Kunci sukses kelompok ini adalah penerapan kata “saling” yang positif, yaitu saling bantu, saling memberi, dan saling mengingatkan.
Pada era kolonial, bangsa Eropa pernah begitu terkesan dengan kenikmatan kopi dari Pulau Jawa. Rasa kopi arabikanya bercitarasa khas. Namun belakangan Jawa, khususnya Jabar, malah lebih dikenal sebagai sentra sayuran dan susu. Petani banyak meninggalkan kopi lantaran masa panennya setahun sekali, tidak seperti sayuran yang empat bulan sekali bisa dipanen. Bahkan masyarakat di Pangalengan, Bandung, sampai mencap kopi sebagai komoditas yang hanya cocok bagi kaum tua atau para pemalas.
Pandangan keliru tersebut dipatahkan Supriatna Dinuri, penduduk Kp. Pasirmulya, Desa Margamulya, Pangalengan. Dengan kerja keras dan ketelatenan, ia mampu hidup sejahtera hanya dari kopi. Bersama Kelompok Tani Kopi Rahayu (KTKR), ia bangkit menapaki sukses besar. Kini aset KTKR mencapai Rp30 miliar. Kopi produksi kelompok ini merambah Eropa, Korea, dan Australia. Pendapatan bersih setiap anggotanya Rp3 juta per bulan. Supriatna sendiri mengantongi laba bersih Rp10 juta sebulan.
Pilihan
Mengawali pekerjaan sebagai petani kopi bukan hal mudah bagi Supriatna. Cercaan datang dari warga sekitar dan juga keluarga. Pengetahuan minim tentang kopi dan sejarah keluarga sebagai petani sayuran adalah salah satunya. Parahnya lagi, ia lulusan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) jurusan peternakan.
Sempat menjadi inseminator selama 9 tahun di Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS), ia memilih berhenti untuk memberi kesempatan kerja bagi adik kelasnya. Keluar dari KPBS, lelaki 45 tahun ini terpaksa menekuni sayuran selama empat tahun. Dari pengalamannya, ia menyimpulkan, “Risiko kerugian di bisnis sayuran tinggi. Komoditas ini tak akan bisa kita kuasai dari hulu sampai hilir. Di posisi tengah, yang ditempati petani malah kempes, yang gemuk adalah pengumpul,” jelas penerima penghargaan Ketahanan Pangan 2009 ini.
Dengan berbagai pertimbangan dan momen hancurnya harga sayuran pada 1998 akibat krisis, Supriatna berganti komoditas. Gencar mencari informasi komoditas yang cocok, akhirnya pilihan jatuh pada kopi. “Jawa Barat dulu terkenal dengan Java Coffee-nya. Dan Pangalengan cocok untuk pengembangan kopi Arabika,” paparnya.
Haus Ilmu
Berbekal tabungan tersisa, ayah dua anak itu menukar 10.000 bibit kopi dengan sebuah mobil miliknya senilai Rp12 juta. Belum cukup, ia rela melepas sebuah mobilnya lagi untuk biaya tanam kopi senilai Rp48 juta.
Bermodal nyali saja tanpa mempelajari budidaya, memang bukan langkah terbaik. Memasuki masa panen, tahun ketiga penanaman, semua pohon kopinya mati. Modal Rp80 jutaan pun ludes. Tak patah arang, Supriatna terus belajar dan mencari tahu seluk-beluk budidaya kopi. Semakin dalam belajar, semakin tinggi rasa ingin tahunya. Makin yakin dengan pilihannya, ia membentuk Kelompok Tani Kopi Rahayu pada tahun 2000. Meski beranggotakan 6 orang, itu pun kalangan sanak-saudara, ia terus maju. Luasan kebunnya waktu itu baru 8 ha yang ditanami 45 ribu batang. Produksinya sekitar 0,5 kg per pohon.
Supriatna dan kelompoknya kemudian sering ditunjuk Dinas Perkebunan mengikuti berbagai pelatihan. Lantaran dianggap berprestasi, beberapa kali pula KTKR mendapat bantuan, termasuk mesin pengolah kopi.
Melek Teknologi
Enam tahun berselang, KTKR semakin besar. Apalagi dengan bantuan mesin pengolah kopi, KTKR tak lagi menjual kopi gelondongan, tapi sudah dalam bentuk fermentasi. “Pendapatan petani waktu belum diolah hanya Rp500 per kg. Tapi setelah diolah menjadi bean (biji) Rp11.500 per kg atau sekitar Rp3 juta per bulan,” jelas pemilik lahan seluas 18 ha ini.
Kini KTKR beranggotakan 67 petani dengan luasan 59 ha. Tak berhenti sampai di situ, KTKR menjalin kerjasama dengan Perhutani untuk penanaman kopi pada lahan hutan yang rusak. Luasannya mencapai 338 ha dan baru tergarap sepertiganya. Dengan populasi tanaman menghasilkan 42.000 pohon, produksi KTKR sekarang 32 ton biji. Semuanya diproses secara organik, dari mulai penanaman sampai pengolahan.
Kopi termasuk primadona ekspor sehingga harganya mengacu ke pasar internasional. Karena itu mau tak mau KTKR mesti melek teknologi. KTKR pun menggaji staf khusus untuk memantau harga melalui internet. “Kopi bean, saya buka harga US$4, sekitar Rp30 ribu. Setelah saya kasih spec produk saya, mereka tawar lebih mahal dari harga di internet. Enaknya kopi, yang menentukan harga ya petani, tapi sayuran yang menentukan harga pengumpul,” ucap Supriatna yang menargetkan produksi tahun ini sebanyak 40 ton.
Disinggung soal perdagangan bebas Asean-China, Supriatna dan kelompoknya tidak gentar. “Dengan terus meningkatkan kualitas produk, kita bisa bicara banyak di dunia internasional,” kilahnya. Menurut suami Rina Yuliani ini, setiap pembeli menghendaki spesifikasi produk berbeda. Australia contohnya, minta produk kopi hasil fermentasi 24 jam. Sedangkan Eropa dan AS memilih fermentasi 12 jam dan 36 jam. Harga kopi terbaik terjadi saat puncak musim panen raya, Mei—Agustus.
Selain dalam bentuk fermentasi, KTKR juga mengusahakan kopi luwak. Setidaknya 18 ekor musang (luwak) dipelihara untuk membantu produksi kopi istimewa ini. Per tahun KTKR baru bisa memproduksi 60 kg kopi luwak. Ke depan KTKR akan menyiapkan satu hektar lahan guna melepas bebas musang-musang tersebut. “Biarkan saja mereka hidup bebas di lahan tersebut dan kita tinggal memanen kopi luwak,” cetusnya.
Kendala terbesar adalah mendapatkan bibit berkualitas. Menurut pengguna klon Arabika S795 buatan Puslitkoka, Jember ini, bibit adalah fondasi. Untuk itu KTKR memproduksi bibit sendiri dan menjualnya. Saat ini produksi bibitnya 400 ribu polibag per tahun yang dibanderol Rp1.600 per batang.
Tahun ini KTKR berkeinginan, semua anggotanya bisa terhubung dengan perbankan atau lembaga keuangan lainnya. Keinginan tersebut didasari harapan membangun perkebunan yang berintegrasi dengan ternak sapi.
Supriatna mengakui, kunci sukses KTKR adalah saling bantu, saling memberi, dan saling mengingatkan. “Tujuan utama kami berkebun adalah agar bisa mengeluarkan zakat. Kita bisa ibadah dari kopi, makanya kelompok kami solid,” ucap Supriatna bersahaja.
Selamet Riyanto dan Dadang WI