Senin, 19 Januari 2009

GMO dan Kepentingan Nasional

Kalau tidak lebih banyak alasan positifnya, mana boleh produk rekayasa genetik begitu meluas pemakaiannya di dunia. Pada 1996, tanaman pangan rekayasa genetik baru ditanam pada sekitar 4 juta ha lahan. Namun data Juni 2000 menunjukkan, tanaman GMO telah terhampar pada lebih dari 100 juta ha. Dalam waktu empat tahun saja, luas arealnya meningkat 25 kali lipat  (F.G. Winarno di Republika, 30 Maret 2002).

Pada 2006, sudah 22 negara dan 10,5 juta petani mengadopsi transgenik. Ada kedelai, jagung, kapas, kanola, alfalfa, dan ubi jalar tahan hama. Ada beras mengandung zat besi dan vitamin untuk menanggulangi malnutrisi. Ada tanaman transgenik yang tahan cuaca ekstrem. Sapi bisa resisten terhadap penyakit sapi gila, buah-buahan lebih cepat ranum dan kesegarannya bertahan lama. 

Komersialisasi bioteknologi pertanian selama 11 tahun (1995—2006) di seantero dunia menghasilkan pengurangan 286 juta kg pestisida dan menekan dampak lingkungannya sampai 15,4%. Emisi karbon (2006) berkurang 14,8 miliar kg CO2 setara gas buang 6,6 juta kendaraan. Penghasilan pertanian dunia meningkat US$33,8 miliar. Pada 2006 keuntungan bersih pertanian mencapai US$6,9 miliar. Pendapatan petani negara berkembang naik 53%. Perhitungan ini diambil dari penghematan pestisida, waktu, dan ongkos produksi, penurunan dampak rumah kaca, peningkatan produksi dan pendapatan petani (Graham Brookes, PG Economics UK).

Di Indonesia, penelitian CARE-LPPM IPB menunjukkan, pengembangan jagung transgenik memberi keuntungan potensial secara nasional hampir Rp7 triliun per tahun. Meski penggunaan benih transgenik menyebabkan penurunan harga jagung, tapi dengan naiknya produktivitas dan penghematan biaya produksi, keuntungan petani akan jauh lebih besar.

Tanpa kita sadari sebenarnya makanan kesukaan kita berasal dari tanaman transgenik, atau Genetically Modified Food (GMF) dan Genetically Modified Organism (GMO). Tempe dan tahu berasal dari kedelai transgenik. Apalagi makanan populer dari Barat seperti pizza, french fries, dan es krim. Sebenarnya produk rekayasa genetik itu memberi mutu dan citarasa lebih baik, menambah nutrisi, lebih ramah lingkungan, minim pestisida, menjamin tanah lebih terawat, hemat air dan energi. Paling utama, karena lebih efisien dan tanamannya sehat menjamin ketersediaan pangan berkelanjutan.

Jadi, apa yang salah dengan GMO itu? Semua yang dikhawatirkan tentangnya masih dengan imbuhan “berpotensi” atau meminjam istilah FG Winarno masih pada tingkat “kalau-kalau” atau “jika membahayakan”. Berpotensi menimbulkan alergi, membuat kebal terhadap antibiotik (karena tanaman dan hewan mengandung antibiotik), berpotensi memusnahkan keanekaragaman hayati flora dan fauna asli. Namun, Hendarsih, peneliti hama dan penyakit tanaman di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi mengatakan sejauh ini belum ada bukti ilmiah yang sahih tentang isu negatif GMO. Jadi, manfaatnya mungkin jauh lebih besar daripada kerugiannya.

Yang sudah jelas, semua GMO itu didatangkan dari negara-negara maju dan diproduksi perusahaan raksasa multinasional. Bahayanya adalah negara-negara berkembang termasuk Indonesia akan sangat bergantung pada asing. Yang juga dikhawatirkan, kita cuma jadi tempat penelitian dan pasar dari produk hasil penelitian itu. Apalagi kalau sampai terjadi biopiracy terhadap genom/organisme asli di sini, lalu hak patennya dikuasai perusahaan luar negeri.

Kita meratifikasi Protokol Cartagena, kita juga memiliki PP tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, juga Komisi Keamanan Hayati (belum terbentuk, tapi fungsinya diemban oleh komisi yang lama, Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan). Sudah ada Tim Teknis Keamanan Hayati dan Pangan serta Balai Kliring Keamanan Hayati. Dalam masyarakat internasional juga ada Codex FAO dan WHO tentang prinsip-prinsip analisis risiko pangan transgenik terhadap kesehatan manusia. Tapi itu semua untuk membentengi sesuatu negara terhadap “ancaman dari luar”.

Maka baik kita kutipkan peringatan dari Sekjen HKTI Rachmat Pambudy, tidak mungkin agribisnis mengalami modernisasi tanpa didukung kemampuan kuat bioteknologi. Bioteknologi - termasuk GMO - adalah untuk kepentingan nasional, mendukung pembangunan dan kemandirian, bukan ketergantungan pada negara lain.

Daud Sinjal

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain