Program berorientasi pada produksi tanpa perencanaan pasar yang jelas membuat harga panen merosot sehingga diperlukan inovasi untuk menciptakan nilai tambah.
Pencanangan Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jateng, sebagai Desa Nila oleh Gubernur Jateng Bibit Waluyo, Maret 2009 lalu membangkitkan gairah berbudidaya nila di wilayah tersebut. Sentra baru nila ini juga menjadi tuan rumah penglepasan dua varietas unggul nila baru, Larasati (nila Janti) dan BEST oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, November silam. Namun, program berorientasi produksi itu tampaknya belum dibarengi perencanaan pemasaran yang jelas. Akibatnya, harga nila segar di wilayah ini justru turun.
Menurut Inung Abdul Kadir (27), anggota Kelompok Pembudidaya Ikan Tirta Wahyu Desa Janti, Polanharjo dan Roni Yunianto (30), anggota Kelompok Mina Mandiri Desa Janti Gede, produksi nila di Kecamatan Polanharjo sebelum pencanangan itu sekitar 6 ton per hari. Kini menjadi 10 ton per hari. Dari angka ini, 4 ton di antaranya disumbang Desa Janti.
Peningkatan produksi tersebut melorotkan harga nila segar di tingkat pembudidaya dari kisaran stabil Rp14.000 menjadi Rp12.000 per kg. Penurunan ini mulai dirasakan sejak lebaran 2009 atau kira-kira satu musim panen pascapencanangan. “Tetapi di tingkat pedagang pasar di Solo harga masih stabil Rp16.000—Rp17.000 per kg. Jadi, sepertinya ada permainan pedagang,” duga Inung. Menurutnya, meskipun para pembudidaya telah berkelompok, toh posisi tawar mereka tetap rendah karena penjualan belum melalui satu pintu dan belum ada sistem koordinasi yang mantap di tingkat kelompok.
Keadaan ini diperparah lagi dengan terjadinya ancaman kekeringan akibat kemarau di Waduk Cengklik, Boyolali, yang notabene merupakan lokasi budidaya nila. “Karena takut ikan mati, mereka menjual awal dengan harga hanya Rp9.000 per kg,” terang pemilik tiga kolam berukuran masing-masing 7 m x 20 m tersebut.
Merintis Fillet
Hal tersebut membuat Inung Abdul Kadir memikirkan perlunya inovasi produk nila. Inung pun mencoba membuat fillet. Terhitung sejak sebulan lalu, ayah satu anak ini memproduksi fillet dan langsung mendapatkan dua restoran di Kota Solo sebagai pelanggan. Hingga kini sudah 40 kg fillet per bulan yang dipasarkannya.
Inung yakin, inovasinya akan diterima pasar. Pasalnya, dengan memperoleh bahan baku ikan dari kolam sendiri, biaya produksi fillet akan jauh lebih miring ketimbang fillet pabrikan. Ia menghitung, ada perbedaan harga di tingkat pembudidaya dan pedagang sebesar Rp4.000—Rp5.000 per kg. Sementara biaya produksi budidaya sebesar Rp11.000 per kg. Untuk membuka pasar, ia berani memberikan harga promosi bagi filletnya, Rp39.000 per kg.
Sekilo fillet segar dibuat dari tiga ekor ikan ukuran minimal 0,8 kg sehingga harga bahan bakunya Rp28.800—Rp30.000. Biaya pembuatan fillet sementara ini belum dapat ditentukan karena produksinya masih dalam taraf mencoba. “Tetapi, kira-kira untung karena modal fillet hanya pisau saja,” ujar adik Roni ini.
Usaha produksi fillet Inung yakini akan semakin menguntungkan apabila dirinya mampu menjual kepala dan kulit ikan. Sayang, usaha pembuatan pakan ternak dari kepala ikan dan kerupuk kulit ikan di Solo sudah tidak ada lagi. Padahal proporsi kepala hampir separuh dari bobot nila. “Dulu, kepala ikan dihargai Rp1.500—Rp2.000 per kg, kulit basah Rp3.000 per kg dan kulit kering Rp5.000 per kg,” kenangnya. Sekilo kulit basah diperoleh dari 60 ekor nila. “Kalau kepala dan kulit bisa dijual, maka keuntungan bersih per kilo fillet dapat Rp10.000,” hitungnya.
Sementara belum memperoleh pasar bagi limbah produksi filletnya, Inung membagikan kepala ikannya kepada para tetangga untuk dimasak. Ia berharap pemerintah memberikan jalan keluar bagi penjualan limbah itu. Namun demikian, dengan harga promosi seperti sekarang pun usaha fillet sebenarnya berprospek cerah sehingga ia tetap bertekad mengembangkannya.
Untuk bahan baku fillet, dipilih ikan nila hitam lantaran berdaging lebih tebal dan lebih keras. Karena itu Inung selalu “menitipkan” nila hitam di antara nila merah dalam budidayanya. Dari setiap panen dua ton pada umur empat bulan, ada satu kuintal nila hitamnya. Nila hitam kurang disukai masyarakat. Jadi, mayoritas pembudidaya di sana lebih memilih tebar nila merah.
Pembudidaya Kreatif
Selain menjadi orang pertama yang membuat fillet, Inung beserta abangnya, Roni, memang dikenal sebagai pembudidaya kreatif. Mereka telah memulai usaha budidaya nila selama tiga tahun dan kini menjadi pengepul dengan omzet dua ton per minggu. Penjualan masih dilakukan di Solo. Mereka juga menjadi agen pakan produksi PT Suri Tani Pemuka dengan omzet 12 ton per minggu. Sebelum terjadi tren penurunan harga ikan, omzet mereka mencapai 21 ton per minggu. “Setelah harga turun, beberapa petani belum memelihara kembali,” terang Inung.
Mereka membentuk kelompok pembudidaya ikan beranggotakan 15—25 orang. Para pembudidaya ini mengambil pakan dari kakak beradik itu dan diberi tempo pembayaran hingga tiga minggu. Apabila kesulitan menjual panen ikannya, mereka bisa menjual kepada Roni.
Omzet penjualan ikan yang dua ton per minggu ini memang berasal dari kelompok tersebut. Dari dua ton itu, 70% berupa nila ukuran 2—3 ekor per kg untuk pasar umum dan 30% berukuran 4—5 ekor per kg untuk pemancingan. Harga pasar pemancingan ini lebih mahal Rp2.000 per kg dibandingkan pasar umum. Jadi, produksi fillet bisa dibilang langkah terobosan untuk mempertahankan harga ikan pada kelompok mereka.
Faiz Faza (Yogyakarta)