Minggu, 24 April 2011

Cara Aman Cegat Nematoda

Dampak serangan nematoda kelihatannya tidak sedahsyat penyakit antraknosa maupun hama lalat buah. Namun sebenarnya kerugian petani tak kalah banyak.

Umumnya petani cabai dan tomat belum menyadari kerugian akibat serangan nematoda. Padahal kalau tingkat serangan cacing renik ini sudah parah, “Penurunan produksi bisa mencapai 70%—80%. Nematoda itu ‘kan ada efek sekundernya. Serangan nematoda membuat titik-titik infeksi jamur (cendawan) menjadi terbuka. Kalau sudah ada (infeksi sekunder), ya bisa 100%,” tutur Arief Darmono, petani cabai, tomat, dan bawang daun di Sukabumi, Jabar.

Makin Menghebat

Pemantauan Saifudin, formulator nematisida hayati dari Malang, Jatim, di lapangan serangan nematoda dalam lima terakhir menghebat lantaran musuh alaminya tidak ada lagi akibat penggunaan pestisida kimia yang berlebihan. Di daerah-daerah sentra, seperti Dieng dan Brebes (sentra kentang dan cabai di Jateng), selalu ada serangan.

Di antara spesies nematoda yang acapkali menyerang tanaman-tanam itu adalah Meloidogyne spp.. Spesies lainnya, Radopholus similis dan Globodera sp., kadang juga ada. Nematoda menusuk akar, lalu masuk ke sel-sel akar. Sel tempat dia makan meraksasa sehingga akar terlihat berbenjol-benjol. Nematodanya dijuluki nematoda bengkak akar.

Suplai nutrisi dan air ke bagian atas tanaman terhambat sehingga secara keseluruhan pertumbuhan tanaman sangat terganggu. Pertanaman cabai Arief pernah terserang nematoda yang membuat batang hanya sebesar kelingking. Luka tempat masuknya nematoda tersebut di perakaran juga bisa mengundang infeksi sekunder dari  cendawan dan bakteri tular tanah.

Lebih Irit dan Ramah Lingkungan

Selama ini, para petani yang tidak mau rugi oleh nematoda mengandalkan nematisida sekaligus insektisida berbahan aktif karbofuran. Namun, Arief berpendapat, pemanfaatan pestisida kimia itu tidak efektif. “Nematoda ‘kan sampai ke dalam tanah, nanti produknya harus berapa banyak,” ucapnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, Saifudin, meramu nematisida hayati dengan memanfaatkan satu dari ribuan strain cendawan Paecylomyces lilacinus. “Hifa cendawan ini masuk ke dalam, mengeluarkan zat tertentu untuk memecah cangkang telur. Yang diserang telur, janin, dan nematoda betina,”  terang alumnus Institut Teknologi Nasional Malang 1998 ini. Praktis, populasi nematoda akan terkendali karena penerus generasinya jauh berkurang diserang cendawan. Cendawan akan terus tumbuh dan bekerja di dalam tanah selama lingkungan mendukung kehidupannya.

Cendawan parasit itu ditumbuhkan dalam media yang mengandung kompos. Walhasil, penggunaan produk hayati ini juga menekan dosis pupuk kimia. Pun harganya jauh lebih murah, hanya sekitar Rp80.000 per kg. Dosisnya 10 kg per ha berarti biayanya sekitar Rp800 ribu. Padahal, kata Saifudin yang biasa disapa Didin, bila petani menggunakan nematisida kimia menghabiskan sekitar Rp4 juta per ha.

Pengalaman lapang, Arief mengaplikasikan dosis 5—10 kg per ha di kebunnya yang diberi pupuk organik 20—30 ton per ha. Nematisida ini dilarutkan dalam air. Larutannya itu diberikan di persemaian atau bersamaan pengocoran pupuk pertama supaya tidak mengeluarkan ongkos tambahan. Aplikasi musim tanam selanjutnya tergantung kondisi lahan. Sebaiknya

Hasilnya, “Lebih efektif, lebih murah, masa pakainya lebih lama,” konfirmasi Arief. Mengenai pengiritan pupuk kimia, petani yang juga pengguna insektisida hayati untuk cendawan tular tanah ini mengakui,  “Mengurangi 35%—50% insya Allah bisa sih.”

Didin maupun Arief mafhum, tidak mudah meyakinkan petani untuk menggunakan produk ramah lingkungan tetapi efeknya tidak seketika ini. Perlu edukasi yang efektif.

Peni SP

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain