Rabu, 10 Juni 2009

Haruskah Peternakan Rakyat Dikorbankan?

Dalam jangka pendek, impor memang diperlukan. Namun dalam jangka panjang, lebih baik mengembangkan industri peternakan sapi potong di dalam negeri.

Banyak negara, termasuk Indonesia, menganut kebijakan ketahanan pangan (food security) yang bermuara pada kedaulatan negara dan kesejahteraan masyarakat. Dengan menganut kebijakan ini, menurut UU No. 7 Tahun 1996, kita bisa berdaulat atas pangan apabila kita bisa memenuhi sendiri pangan, termasuk daging sapi, bagi kebutuhan rakyat.

Sebagai salah satu sumber protein hewani, menurut Yudi Guntara Noor, Ketua Umum Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), pada Rakornas Pangan Kadin, 29 Maret 2008, di Jakarta, konsumsi daging sapi sekitar 1,7 kg per kapita per tahun. Dengan  penduduk sekitar 230 juta, jumlah kebutuhan daging sapi sekitar 391 ribu ton per tahun.

Pemerintah bersama rakyat (para pengusaha berskala kecil, menengah, dan besar) saling membahu untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ditjen Peternakan, Deptan, mencanangkan Program Kecukupan Daging 2010, yang kemudian targetnya diundur 2014. Dengan swasembada, minimal 90% kebutuhan daging dipasok dari dalam negeri.

Pertumbuhan Permintaan

Salah satu tantangan swasembada daging sapi adalah pertumbuhan permintaan yang rata-rata 3,8% per tahun dalam satu dekade terakhir. Pertumbuhan ini sebagai pertanda daya beli meningkat dan masyarakat semakin sadar gizi, terutama di perkotaan.

Menurut penelitian Indonesia Research Strategic Analysis (IRSA), 2009, sekitar 70% atau 273.700 ton kebutuhan daging sapi dipasok peternakan sapi potong rakyat. Selebihnya, sekitar 17% atau 66.470 ton (setara 332.350 ekor sapi potong) dari industri penggemukan sapi secara modern (sapi bakalannya dari impor), dan 13% atau 50.830 ton berupa impor daging dan jeroan. Yang terakhir ini umumnya untuk industri pengolahan.

Menurut penelitian Indonesia Research Strategic Analysis (IRSA), 2009, sekitar 70% atau 273.700 ton kebutuhan daging sapi dipasok peternakan sapi potong rakyat. Selebihnya, sekitar 17% atau 66.470 ton (setara 332.350 ekor sapi potong) dari industri penggemukan sapi secara modern (sapi bakalannya dari impor), dan 13% atau 50.830 ton berupa impor daging dan jeroan. Yang terakhir ini umumnya untuk industri pengolahan.

Impor, menurut Dr. Rizal Edy Halim, 34, anggota tim peneliti IRSA, adalah alat untuk memenuhi kebutuhan domestik. “Impor merupakan tool untuk mengendalikan kebutuhan domestik,” kata dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) itu kepada AGRINA di kantornya di kampus FE-UI, Depok, Jabar (19/5).

Impor itu, menurut Siti Adiprigandari, Ph.D, 58, Ketua Tim Peneliti IRSA, merupakan solusi jangka pendek untuk mengatasi kesenjangan pasokan dan permintaan daging sapi. Solusi jangka panjangnya, bagaimana pemerintah mengembangkan industri peternakan domestik supaya mampu memenuhi kebutuhan daging sapi di dalam negeri.

Konsistensi kebijakan

Di sinilah persoalannya. Jika konsisten dengan kebijakan ketahanan pangan, termasuk sumber protein asal daging sapi, solusi jangka panjangnya adalah pemerintah menciptakan iklim kondusif bagi kemajuan industri peternakan sapi potong domestik.

Pilihan lainnya, kita melupakan kebijakan ketahanan pangan dan berpaling ke lain hati: liberalisasi dalam memenuhi kebutuhan pasar. Dengan menganut paham liberalisasi, kita membuka keran impor daging sapi selebar-lebarnya dan membiarkan industri peternakan sapi potong kita berdarah-darah merebut pangsa pasar di negerinya sendiri.

Liberalisasi itu kunci dasarnya adalah keunggulan kompetitif industri peternakan sapi potong. Tapi, sebagai negara, menurut Siti Adiprigandari, kita harus berpikir, apakah lapangan permainan dan tataran industri peternakan sapi potong kita sama dengan di luar negeri. “Kalau nggak, kita akan menjadi penerima produk-produk dari luar,” tukas Riga, demikian sapaan akrab dosen FE-UI itu.

Kalau suatu saat industri peternakan sapi potong kita hancur dan lebih dari 50% kebutuhan daging sapi kita dipasok dari impor, ini sangat membahayakan kedaulatan negara. “Ketahanan pangan itu nggak main-main. Bisa dijadikan senjata untuk menghancurkan suatu entitas negara (yang tidak memiliki ketahanan pangan),” tegas Riga.

Kita masih ingat kasus embargo senjata dilakukan Amerika Serikat sehingga peralatan militer kita kekurangan suku cadang karena kita sangat tergantung pada pasokan dari luar negeri. Dalam hal yang serupa, ketika kita tergantung pada daging sapi impor, bisa juga terjadi embargo. Dengan alasan politik, bisa saja eksportir dari luar negeri tidak mengirimkan dagingnya. “Dalam skenario, hal itu bisa saja terjadi,” lanjut Riga.

Lalu, seberapa penting kita harus mengembangkan industri peternakan sapi potong di dalam negeri? Sejauh mana industri tersebut mempengaruhi perekonomian nasional kita?

