Selasa, 23 Juni 2009

Yuk, Jadi Penangkar Benih

Dalam lima tahun terakhir,  rata-rata kebutuhan benih tomat naik 4,2%, cabai 3,2%, dan bawang merah 1,2%.

Kebutuhan benih cabai, bawang merah, dan tomat, terus meningkat. Menurut data Ditjen Hortikultura, Deptan, kebutuhan benih cabai pada 2008 misalnya, sebanyak 75 ton. Jumlah ini naik 2,7% dibandingkan kebutuhan tahun sebelumnya.

Pada tahun yang sama, kebutuhan benih bawang merah mencapai 118.655 ton, atau meningkat 1,15% dari tahun sebelumnya. Demikian pula kebutuhan benih tomat naik 5,3% dari 2007 menjadi 20 ton pada 2008.

Di sisi lain, ketersediaan benih bermutu ketiga jenis sayuran tersebut belum mencukupi kebutuhan. Menurut Nana Laksana Ranu, Direktur Perbenihan dan Sarana Produksi, Ditjen Hortikultura, ketersediaan benih cabai pada 2008 hanya 50 ton. Pun ketersediaan benih bawang merah dan tomat, masing-masing hanya 18.522 ton serta 12,5 ton.

Padahal, selain dari dalam negeri, pemenuhan kebutuhan benih-benih itu juga dari impor. Tahun lalu, Indonesia mengimpor benih cabai, bawang merah, dan tomat, masing-masing sebanyak 9 ton, 4.500 ton, serta 4,5 ton.

Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah mengusahakan penyediaan benih berkualitas dan membuat jejaring antarpenangkar benih. Menurut Nana, pihaknya terus berupaya memperluas daerah sentra pembenihan. Untuk bawang merah, tahun ini Ditjen Hortikultura mengembangkan di tiga lokasi, yaitu Bima (NTB), Lembah Palu (Sulteng), dan Pamekasan (Jatim). Program itu didanai bantuan Counter Fund of Second Kennedy Round (CF-SKR), Jepang. “Melalui program itu diharapkan tumbuh 30 kelompok penangkar benih bawang merah (600 petani). Sekaligus meningkatkan ketersediaan benih bermutu (bersertifikat) dari 7% menjadi 15%,” harap Nana.

Selain itu, melalui Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang, Bandung, yang digawangi 16 pemulia utama, penelitian terus digenjot guna merakit varietas unggul. Kurun 1980—2008, Balitsa sudah melepas tiga varietas cabai merah, tujuh varietas bawang merah, dan tujuh varietas tomat. Sayang, untuk perbanyakan benih, baru beberapa varietas yang diadopsi para penangkar.

Lebih Menguntungkan

Salah seorang petani yang mengadopsi benih hasil rakitan Balitsa adalah Asep Halim Jamaludin di Ciamis, Jabar. “Saya merintis penangkaran benih cabai pada 2004. Lalu benar-benar menjadi petani penangkar pada awal 2007,” akunya.

Asep yang Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kisingasari, Kawali, Ciamis, itu, sebelumnya adalah petani cabai konsumsi. Selama menjadi petani, ia dan kebanyakan petani lainnya, terbiasa menggunakan benih dari hasil panen sendiri, atau membeli varietas hibrida yang bersifat sekali pakai. Alasan itu pula yang menginspirasi dirinya menjadi penangkar benih. “Melalui penangkaran bersertifikat, diharapkan petani cabai lokal berpeluang mendominasi pasaran daerah sendiri dan bisa memenuhi pesanan industri dengan produksi dan kualitas stabil,” paparnya.

Asep kemudian memilih varietas cabai unggul lokal Tanjung-2 dan mengikuti pelatihan penangkaran benih di Balitsa 2004. Setelah itu mulailah ia memproduksi benih. Kini ia menangkarkan benih cabai itu di atas lahan 1—1,5 hektar (ha). Dari setiap hektar dihasilkan 10 ton cabai segar. Sebanyak 30% layak dijadikan benih, sisanya dijual sebagai cabai konsumsi.

Dari setiap musim tanam, Asep memproduksi benih sebanyak 50—100 kg. Selain Ciamis yang menyerap 40%—50% produksi, benihnya dipasarkan ke Tasikmalaya, Garut, dan Majalengka. Layaknya produksi pabrikan, benihnya juga dikemas dalam kantong plastik alumunium foil. Menurutnya, biaya pengemasan Rp2.500 per kantong. Setiap kemasan berisi 10 gram benih, dan dibanderol Rp20.000. Ia juga melayani pembelian benih kiloan, Rp1,5 juta per kg.

Karena ada perlakuan khusus, menurut Asep Halim, budidaya cabai untuk penangkaran lebih tinggi, yaitu Rp60 juta per ha. Bandingkan dengan produksi untuk konsumsi yang Rp40 juta—Rp50 juta per ha. Namun, “Setelah dihitung, tetap lebih menguntungkan penangkaran,” simpulnya.

Bersertifikat

Hal serupa dilakukan Dulladi dan Kusriyanto pada komoditas bawang merah varietas Bima Brebes. Kedua penangkar di Brebes, Jateng, itu sudah bergabung dalam Asosiasi Perbenihan Bawang Merah Indonesia (APBMI).

Setiap tahun, dari luasan 1,5 ha, Dulladi rata-rata memproduksi benih 50 ton. Sisanya ia jual sebagai bawang konsumsi. Daerah pemasarannya adalah Brebes, Jabar, dan Madura. Harganya pada pertengahan Juni ini, Rp13.000 per kg untuk wilayah Brebes, dan Rp15.000 per kg di luar Brebes. Sementara bawang merah konsumsi, ia jual Rp6.000 per kg.

Menurut Dulladi, di desanya sendiri, Cisalam, terdapat 500 petani penangkar. Mereka yang tergabung dalam Kelompok Penangkar Bima Salam itu memproduksi 2.000 ton benih per tahun. Sayang, hingga kini benih yang dihasilkan belum bersertifikat.

Lain halnya Kusriyanto. Bersama 13 anggota yang tergabung dalam Kelompok Penangkar Tunas Harapan, ia mengupayakan 10 ha. Produksinya sebanyak 103 ton benih bersertifikat dan 200 ton non label per tahun. Selain Jawa, daerah pemasarannya adalah Palembang, Bengkulu, dan Jambi. Benih berlabel dijual Rp17.000 per kg. Sedangkan non label Rp12.500—Rp13.000 per kg.

”Biaya produksi benih bersertifikat, mulai dari penanaman hingga siap dijual, sekitar Rp15.000 per kg. Jadi kami masih kebagian Rp2.000 per kg,” aku Kusriyanto yang sudah 20 tahun menjadi petani bawang merah. Khusus biaya pascapanen, termasuk pelabelan, lanjut dia, hanya Rp250 per karung (isi 25 kg). ”Keuntungan dari penjualan benih bersertifikat maupun non label, tidak jauh berbeda. Namun, untuk pasar luar daerah, saya lebih tenang menjual benih berlabel karena jadi tidak takut ditangkap petugas benih (Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih, Red.),” tandasnya.

Bermitra dengan Perusahaan

Selain mandiri, usaha penangkaran juga bisa dilakukan melalui kemitraan dengan pabrikan benih. Misalnya dengan PT East West Seed (EWSI), PT Bisi International, atau PT Primasid Andalan Utama. “Untuk memproduksi semua benih unggul, kecuali kubis, kami bekerja sama dengan 4.000 petani penangkar di Jawa,” aku Afrizal Gindow, Sales and Marketing Director PT EWSI. “Pengembangan kemitraan dilakukan sejak kami berdiri pada 1990,” imbuh Glenn Pardede, Deputy Managing Director PT EWSI.

Menurut Yusron Naviudin, Head & Crop Production PT Bisi, pihaknya juga sudah lama bermintra dengan petani. “Kemitraan dengan petani sayuran kami lakukan tahun 1990-an. Jumlah petaninya sekitar 5.000—6.000 orang, yang tersebar di Jatim dan NTB,” ucapnya. Demikian pula dengan Primasid. Produsen benih di Jakarta itu menjalin kemitraan sejak 2004 dengan 200 petani di Jatim.

Sistem kemitraan ketiga perusahaan itu tidak jauh berbeda. Perusahaan dan petani terikat kontrak kerjasama. Selain menjamin pasar dengan harga kesepakatan, perusahaan memberikan benih sumber, bantuan modal, bimbingan teknis budidaya, mengontrol kemurnian benih, membantu pascapanen, dan menguji kualitas benih yang dihasilkan. Sementara petani hanya menyediakan lahan dan tenaga. Biasanya, sebelum menangkarkan benih hibrida, petani akan diuji dulu dengan produk yang mudah, yaitu varietas bersari bebas.

Dadang W. Iriana, Peni SP, Indah Retno Palupi

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain