Minggu, 31 Juli 2011

Sentra Pupuk Organik di Kebun Sawit

Integrasi sapi potong di kebun kelapa sawit menciptakan rantai nilai yang memberi penghasilan harian tambahan bagi petani.

Konsep pemeliharaan sapi potong di kebun kelapa sawit sudah cukup lama digagas tetapi sejauh ini belum berkembang. Perusahaan sawit umumnya masih memandang minus konsep ini karena khawatir ada konflik pemanfaatan lahan antara untuk tanaman sawit dan sapi.

“Kalau ini kita pandang sebagai integrasi multifaset tidak akan ada konflik spasial. By product (limbah) di sini masuk ke sana sebagai input, by product sana masuk ke sini sebagai input. Sasaran akhirnya itu ada diversifikasi pendapatan, bukan swasembada sapi saja,” cetus drh. Askardiya R. Patrianov, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau dalam perbincangan dengan AGRINA di Jakarta.

Menurunkan Biaya Pemupukan

Lebih jauh Patrianov menjelaskan, titik tolaknya adalah sapi sebagai industri biologis. Input (masukan) yang berupa pakan hijauan menghasilkan output (keluaran) berbentuk tambahan bobot badan harian (average daily gain-ADG), anakan (pedet), kotoran dan urine yang bisa diolah menjadi kompos dan pupuk cair. Dua produk terakhir inilah yang akan menjadi pupuk untuk tanaman sawit.

Alumnus Fakultas Kedokteran Hewan IPB 183 ini berpendapat, alangkah bagusnya bila biofertilizer centre, istilah kerennya, bisa dibangun di kebun petani sawit sehingga dalam jangka panjang juga mengatasi ketergantungan terhadap pupuk anorganik. Mengenai pemasaran produk, Bapak kelahiran Magelang yang sejak lulus mengabdi di bumi Riau tersebut, berpendapat, tidak sulit. Pasalnya, di wilayahnya saat ini masih kekurangan pasokan pupuk biologis.

Hitung-hitungan kasar, setiap ekor sapi membutuhkan pakan berupa 2,5 – 3 pelepah sawit. Jenis sapi yang cocok, lanjut dia, adalah sapi lokal, misalnya sapi bali dan sapi madura. Pelepah segar ditaruh saja di kandang. Sapi akan terbiasa menyantap limbah kebun sawit ini. Kandungan nutrisi pelepah cukup buat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Memang diperlukan tambahan mineral saat sapi memasuki masa reproduksi.

Dengan asupan pakan tersebut, sapi menghasilkan minimal 15 kg kotoran basah per hari. Kotoran ini laku dijual Rp350 per kg atau Rp1.250 per kg dalam kondisi kering. Konversi bobot basah ke kering menyusut 60 persen. Sementara itu produksi urine per hari sekitar 3 liter. Harga pasaran pupuk cair dari urine sekitar Rp10 ribu per liter. Jadi, pendapatan harian peternak yang mengolah kotoran dan urine dari seekor sapi sebanyak Rp37.500 atau Rp1,25 juta sebulan belum dikurangi biaya produksi. Bila tidak dijual, pupuk tersebut bisa dijadikan penyubur tanaman sawit milik sendiri. “Pupuk ini akan menurunkan biaya pemupukan  40% per hektar (Rp6 juta dari Rp15 juta),”  lanjut Parianov. 

Di sisi lain, sapi menghasilkan pertambahan bobot badan dengan hitungan minimal saja 0,3 kg per hari atau senilai Rp8.000. Namun pendapatan ini tidak bisa dipanen harian karena biasanya masa penggemukan berlangsung selama 90 hari. Penghasilan tahunan berupa pedet.

Untuk mempromosikan nilai plus integrasi tersebut di kalangan perkebunan sawit, Patrianov menggandeng perbankan dengan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). Namun, “Yang di Riau nanti, kredit sapi dibayar dari setoran sawit,” harapnya. Saat ini dua perusahaan dan dua bank tengah mengkaji secara serius tentang hal tersebut

Jujur dan Sungguh-sungguh

Kesungguhan Patrianov mempromosikan Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (SISKA) ini selaras dengan keinginan pemerintah yang pro poor, pro job, dan pro growth. Di Riau pro growth bisa dijalankan oleh perusahaan-perusahaan sawit yang menangguk untung dari ekspor produk minyak sawit. Nah, untuk keperluan pro poor dan pro job-lah SISKA ini didedikasikan buat petani supaya bisa memperoleh penghasilan tambahan harian dan mengantisipasi masa peremajaan sawit yang dilakukan saat tanaman berumur 20 tahun ke atas.

Memang Patrianov menyadari, tidak akan mampu membuat semua perkebunan sawit menjalankan SISKA. Namun bila sebagian perusahaan bersedia, sudah cukup baginya karena dia berprinsip, “Kalau tidak bisa mengubah, paling tidak bisa mewarnai.” Filosofi ini didapatkannya ketika menghadap almarhum dosennya, Suhardjo Hardjosworo, di IPB untuk meminta pendapat karena mendapat panggilan menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pada 1983.

Saat itu ayah empat anak lelaki ini berstatus karyawan PT Medion, perusahaan vaksin dan obat hewan di Bandung, Jabar.  Meski hanya mengabdi kurang dari setahun di perusahaan milik Yonas Yahya tersebut, tetapi dia mengaku mendapat pelajaran sangat berharga dari kultur perusahaan. “Saya diajari, bekerja itu yang penting jujur dan bersungguh-sungguh. Kalau dalam filosofi Tionghoa, kejujuran itu di atas segala-galanya. Tapi jujur saja tidak cukup karena orang Tionghoa, selain jujur ‘kan juga harus profit oriented. Berarti harus sungguh-sungguh (bekerja). Kalau jujur tapi nongkrong ya nggak akan dapat untung,” ia mengilasbalik.

Dua nilai penting itu sampai hari ini masih berupaya dia terapkan di lingkungan keluarga maupun instansi tempatnya bekerja. Dulu, sebagai tenaga pemasaran di Medion, pria kelahiran 17 November 1959 ini diajari untuk selalu mencatat kilometer mobil sewaktu berangkat ke lapangan dan kembali ke kantor. “Sebagian orang mengatakan, itu keterlaluan, tapi bagi saya tidak. Hari ini (menghabiskan) berapa kilometer terus dikonversi ke kita jual berapa sih. Satu bulan kita buat laporan. Kita hitung dengan omzet, ada korelasi positif tidak,” ungkapnya. Dengan begitu, kinerja seorang tenaga pemasaran terukur dengan jelas. “Sampai hari ini pun saya kalau ke lapangan akan mencatat kilometer. Hari ini saya mengerjakan apa sih,” tambahnya.

Kejujuran dan kesungguhan itu dimulai dari dirinya sendiri. “Kita jujur pada pekerjaan. Kita jalankan dengan bersungguh-sungguh. Sampai hari ini saya masih ngerjakan sendiri. Dulu saya diajari begitu. Saya nyetir sendiri, nagih sendiri, ngobati sendiri,” ujarnya. Inilah salah satu bentuk efisiensi yang terukur dari manajemen Medion sehingga membuat perusahaan tersebut sebesar sekarang. Jadi, efisiensi bukanlah selalu berwujud pangkas sana, pangkas sini.

Di kalangan PNS, efisiensi semacam itu sering dipandang sebagai sikap tidak mau berbagi. Padahal, mestinya dilihat ada masanya efisiensi, ada masanya pula berbagi. “Kalau pekerjaan tidak berbagi tidak apa-apa, tapi jangan sampai (dalam hal) uang tidak mau dibagi. Tapi orang salah kaprah sekarang ini, pekerjaannya dibagi, tapi uangnya tidak (dibagi). Dalam perjalanan dinas, kalau bisa berdua, kenapa bertiga, ‘kan lebih efisien,” tutur bapak yang berupaya tidak mengambil hak orang lain ini dengan nada bijak. 

Pada akhir perbincangannya, Patrianov mengungkap satu lagi nilai positif yang diserapnya dari manajemen Medion, yaitu pendekatan kekeluargaan tetapi manajemen profesional. Maksudnya, dalam pendekatan man to man seperti keluarga, tetapi pendekatan bisnis tidak bisa ditawar.

Dengan jujur dan bersungguh-sungguh, Patrianov berharap akhirnya SISKA dapat diadopsi banyak perkebunan sawit dan dirinya dapat melaksanakan program-program di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Riau secara nyata.

Peni SP, Liana Gunawati, Tri Mardi Rasa

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain