflatoksin),” tutupnya.
Ratna Budi Wulandari