Sentra hortikultura tersebar di 23 provinsi. Rencananya, 32 dari 66 sentra yang ada bakal dikembangkan pemerintah menjadi kawasan terintegrasi.
Kawasan sentra sayuran terbentuk lantaran agroklimat suatu daerah memang cocok untuk berbisnis sayuran. Tidak diketahui jelas kapan dan melalui apa terbentuknya suatu kawasan tersebut. Yang jelas, aktivitas bisnis hortikultura sayuran di suatu kawasan yang terintegrasi akan membuat usaha petani semakin maju dan kesejahteraannya meningkat.
Atas dasar pemikiran itu, Ditjen Hortikultura, Deptan, mencanangkan program pengembangan hortikultura berbasis kawasan yang sebenarnya. Menurut Dirjen Hortikultura Ahmad Dimyati, kawasan agribisnis hortikultura merupakan suatu ruang yang dipagari batas ekosistem dan disatukan oleh fasilitas infrastruktur ekonomi yang sama. Sehingga membentuk kawasan yang berisi berbagai usaha berbasis hortikultura, mulai dari penyediaan sarana produksi, budidaya, penanganan dan pengolahan pascapanen, pemasaran, serta kegiatan pendukung lainnya.
Mendongkrak Produksi
Kawasan agribisnis sayuran yang sudah terbentuk secara alamiah di antaranya adalah Lembang dan Pangalengan di Bandung, Jabar, dengan komoditas utama kentang, paprika, kubis, wortel, buncis, dan tomat. Sementara Berastagi di Karo, Sumut, menghasilkan kentang, kubis, tomat, kembang kol, buncis, dan cabai. Di Jateng ada Dieng di Wonosobo dan Banjarnegara, dengan komoditas unggulannya kentang, serta Brebes untuk bawang merah.
Dimyati menjelaskan, pengembangan kawasan sayuran dapat dilihat di Lembang. Di sana terdapat berbagai infrastruktur sayuran dan tanaman hias berupa gudang pengepakan, bank untuk permodalan petani, komponen penyuluhan, dan kelembagaan organisasi petani. Akses teknologi pun lebih mudah karena terdapat balai penelitian dan pengkajian. Infrastrukturnya memang ada yang sudah tertata, tapi ada yang belum. Untuk itu, pemerintah akan lebih mengembangkan lagi pembangunan yang berbasis kawasan hortikultura dengan lebih terarah, terfokus, dan terintegrasi.
Semakin berkembangnya kawasan tersebut diharapkan bisa mendongkrak produksi sayuran. Muchjidin Rachmat, Direktur Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, Ditjen Hortikultura, mengatakan, sasaran produksi sayuran 2008 ditargetkan naik 9,99% dari produksi 2007 yang mencapai 9,997 juta ton. Salah satu pencapaiannya dengan menumbuhkan dan memantapkan kawasan sayuran. Misalnya, untuk peningkatan produksi kentang, pemerintah mengembangkan kawasan baru di Kerinci, Jambi dan Minahasa selatan. Ini untuk menambah yang selama ini dari Jatim, Jateng, dan Jabar. Sedangkan, bawang merah yang biasanya dari Brebes dan Cirebon, akan ada pengembangan kawasan baru di Nganjuk dan Probolinggo (Jatim), Yogyakarta, serta Papua.
Satu Kesatuan
Masih menurut Muchjidin, keterpaduan antara hulu dan hilir agribisnis dengan infrastrukturnya dalam satu layanan, mulai dari penyediaan benih, transfer teknologi benih dan budidaya, distribusi pupuk, pemasaran hasil, dengan pemerintah baik pusat maupun daerah membangunkan terminal agribisnis, akan membuat kawasan sayuran semakin berkembang.
Karya Bakti Surbakti, petani tomat dan kubis di Desa Peceren, Kec. Berastagi, Karo-Sumut, mengaku, petani sayuran di daerahnya dalam memasarkan hasil produksinya tidak terkendala karena sudah tersedia pajak (pasar) sayuran di pusat kota Berastagi. Di sanalah setiap hari hasil panen petani dikumpulkan pedagang pengumpul sebelum dibeli lagi oleh pedagang antarprovinsi. Sekitar pukul dua tiga siang, pasar tersebut ramai oleh petani yang membawa hasil panen. Di pasar sudah ditunggu pedagang penampung yang jumlahnya ratusan.
Demikian pula dirasakan Iwan Yana, petani dan penangkar benih kentang di Pangalengan, Bandung Selatan. Ia tidak sulit memasarkan kentangnya karena sudah ada industri pengolahan kentang melalui agen penjualan di pasar yang bersedia menampung. Apalagi, sarana jalan di kawasan itu sudah cukup baik sehingga mudah terjangkau.
Rencana Ditjen Hortikultura disambut baik oleh Ir. Bintara Thahir, Kepala Dinas Pertanian, Sumut. Menurut Bintara, Berastagi dan Danau Toba akan dijadikan sentra pengembangan yang terintegrasi mulai on farm hingga ke hilir supaya dapat memenuhi pasokan lokal maupun ekspor.
Muchjidin Rachmat menyarankan, agar kawasan sayuran benar-benar lebih berkembang dibutuhkan konsolidasi wilayah yang memiliki keunggulan komoditas sayuran. “Untuk sayuran tidak terlalu luas. Misalnya kentang bisa saja hanya satu kabupaten di Bandung Selatan atau Garut karena di sana memang agroekosistemnya cocok. Sementara untuk bawang agak sedikit lebih luas, bisa dikembangkan di kawasan Cirebon, Tegal, Brebes, Kuningan, sampai Majalengka,” jelasnya.
Dari sisi pelaku bisnis, Afrizal Gindow, Direktur Pemasaran PT East West Seed, produsen benih sayuran di Purwakarta, Jabar, berpendapat, konsep pembangunan kawasan sayuran sebenarnya sangat baik. Dengan cara ini bisa dipecahkan masalah kelebihan pasokan sehingga harga bisa stabil. Sentra sayuran berbasis kawasan bisa terwujud bila petani merasakan ada manfaat. Misalnya, harga jual produk mereka lebih baik, dan tidak adanya sistem percaloan dalam perdagangannya.
Yan Suhendar, Selamet Riyanto, Dadang
Pembangunan Subterminal Agribisnis Sewukan dan Ngablak oleh Pemkab Magelang mampu meningkatkan harkat petani sayuran di wilayah agro Merapi-Merbabu sebagai penentu harga. Subterminal Agribisnis (STA) itu menjadi wahana baru bagi petani untuk berhadapan langsung dengan ratusan pedagang sayuran sehingga harga jual produknya bisa bersaing. Di STA ini juga terdapat kios-kios sarana produksi pertanian, lembaga keuangan untuk penguatan modal seperti bank dan BMT, serta pembuatan kompos dari sisa barang dagangan untuk sekaligus memproduksi pupuk organik. Menurut Ir. Priyantoro, Kepala Dinas Pertanian Magelang, keberadaan dua STA tersebut merupakan penyangga kawasan agropolitan Merapi-Merbabu yang seluas 32 ha lebih. Selain membantu fasilitas STA, pemerintah juga memperbaiki infrastruktur transportasi antarwilayah, memfasilitasi pendirian koperasi para pelaku usaha STA, dan bantuan benih. “Agropolitan adalah sentra agribisnis terpilih sebagai kota pertanian. Jadi, di sana harus ada pasar, perbankan, jalan yang baik, koperasi dan sebagainya sehingga petani tidak perlu ke kota. Kita dekatkan petani dengan pasar. Di agropolitan Merapi-Merbabu ini unggulannya tomat, kubis, bunga kol, cabai, dan buncis,” ungkap Priyantoro. Adanya kawasan agropolitan mempermudah perluasan pasar. Misalnya, melalui kerjasama pemda dengan pemda, komoditas sayuran Magelang dapat menyeberang ke Pangkalpinang, Pontianak, dan Banjarmasin. “Saat ini kita baru bisa kirim 3 kali seminggu masing-masing 20 ton karena untuk memenuhi lokal saja masih kurang. Kita menaruh wakil kelompok tani kita di kios sana sebagai penerima. Jadi, perdagangannya enak,” tambah Priyantoro STA Sewukan STA Sewukan merupakan pengembangan pasar sayuran Soka yang didirikan di atas tanah bengkok oleh H. Riswanto Sudiyono, selaku kepala desa pada 2000. Sudiyono dulu melihat warganya yang petani sayuran didikte oleh hanya 4—6 orang pedagang di Pasar Talun, Kec. Dukun, Magelang. Sudiyono mempromosikan Pasar Soka dengan cara menempelkan selebaran pada mobil niaga di pasar-pasar besar, seperti Johar Semarang, Shopping Yogyakarta, dan Jakarta. Dari situlah para pedagang besar dari luar kota berdatangan ke Pasar Soka. Kini ada 200 pedagang yang memiliki kartu anggota beraktivitas di STA Sewukan. Hal ini membuat petani lebih mempunyai posisi sebagai penentu harga. Terlebih lagi komoditas sayuran di pasar ini adalah sayuran segar lantaran dekatnya jarak pasar dengan petani. “Keunggulan pasar ini adalah produknya selalu segar dan tidak ada preman yang mengganggu pedagang atau petani,” tandas Sudiyono. Adanya STA memperpendek rantai pemasaran karena para pengepul akhirnya menjadi pedagang biasa. Pendapatan petani pun meningkat. Urbanisasi berkurang. Gairah bertanam sayuran meningkat. Pengelolaan STA Sewukan sendiri dipegang pemerintah desa. Selain memberikan kontribusi bagi kas desa, STA juga lebih cepat berkembang karena selaras dengan kemauan masyarakat. Menurut Surame Hadi Sutikno, Ketua Paguyuban Petani Merbabu (PPM) yang juga Kepala Desa Tejosari, untuk kawasan agropolitan sebaiknya STA-nya memang dikelola pemerintah desa agar warga mempunyai rasa memiliki dan dapat berbuat cepat jika pasar memerlukan pembenahan. STA Sewukan berdiri di atas lahan seluas 9.310 m2 dengan 108 kios dan 56 los. Volume perdagangan sayuran rata-rata 200 ton per hari yang diangkut 80—100 unit mobil. Omzetnya tak kurang dari Rp200 juta per hari. Petani penjual berasal dari sekitar Magelang dan Dieng (Wonosobo). Sedangkan para pedagang berasal dari Magetan, Solo, Klaten, Yogyakarta, Boyolali, Semarang, Bogor, Jakarta, dan Purwokerto. Faiz Faza (Yogyakarta)
Pembangunan STA Angkat Harkat Petani