Pahitnya daging impor tidak hanya dirasakan perusahaan feedlot, tetapi juga peternakan rakyat. Kalau dampaknya signifikan, pemerintah bisa mengenakan tarif impor.
Industri peternakan sapi potong memang unik. Untuk menghasilkan daging sapi dari anakan bisa memakan waktu dua tiga tahun. Dengan jarak antara kelahiran (calving interval) 12—15 bulan, berarti untuk menghasilkan sapi siap potong membutuhkan waktu empat tahun.
Selama rentang waktu empat tahun itu, banyak risiko yang dihadapi. Misalnya wabah penyakit yang bisa mencetuskan kematian terhadap sapi potong peliharaan, harga jual menurun ketika sapi (daging) siap jual, dan biaya pemeliharaan yang semakin meningkat.
Benahi Perbibitan
Berdasarkan risiko, industri sapi potong ini dikelompokkan ke dalam empat bidang usaha. Pertama, perbibitan (menghasilkan bibit unggul melalui seleksi atau persilangan). Kedua, pengembangbiakan (menghasilkan sapi anakan yang siap dibesarkan). Ketiga, pembesaran (membesarkan sapi anakan menjadi sapi bakalan). Keempat, penggemukan (menggemukkan sapi bakalan selama 60—100 hari untuk menghasilkan sapi siap dipotong).
Risiko tertinggi terdapat pada industri perbibitan. “Di situ pentingnya peranan pemerintah. Kalau pemerintah itu sabar dan mau berpikir jangka panjang, kebijakannya adalah membenahi dulu perbibitan untuk menghasilkan sapi bakalan,” kata Siti Adiprigandari, Ph.D, Ketua Tim Riset Indonesia Research Strategic Analysis (IRSA).
Salah satu program perbibitan adalah inseminasi buatan (IB). Sebaiknya, menurut Dr. Ir. Rochadi Tawaf, MS, Dosen Fakultas Peternakan Unpad, Bandung, perlu diubah dari IB menjadi kawin alami. Sebab, “Keberhasilan IB yang diukur dengan CR (conception rate atau tingkat kebuntingan) tertinggi baru mencapai 60%-70%, sedangkan dengan kawin alam bisa mencapai 98%,” tulis Rochadi, melalui surat elektronik (29/5).
Selama ini, peternakan rakyat, dengan skala usaha dua-tiga ekor per rumah tangga, menjalankan usaha perbibitan, pengembangbiakan, pembesaran, penggemukan, dan pemotongan di rumah potong hewan. Berdasarkan konsep tersebut, “Hampir 100% usaha perbibitan, (pengembangbiakan), dan pembesaran dilakukan peternakan rakyat,” imbuh Rochadi.
Selama ini usaha penggemukan diupayakan oleh peternakan rakyat (sapi bakalan lokal dan persilangan) dan perusahaan penggemukan modern (sebagian besar dari sapi bakalan impor). Sebenarnya, industri penggemukan modern ini lebih suka dengan sapi bakalan lokal, tapi selain tidak banyak, tingkat pertambahan bobotnya relatif rendah.
Bisa Bangkrut
Sekarang ini, kapasitas kandang industri penggemukan sapi secara modern (feedlot) sekitar 154 ribu ekor (kandang inti 85% dan plasma 15%). Dengan siklus usaha empat kali per tahun, maka jumlah sapi yang bisa diusahakan maksimal 616 ribu ekor per tahun.
Bagi industri penggemukan modern ini, derasnya daging impor (dari Australia) merupakan suatu ancaman. Dalihnya, saat ini terjadi distorsi harga di pasar. Harga daging impor, menurut Rochadi, sekitar Rp42.000 per kg, sedangkan yang ditawarkan feedlot sekitar Rp55.000 per kg. “Jika introduksi daging impor dari Australia ini terus berlanjut, tidak mustahil industri penggemukan sapi potong di Indonesia akan bangkrut,” ujarnya.
Peternakan rakyat juga merasakan pahitnya. Misalnya, ketika membeli sapi bakalan (berat 300 kg), Kristin Dwi Riawati, 43, peternak di Dusun Ranu Klindungan, Grati, Pasuruan, Jatim, harganya Rp25.500 per kg atau Rp7,65 juta per ekor. Setelah 6 bulan dipelihara, bobotnya menjadi 500 kg. Sekarang, saat harga daging turun, sapi hidupnya itu laku Rp23.500 per kg atau Rp11,75 juta per ekor. Setelah dipotong biaya bakalan dan pakan, Kristin hanya meraih margin Rp1,28 juta per ekor atau Rp363 ribu per bulan.
Kalau harga daging di dalam negeri terus tertekan karena murahnya daging impor, bukan mustahil keuntungan Kristin kian menipis, bahkan merugi. Jadi, “Distorsi harga daging sapi ini merugikan peternakan rakyat dan pengusaha feedlot,” tegas Rochadi yang juga Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI).
Menurut Ir. Teguh Boediyana, M.Sc., gara-gara krisis global ini, ekspor daging sapi Australia ke Jepang dan Amerika Serikat menurun. “Mereka harus membuangnya dengan harga murah,” kata Ketua Umum PPSKI itu kepada AGRINA, di Jakarta, (4/6). Tetapi, “Kalau dumping, kita berhak protes,” tegas Teguh yang juga Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) itu.
Memang saat ini, menurut Teguh, peternak sapi domestik masih bisa bertahan karena masyarakat lebih menyukai daging segar sehingga peternak lokal masih dapat meraih margin. “Beruntungnya, pasar masih prefer pada daging-daging segar. Kalau ada tawaran daging murah, tetapi beku, mereka nggak interest,” ungkapnya.
Meski begitu, kalau berdasarkan kajian yang mendalam, kondisi ini membahayakan peternakan rakyat, yang sebenarnya merupakan tulang punggung industri peternakan sapi potong. Pemerintah perlu bertindak. “Untuk melindungi tulang punggung (maksudnya peternakan rakyat), kalau dampaknya signifikan, pemerintah bisa mengenakan tarif (bea masuk terhadap daging impor sampai 5%), sehingga tidak terjadi distorsi harga,” saran Teguh.
Pada 1985, sambung Teguh, pemerintah sudah menegaskan, industri sapi potong lokal (peternakan rakyat) sebagai tulang punggung, sapi bakalan impor sebagai pendukung, dan impor daging sebagai penyambung. Sebagai tulang punggung, supaya tetap bisa berdiri dengan kokoh, haruslah tetap sehat. “Inilah pertaruhannya. (Jangan sampai) tulang punggung itu termakan penyakit, katakanlah osteoporosis (keropos tulang),” tambah lulusan Fapet UGM ini.
Apalagi, bagi rakyat, sapi itu tidak sekadar bernilai ekonomis, tetapi juga bernilai sosial. Di pedesaan, selain sebagai tabungan, sapi pun bisa meningkatkan status sosial pemiliknya. Sang peternak bisa dianggap sebagai rojokoyo (rajakaya). “Walau sapi itu tidur serumah dengan pemiliknya, tapi itu merupakan harta yang luar biasa,” kata Teguh.
Karena itu, menurut kelahiran Purwokerto 7 Mei 1951 ini, jangan sampai impor merusak status sosial peternak rakyat, meski impor tidak bisa ditahan. Apalagi untuk menghasilkan sapi siap potong makan waktu lama dengan segala risikonya. Teguh sungguh menyayangkan, “tulang punggung” itu dianggap remeh.
Syatrya Utama dan Indah Retno Palupi