Selasa, 4 Maret 2008

Kualitas Digarap Pasar Makin Terbuka

Beberapa negara tujuan ekspor menerapkan standar mutu yang lebih ketat. Ditambah lagi, produksi udang dari negara pesaing melimpah.

Itulah alasan utama menurunnya volume ekspor udang nasional tahun lalu. Semakin ketat setelah diterapkannya standar mutu oleh beberapa negara tujuan ekspor, seperti Jepang, Uni Eropa (UE), China, dan Amerika Serikat (AS) menjadi biang keladinya..

Kurang Kompetitif

Sampai saat ini, pasar ekspor utama udang nasional adalah AS, Jepang, dan UE. Berdasar catatan National Marine Fisheries Service (NMFS), agen federal di Departement of Commerce Amerika Serikat, kurun 2003—2007 AS mengimpor udang dari Indonesia antara 22 ribu—59 ribu ton/tahun. 

Setiap tahun, ekspor udang ke AS terus meningkat. Menurut NMFS, tahun lalu AS mengimpor 59.069 ton produk udang dari Indonesia, naik 340 ton dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, jumlah ekspor pada 2007 itu baru memenuhi 10,6% dari total impor udang AS yang mencapai 556.936 ton.

Ekspor Indonesia kalah jauh dibandingkan Thailand. Dalam lima tahun terakhir, negara Gajah Putih itu memasok 133 ribu ton—194 ribu ton per tahun. Tahun lalu saja, Thailand mengekspor 188.319 ton, atau 33,8% dari volume impor udang AS.

Sementara ekspor Indonesia ke Jepang, dalam lima tahun terakhir, volumenya terus merosot. Pada 2003, jumlah produk udang yang diekspor sudah mencapai 52.367 ton. Jumlah ini jauh di atas Thailand maupun Vietnam. Dua tahun kemudian, jumlah yang diekspor turun menjadi 45.574 ton. Tahun lalu, volumenya kembali merosot, hanya 37.080 ton. Dalam empat tahun terakhir posisi Indonesia sudah disalip Vietnam.

Menurut Shidiq Moeslim, Ketua Komisi Udang Indonesia (KUI), permintaan Jepang terhadap udang pada 2007 turun sekitar 20%. Penyebabnya, ada perubahan pola konsumsi anak muda di sana yang banyak beralih ke fast food (makanan siap saji), seperti hamburger dan ayam goreng. Tahun lalu, menurut NMFS, Jepang hanya mengimpor 207.257 ton produk udang dari 52 negara, turun 22.695 ton dari tahun sebelumnya.

Iwan Sutanto, Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI), menegaskan, produk udang asal Indonesia di Jepang kalah kompetitif ketimbang Thailand maupun Vietnam. Hal itu tampak dari selisih harga udang beku tanpa kepala yang mencapai 20 sen dollar AS/kg. Kurang kompetitif itu lantaran penguasaan teknologi oleh petambak masih rendah.

Bisa Membaik

Sejatinya, volume ekspor udang bisa didongkrak. Apalagi Jepang memberi fasilitas bebas bea masuk (BM) untuk produk perikanan, menyusul kesepakatan Economic Partnership Agreement (EPA) antara Indonesia-Jepang pada Agustus 2007. Sementara Thailand dan Vietnam masih dibebani BM 5%—10%.

Demikian juga China, pada 3 Februari lalu secara resmi mencabut larangan sementara impor produk perikanan dari Indonesia. Martani Huseini, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, menyebutkan, nilai ekspor produk olahan perikanan Indonesia ke China sekitar Rp555 miliar/tahun. Dengan kembali dibuka kran impor itu, Martani optimis nilai ekspor produk olahan perikanan akan naik hingga Rp2,8 triliun pada 2010.

Menyusul China, menurut Martani, UE pun menyatakan kepuasan mereka atas produk perikanan asal Indonesia. Oleh sebab itu, prospek bisnis perikanan, khususnya udang, sangat cerah. Shidiq menambahkan, tahun lalu saja, permintaan AS terhadap udang naik 10%, UE 5%, dan China 5%.

Menurut Iwan, peluang itu bisa digarap dengan meningkatkan produktivitas, khususnya tambak tradisional dari 0,5—0,8 ton menjadi 1—2  ton/tahun. Biaya produksi juga harus bisa ditekan supaya harga lebih bersaing.

Dadang, Yan, Selamet

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain