Sekitar 99,99% benih-benih transgenik dikuasai perusahaan-perusahaan multinasional yang didominasi Monsanto.
Benih adalah instrumen utama menggenjot produksi pangan, seperti padi dan jagung. ”Sudah waktunya kita berani berbicara kemungkinan benih-benih tidak konvensional, termasuk GMO (genetically modified organism). Kalau tidak, kita akan menghadapi keterbatasan,” ujar Bayu Krisnamurthi, Deputi Menko Perekonomian, pada seminar Swasembada Beras Berkelanjutan (29/4).
Memang sudah saatnya Indonesia menerapkan benih-benih GMO alias transgenik, yang diadopsi negara-negara lain. ”Pemerintah terkesan takut-takut mengadopsi benih transgenik. Memang harus hati-hati, tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi,” tukas Dahari Tanjung, Sekretaris LPPM IPB, pada seminar Bioteknologi Pertanian di Universitas Lampung (Unila), Bandarlampung, (19/5).
Padahal, menurut Prof. Dr. Setyo Dwi Utomo, para peneliti telah mempersiapkan beberapa jenis benih yang dinilai potensial dikembangkan di Indonesia dengan cara transgenik (penyisipan gen dari suatu organisme ke organisme lain, baik yang sekerabat maupun tidak), seperti kedelai, kapas putih, dan jagung. ”Para peneliti sudah mengkaji dampaknya terhadap lingkungan dan hayati,” kata Guru Besar Budidaya Pertanian IPB, Bogor, itu.
Bahkan, lanjut Setyo, uji coba benih-benih transgenik ini sudah mendapatkan izin untuk segera dilakukan. Namun, penerapannya di lapangan masih terkendala karena belum ada kebijakan dari pemerintah. ”Di sini ada dua kepentingan tarik ulur antara LSM dan pemerintah,” katanya pada seminar tersebut.
Peningkatan Produktivitas
Dalam jangka pendek, menurut Dahari, penelitian difokuskan pada peningkatan produktivitas, sedangkan dalam jangka panjang terhadap lingkungan. Sayangnya, beberapa regulasi untuk mengadopsi transgenik ini sudah siap, tapi masih mandek pada persoalan keamanan hayati sehingga benih transgenik belum bisa dikomersialkan di Indonesia. ”Draft-nya sudah di Presiden, tapi masih menunggu persetujuan,” katanya.
Selama ini penguasa bisnis benih-benih transgenik adalah perusahaan-perusahaan multinasional. ”Sebanyak 99,99% benih transgenik dikuasai enam MNC (multinational company) dengan dominasi Monsanto (sekitar) 90%,” ungkap Dwi Andreas Santosa, Pengajar Fakultas Pertanian IPB pada seminar Bioteknologi Pertanian itu.
Persoalannya, apakah kita sekadar sebagai importir teknologi untuk benih-benih transgenik, terutama pangan, atau kita mengembangkan sendiri teknologi tersebut?
Pertanyaan lainnya, apakah kita hanya menjadi pengimpor produk-produk pangan yang benihnya berbasis transgenik? Padahal saat ini, menurut Dwi Andreas, hampir 90% bahan baku tempe kita dari kedelai impor yang umumnya diproduksi dari benih transgenik.
Pijakan Kebijakan
Karena itu, menurut Prof. Dr. Bustanul Arifin, pemerintah harus menanggapi dengan serius tentang usulan penggunaan bioteknologi modern sebagai pijakan kebijakan untuk mengantisipasi atau meminimalisasi masalah pertanian pada masa mendatang. ”Upaya perguruan tinggi melakukan penelitian selama ini semestinya sudah saatnya untuk diadopsi secara serius,” kata Guru Besar Unila pada seminar yang sama.
Pemerintah, imbuh Bustanul, harus mengambil keputusan: apakah penerapan teknologi transgenik ini menjadi salah satu solusi masalah pertanian Indonesia di masa datang atau tidak. ”Kalau tidak, harus dicari pemecahan lain untuk mengatasi masalah ini,” tegasnya.
Benih, salah satu titik krusial keberhasilan swasembada pangan. Karena itu, sudah saatnya kita mengadopsi benih-benih transgenik, tanpa harus menciptakan ketergantungan pada perusahaan-perusahaan multinasional dalam aplikasi benih tersebut.
Syatrya Utama, Syafnijal Datuk Sinaro (Kontributor Lampung)