Total biayanya sekitar Rp8 juta per hektar per musim tanam. Tapi hasilnya sekitar Rp20,1 juta. Inilah buah karya dari perbaikan lahan.
Kita memerlukan banyak orang seperti Wayan Supadno. Formulator Bio-Extrim (pupuk hayati majemuk cair) dan Organox (pupuk bio organik cair) ini menyewa lahan tandus seluas 20 hektar (ha) dan menyulapnya menjadi sawah produktif di Desa Singosari, Kec. Jonggol, Kabupaten Bogor. “Sawah ini bisa menjadi laboratorium kita semua,” kata Wayan di hadapan para petani di Singosari, yang didampingi Camat Jonggol Asep Aer Sukmaji, 50, Sabtu (11/6).
Sebelumnya, banyak orang yang tidak percaya dengan kegiatan Wayan Supadno tersebut. Maklumlah, selama ini produktivitas sawah di desa ini sekitar 3,5 ton per ha per musim tanam. Tapi, bapak yang sering mengisi Dialog Interaktif Pertanian di TVRI dan suka menulis bernuansa motivasi untuk para petani ini tidak menyerah. Nekat. Hasilnya menakjubkan. Berdasarkan ubinan (tiga lokasi secara acak), menurut Jajang, SP (HP 0812-1854562), penyuluh pertanian lapangan (PPL), rata-rata hasilnya 7,5 ton bruto gabah kering panen (GKP). Atau kalau dihitung secara bersih sekitar 6,7 ton GKP.
Baru pertama kali
“Sejak saya lahir, baru kali ini di Singosari ini, ada yang menanam padi hasilnya seperti ini,” kata H. Rahman (HP 0812-9695282), tokoh masyarakat, menirukan ucapan para petani yang rata-rata menanam padi varietas Ciherang di
Dengan hasil 6,7 ton GKP per ha saja, belasan petani sudah merasa terheran-heran, apalagi kalau 10 ton GKP per ha. Menurut H. Muhammad Suhendar, petani di Desa Singosari, selama ini paling tinggi mereka hanya bisa memanen sekitar 3 ton per ha. Karena itu Ketua Kelompok Tani Tunas Mekar, yang bernaung di bawah Gapoktan Mekartani, ini sengaja datang Sabtu lalu melihat panen padi di sawah Wayan. “Saya ingin belajar, bagaimana hasilnya bisa tinggi,” tutur Muhammad kepada AGRINA.
Menurut Jajang, lahan tadah hujan ini tergolong jenis latosol. Tingkat keasamannya tinggi, dengan pH di bawah 4 dan C-organiknya di bawah satu persen. Padahal, lahan yang bagus itu pH-nya sekitar 6-7 dan C-organiknya di atas lima persen. Untuk memperbaiki lahan tersebut, Wayan Supadno menerapkan teknologi budidaya berbasis kombinasi anorganik, organik, hayati, dan hormon/ZPT organik. Dengan kombinasi, hasilnya lebih baik ketimbang hanya organik.
Organik dan anorganik
Pada pratanam, lahan dibajak dengan traktor, kemudian ditaburi pupuk kandang dua ton, dolomit 150 kg, dan pupuk NPK 200 kg per hektar. Lalu disemprot dengan gabungan Bio-Extrim dan Organox, masing-masing 10 liter, 20 liter air kelapa, serta lima liter susu segar. Hal ini dimaksudkan agar media tanamnya lebih baik dan tahan penyakit maupun yang dibawa vektor seperti wereng.
Saat proses penyemaian, benih padi varietas Ciherang direndam terlebih dahulu dengan campuran tersebut menggunakan perbandingan 1:10. Sisa rendaman disiramkan ke lokasi penyemaian. Pada umur 12 hari setelah semai (HSS), bibit siap dipindah tanam. Sebelum ditanam, akar direndam 10 menit dalam larutan Hormax (hormon perangsang tumbuh atau ZPT organik) untuk merangsang percepatan pertambahan jumlah akar dan anakan.
Selama perawatan, setelah ditanam, setiap dua minggu sekali tanaman padi disemprot kabut ZPT Hormax empat tutup per tangki dengan ukuran 14 liter. “Hal ini untuk mendongrak hasil,” tegas Wayan.
Dengan metode budidaya seperti ini diharapkan C-organik tanahnya sudah mencapai 2,5 persen dan produktivitas padi sekitar 7 ton per ha. Kenyataannya, produktivitas padi (tiga lokasi secara ubinan) mencapai rata-rata 7,5 ton bruto GKP per ha atau bersih sekitar 6,7 ton GKP (setara 5,7 ton gabah kering giling atau GKG atau setara 3,3 ton beras). Setelah dua atau tiga kali musim tanam, produktivitasnya di atas 10 ton GKP.
Semestinya, menurut Wayan, pada musim tanam pertama ini hasilnya bisa di atas 7 ton bersih GKP. Formulator Hormax ini, tidak menambahkan pupuk KCl, yang sangat diperlukan dalam pengisian bulir, beberapa minggu sebelum padinya bunting. Karena itulah pada musim tanam padi berikutnya, bapak kelahiran 1967 ini akan menambahkan pupuk KCl.
Pada musim tanam pertama ini, metode tanam yang diterapkan adalah jajar legowo 5:1 (setelah lima jajar dikosongkan satu baris) dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm, dan dua bibit per lubang tanam. Musim berikut, akan dicoba jajar legowo 4:1 dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. “Tanaman padi ‘kan perlu ventilasi udara juga,” terang Wayan di hadapan para petani.
Enak jadi petani
Kalau dihitung secara total, biaya yang sekitar Rp8 juta per ha per musim tanam, tergolong tinggi (biasanya Rp5 juta – Rp6 juta) karena termasuk upaya perbaikan tanah. Jumlah tersebut sudah termasuk sewa lahan, biaya tenaga kerja, biaya sarana produksi, dan sebagainya. Dengan hasil 6,7 ton GKP per ha setara Rp20,1 juta (jika harga gabah kering panen Rp3.000 per kg), maka keuntungan yang bisa diraih mencapai Rp12,1 juta per ha. “Enak jadi petani itu,” tukas Wayan sembari tertawa. “Profesi petani jangan jadi beban. Jadi petani itu, menyenangkan,” tambahnya.
Asep Aer Sukmaji, Camat Jonggol, tampak sumringah dengan keberhasilan Wayan. Ia berharap para petani se-Kecamatan Jonggol meniru apa yang telah dilakukan formulator pupuk organik itu. “(Keberhasilan) ini bisa dicontoh petani di sini,” kata Pak Camat yang kelahiran Jampang Kulon, Sukabumi, ini. Dengan menerapkan budidaya seperti ini, “Pak Bupati (Bogor) menginginkan bukan saja produksi dan produktivitas yang meningkat, tetapi juga kesejahteraan petani,” sambung Asep sembari berkeliling memperhatikan padi yang menguning.
Pak Camat mengajak Wayan agar tidak hanya satu musim ini, tapi berlanjut. Memang, Wayan menyewa lahan di sini selama enam tahun. Bahkan anak petani ini, bakal menyewa lahan 37 ha di Cariu, Bogor, untuk menambah ‘laboratoriumnya’. Asep pun mendukung dengan meminta aparatnya di kecamatan untuk menyediakan lahan yang lebih luas bagi Wayan. Di Jonggol, lahan pertanian padi ada sekitar 3.300 ha atau 26 persen dari luas Kecamatan Jonggol. “Pengalaman ini dapat ditiru,” tegas Wayan.
Di tengah beralih fungsinya lahan sawah secara nasional sekitar 100 ribu ha per tahun dan pertumbuhan penduduk sekitar 1,49 persen per tahun atau setara 3,5 juta jiwa per tahun, kita memang memerlukan banyak orang-orang kreatif seperti Wayan Supadno. “Saya tunjukkan kepada petani, jika petani nggak tahu jalan. Sebagai bagian dari anak bangsa, mari kita tingkatkan ketahanan pangan,” ajak Wayan dalam beberapa kali perbincangan.
Syatrya Utama