Keterkaitan Sektor

Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), yang mengacu pada International Standard Industrial Classification of All Economic Activity (ISIC), ada dua kelompok industri berbasis peternakan sapi potong. Yaitu ber-code 49 (industri daging, jeroan, dan sejenisnya) dan ber-code 50 (industri daging olahan dan awetan).

Menurut penelitian IRSA, industri daging, jeroan, dan sejenisnya ini berkaitan dengan 37 sektor hulu (kaitan ke belakang) dan 29 sektor hilir (kaitan ke depan). Sedangkan industri daging olahan dan awetan berkaitan dengan 37 sektor hulu dan 17 sektor hilir. Kalau kedua sektor ini terganggu, maka 66 sektor dan 54 sektor lainnya bakal terganggu.

Yang menarik, menurut Tabel Input-Output (I/O) BPS 2007 (atas dasar harga 2005), industri ber-code 49 memerlukan input (input antara seperti pakan konsentrat, hijauan makanan ternak, jagung dan sebagainya) sebanyak Rp23,0 triliun serta input primer seperti tenaga kerja, tanah, modal, dan sebagainya sekitar Rp16,2 triliun). Atau totalnya Rp39,2 triliun.

Sedangkan industri yang ber-code 50 memerlukan input (input antara seperti daging sapi) Rp762,9 miliar dan input primer Rp290 miliar. Atau totalnya Rp1,1 triliun.

Jadi, total input kedua kelompok industri itu (code 49 dan code 50) Rp40,3 triliun. “Kalau industri (peternakan) sapi potong kita hancur, maka nilai input sebesar Rp40,3 triliun itu juga akan hilang dari perekonomian nasional,” jelas Riga kepada AGRINA.

Pengaruhnya besar

Yang menarik, menurut lulusan Georgetown University, Amerika Serikat, itu adalah angka pengganda output industri peternakan sapi potong terhadap perekonomian nasional. Angka pengganda ini sebagai petunjuk untuk melihat perubahan permintaan suatu sektor, dalam hal ini industri peternakan sapi potong, terhadap total output nasional.

Menurut penelitian IRSA, angka pengganda output industri daging, jeroan, dan sejenisnya (code 49) adalah 1,89. Artinya, kalau permintaan terhadap industri ini meningkat Rp1, total output perekonomian nasional akan meningkat bukan Rp1, melainkan Rp1,89 (berada pada peringkat ke-39 dari 175 sektor berdasarkan KBLI).

Mengapa bisa demikian? Karena sektor daging memerlukan input dari sektor lain seperti padi, jagung, dan pakan, sehingga semua sektor terkait akan meningkat juga. Lalu, peningkatan permintaan terhadap padi dan jagung, misalnya, akan mendorong permintaan benih padi dan jagung, pupuk, pestisida, dan sebagainya. Begitu seterusnya. Jadi, peningkatannya berganda sehingga dikenal dengan istilah angka pengganda output.

Sedangkan angka pengganda output industri daging olahan dan awetan (code 50) jauh lebih tinggi lagi, yaitu 2,35 (peringkat pertama dari 175 sektor berdasarkan KBLI). Artinya, setiap peningkatan permintaan terhadap industri daging olahan dan awetan sebesar Rp1, maka total output (perekonomian) nasional meningkat Rp2,35.

Tingginya angka pengganda output kedua industri yang berbasis industri peternakan sapi potong itu menunjukkan, pengembangan industri tersebut sangat besar pengaruhnya bagi perekonomian nasional. Jadi, “Kalau industri peternakan sapi potong ini terganggu atau hilang, sangat merugikan. Sebaliknya, kalau bisa berkembang, maka pengaruhnya terhadap perekonomian nasional besar sekali. Sebab, kalau kita lihat proyeksinya, bisa memberikan sumbangan besar bagi perekonomian nasional,” simpul Riga.

Peternakan rakyat

Berdasarkan temuan tersebut, pembangunan industri peternakan sapi potong perlu mendapat perhatian serius. Apalagi, sekitar 70% kebutuhan daging sapi nasional dipasok peternakan rakyat dengan kepemilikan 2—3 ekor sapi potong per rumah tangga (RT). Menurut data Ditjen Peternakan (2003), jumlah RT peternakan sapi potong sekitar 4,57 juta. Bila jumlah anggota keluarga 4 orang per RT, maka jumlah orang yang menggantungkan hidupnya pada industri ini sekitar 18,28 juta jiwa.

Umumnya, peternak rakyat ini tinggal di pedesaan. Bayangkan kalau mereka kalah bersaing dengan daging impor atau peternakan mereka hancur karena terserang penyakit strategis, seperti penyakit mulut dan kuku, maka yang terjadi adalah proses pemiskinan di pedesaan. “Masak yang harus dientaskan kemiskinannya malah dimiskinkan,” sergah Riga.

Jadi, kebijakan ketahanan pangan merupakan upaya memenuhi kebutuhan pangan, termasuk daging sapi, dengan mengandalkan pasokan di dalam negeri. Impor hanyalah alat untuk memenuhi kekurangan pasokan dari dalam negeri, dan bersifat jangka pendek.

Dalam jangka panjang, mengingat besarnya potensi industri peternakan sapi potong bagi perekonomian nasional, pengembangan industri tersebut menjadi penting. “Kalau mata pemerintah ke arah kepentingan rakyat dan perekonomian Indonesia, maka yang harus dikembangkan industri peternakan (sapi potong) di dalam negeri,” saran Riga menyudahi wawancara.

Syatrya Utama

 

 

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain