Rabu, 10 Juni 2009

Dari Lampu Kuning ke Merah

Kuncinya adalah pengembangan perbibitan dan pengembangbiakan untuk meningkatkan populasi sapi lokal.

Impor memang diperlukan untuk menutupi kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri. “Impor sapi hidup dan daging sapi tidak bisa ditahan,” kata Dr. Ir. Rochadi Tawaf, MS, Dosen Fakultas Peternakan Unpad, Bandung, melalui surat elektronik Jumat (28/5) kepada AGRINA.

Menurut Tim Peneliti IRSA, ada pola sederhana mendeteksi impor. Pertama, kalau yang diimpor semen beku dan transfer embrio, berarti pembangunan peternakan sapi potong lokal masih prospektif. Kedua, jika yang diimpor sapi betina bibit, berarti gejala  bibit sapi betina lokal mulai berkurang dan tingkat produksinya di bawah permintaan.

Ketiga, bila yang diimpor sapi bakalan untuk industri penggemukan berarti pasokan daging sapi di dalam negeri sudah lampu kuning. Sebab, ketersediaan sapi bakalan lokal sudah tidak bisa lagi diandalkan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di dalam negeri.

Keempat, jika volume impor sapi siap potong dan daging (karkas, tanpa tulang dan sebagainya) makin meningkat, berarti peternakan sapi potong domestik dalam kondisi lampu merah. Sebab, tanpa kehadiran sapi dan daging impor, pengurasan populasi sapi lokal akan sangat cepat. Hal ini karena peningkatan permintaan daging sapi yang sangat kuat tidak bisa diimbangi dengan peningkatan kelahiran dan produksi sapi potong lokal.

Menurut Rochadi Tawaf, pada 1998 impor sapi hidup (bakalan) sekitar 37.000 ekor dan daging 5.000 ton. Namun, tahun lalu, impor sapi bakalan sekitar 680 ribu ekor dan daging 75.000 ton. “Perkembangannya sangat spektakuler,” tulis Rochadi, juga pengurus Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI). Apakah peternakan sapi potong kita benar-benar sudah dalam kondisi lampu merah?

Semestinya, menurut Rochadi, semakin tingginya impor sapi bakalan, populasi sapi lokal meningkat. Apalagi, berat hidup sapi impor yang dipotong sekitar 450 kg per ekor. Kenyataannya dalam 10 tahun terakhir populasi sapi turun 1% per tahun. Ada dua kemungkinan. Pertama, data populasi sapi lokal perlu ditinjau ulang. Kedua, daya beli konsumen meningkat melebihi kemampuan peningkatan populasi sapi potong.

Agaknya sudah terjadi pengurasan populasi sapi potong lokal. “Saya kira indikasinya ke arah itu. Misalnya, sapi dari NTB dan Jawa Timur sudah mulai berkurang dipasarkan ke Jawa Barat dan Jakarta. Bahkan sapi impor di Jawa Barat mulai dipasarkan ke Jawa Tengah. Pemotongan sapi di Sumatera sudah mulai didominasi oleh sapi impor,” katanya.

Menurut data Ditjen Peternakan, populasi sapi lokal sekitar 11,4 juta ekor. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, lebih 1,7 juta ekor per tahun yang dipotong. Jika tidak diimbangi impor sapi bakalan dan daging serta peningkatan produktivitas sapi potong lokal, maka lambat laun populasi sapi potong kita bakal punah.

Untuk itu, kata kuncinya, pengembangan perbibitan (menghasilkan bibit sapi unggul) dan pengembangbiakan (menghasilkan anak sapi) untuk meningkatkan populasi. Selama ini, hampir 70% peternakan rakyat telah melaksanakan perbibitan dan pengembangbiakan.

Misalnya, pemerintah telah menetapkan village breeding centre (VBC), tapi belum ada insentif, seperti bebas pajak (PBB, PPh, PPN) dan fasilitas kredit perbankan berbunga di bawah 5% (seperti di Brasil). Padahal risiko industri perbibitan sapi relatif tinggi. Di industri perbibitan, peternak menunggu sekitar satu tahun untuk menghasilkan anak lepas sapih, perputaran modalnya lambat, dan menghadapi risiko kematian yang tinggi (sekitar 5% pada skala peternakan rakyat). Jadi, “Risiko pada industri perbibitan itu tinggi,” tegasnya.

Syatrya Utama

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain