Bisnis udang masih terganjal kendala teknis. Ditambah lagi, sejumlah peraturan pemerintah dianggap memberatkan pelaku usaha.
Posisi udang sebagai komoditas andalan ekspor sulit dibantah. Berdasar catatan Iwan Sutanto, Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI), dari seluruh produksi udang nasional, sekitar 85%-nya diekspor. Negara tujuan utamanya adalah Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa (UE).
Menurut Made L. Nurjana, Dirjen Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), nilai ekspor udang tahun lalu menembus US$779,8 juta. Jumlah ini menyumbang 34% dari total nilai ekspor produk perikanan 2007 yang mencapai US$2,3 miliar. Made menambahkan, total volume ekspor udang pada 2007 sebanyak 125.596 ton, turun 10% dari tahun sebelumnya. Dari jumlah ini, 87.917 ton atau 70% di antaranya udang hasil budidaya.
Seharusnya Bisa Didongkrak
Salah satu penyebab turunnya volume ekspor itu adalah ketatnya peraturan yang diterapkan sejumlah negara tujuan ekspor. Uni Eropa misalnya, sejak Maret 2006 menerapkan Rapid Alert System (RAS). Sebab, mereka tidak percaya terhadap kualitas produk perikanan dari negara kita. Peraturan bernama Commission Decision 236 itu diterapkan menyusul ditemukannya residu antibiotik dan logam berat merkuri (air raksa) pada sejumlah produk perikanan (termasuk udang) yang dikirim dari Indonesia. Sejak Maret 2006 itulah setiap kontainer yang masuk ke UE harus diperiksa. Sepanjang 2007, UE menemukan 12 kasus. Bahkan, kurun Januari—Februari tahun ini, UE masih menemukan satu kasus, yakni kandungan merkuri pada produk udang windu beku.
Pun pasar China. Pada Agustus 2007, Negara Tirai Bambu itu mengeluarkan kebijakan larangan sementara selama enam bulan terhadap impor produk perikanan dari tanah air. Padahal, kurun 2001—2006, China mengimpor cukup besar. Selama kurun lima tahun tersebut, ekspor ke China meningkat rata-rata 52%. Pada 2006, volume ekspor Indonesia sebanyak 109.337,7 ton.
Demikian pula Jepang. Negara Sakura itu begitu ketat menerapkan standar mutu terhadap produk udang impor. Akibatnya, menurut Johan Suryadarma, Ketua Asosiasi Pengusaha Cold Storage Indonesia (APCI), sepanjang 2007 sekitar 50 kontainer produk perikanan asal Indonesia ditolak, terutama udang, karena terdeteksi mengandung residu antibiotik.
Johan menambahkan, dengan dibukanya kembali kran ekspor oleh China dan penandatanganan kesepakatan kemitraan (Economic Partnership Agreement) antara Indonesia-Jepang, semestinya bisnis udang sudah bisa lepas landas (take off). Namun untuk memperbaiki kinerja perudangan, masih banyak hambatan yang harus diselesaikan pemerintah maupun pelaku usaha.
Keuntungan Tipis
Daru Katoro, Head of Sales Unit Sidoarjo, PT Suri Tani Pemuka (STP), industri perudangan terintegrasi Grup Japfa, berpendapat, kendala yang masih mengganjal dalam pengembangan agribisnis perudangan adalah masalah energi terutama listrik dan solar, serta pengadaan benur berkualitas.
Iwan menambahkan, harga solar sudah tidak ekonomis, hampir Rp8.000/liter. Padahal, untuk memproduksi 1 kg udang diperlukan 1,2 liter solar. BBM itu harus dibeli dengan harga industri yang setiap bulan direvisi Pertamina sesuai fluktuasi harga minyak di pasar internasional.
Ditambah lagi harga pakan di tingkat petambak naik 20%. Alhasil, petambak menghadapi tekanan berat karena biaya produksi melonjak. Sementara harga udang cenderung turun. “Dengan harga udang Rp33 ribu per kg (size 60), keuntungan yang dinikmati petambak tinggal Rp1.000—Rp2.000 per kg,” hitung Daru.
Hal senada diutarakan Purnomo, GM Marketing PT Matahari Sakti, produsen pakan udang di Surabaya. Menurut dia, dibandingkan 2007, bisnis udang tahun ini makin berat. Penyebabnya antara lain, ekonomi nasional masih terpuruk sehingga berimbas pada bisnis perudangan. Sementara harga udang tidak menentu lantaran biaya produksi terus naik.
Dengan mengurangi padat tebar, produktivitas tambak menurun. Menurut Sidiq Rachmanto, Manajer Tambak PT Charoen Pokphand di Probolinggo, Jatim, produktivitas tambak sekarang sekitar 18—20 ton/ha (Vanname). Padahal sebelumnya, bisa 25—40 ton/ha. Sementara pengakuan Iwan di Lampung, produktivitas tambak intensif Vanname sekarang berkisar 15—16 ton/ha, size 60.
Bergelut dengan Penyakit
Sampai sekarang, petambak juga masih bergelut dengan kematian udang akibat memburuknya lingkungan tambak sehingga banyak terserang berbagai penyakit. Seperti bercak putih akibat virus White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV).
Padahal, ketika Vanname masuk secara ilegal pada 1999 yang kemudian dilepas pemerintah pada 2001, para ahli udang di DKP menjamin, udang introduksi itu tahan berbagai penyakit. Kenyataannya, tak sampai dua tahun setelah dilepas, koleksi penyakit udang di tanah air bertambah dengan kehadiran TSV. Dan pada 2006, jumlah penyakit bertambah lagi dengan ditemukannya IMNV. Penyakit ini pertama kali menyerang Vanname di pertambakan Situbondo, Jatim.
Akibat serbuan berbagai penyakit, menurut Purnomo, produktivitas tambak turun. Kelangsungan hidup udang (survival rate- SR) hanya 60%—70%. Padahal sebelumnya di atas 80%.
Produktivitas Vanname yang tidak optimal menjadi tanda tanya besar. Akankah mengulang kesalahan yang sama seperti terjadi pada udang windu?
Terlepas dari jenis udang yang diusahakan, tampaknya sangat diperlukan langkah manajemen budidaya yang lebih konkret dan terkendali. Mengingat di lapangan, penerapan kontrol kualitas termasuk biosekuriti, amat sulit. Bisa saja karena pengetahuan para petambak yang belum seragam. Atau, fasilitas dari pemerintah yang belum optimal.
Rizal I. Shahab, Corporate Communication Director, PT Central Proteinaprima Tbk., industri perudangan terintegrasi Grup Charoen Pokphand, menyarankan, dalam konteks budidaya udang, perlu menerapkan good aquaculture practices (GAP). Sehingga, perlakuan menjadi efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Hasilnya pun berdaya saing.
Ketersediaan benur Specific Pathogen Free (SPF) dan Specific Pathogen Resistent (SPR), menjadi keharusan dalam GAP untuk menekan serbuan penyakit. Namun, ucap Shidiq Moeslim, Ketua Komisi Udang
Masih Ada Peluang
Persoalan lain yang juga ikut menghambat peningkatan produksi udang budidaya adalah permodalan. Hingga kini dukungan perbankan terhadap agribisnis udang masih minim. Padahal, menurut Iwan, jika mendapat dukungan perbankan, para pengusaha tambak intensif akan berlomba untuk ekstensifikasi. Sebab potensi lahan lahan belum digarap masih luas.
Potensi lahan tambak udang sekitar 1,2 juta hektar (ha). Namun baru dimanfaatkan sekitar 350 ribu ha. Dari jumlah itu, petambak tradisional menguasai 75%. Sisanya dikuasai petambak semiintensif dan intensif.
Made mengakui, perikanan budidaya terhalang masalah permodalan, terutama bagi usaha skala kecil karena perbankan sulit mengucurkan bantuan dana. Oleh sebab itu, DKP tengah bekerja sama dengan Menko Kesra untuk mengupayakan bantuan permodalan bagi usaha kecil.
Menurut Denny D. Indradjaja, Satgas Revitalisasi Perikanan Budidaya, DKP, pada 2006 pemerintah memberikan fasilitas dana penguatan modal (DPM). Namun, tahun lalu dihentikan dan diganti oleh asuransi kredit Indonesia (Askrindo) yang salah satu pemegang sahamnya adalah Bank Indonesia.
Andai program revitalisasi perikanan budidaya berjalan mulus, menurut Shidiq Moeslim, peluang bisnis udang sangat terbuka, baik untuk memenuhi pasar lokal maupun ekspor. Dengan rata-rata produksi 320 ribu ton/tahun, imbuh dia, untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan udang saja masih kurang.
Industri pengolahan udang hanya 52% yang beroperasi lantaran kekurangan bahan
Dadang WI, Enny PT, Yan Suhendar, Syafnijal, Evi D. Hadi, One Sucahyo