Kawasan hortikultura membuka peluang bisnis besar. Bukan hanya petani, tapi juga investor, terutama produsen benih.
Suatu kawasan hortikultura terdiri suatu kesatuan agroekosistem yang dihubungkan oleh prasarana sehingga akan memberi kemudahan dalam penyediaan sarana produksi, pascapanen, dan pemasaran. Menurut Muchjidin Rachmat, Direktur Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, Ditjen Hortikultura, Deptan, manfaat ini tentunya bukan saja akan dirasakan petani, tapi juga memberi kemudahan para investor dan produsen saprodi untuk bergabung.
Pendapat yang sama dilontarkan Afrizal Gindow, Direktur Pemasaran PT East West Seed Indonesia (EWSI), produsen benih sayuran di Purwakarta, Jabar. Menurutnya, dalam kawasan tersebut akan terjadi perputaran bisnis yang baik dan menjadi ajang kompetisi bagi para produsen untuk merebut hati petani.
Berdasar data Ditjen Hortikultura, kebutuhan benih sayuran pada 2007 dalam bentuk umbi mencapai 30 ribu ton, sedangkan ketersediaannya hanya 1.500 ton. Belum lagi kebutuhan benih dalam bentuk biji yang melampaui angka 1.400 ton. Namun lagi-lagi ketersediannya hanya 200 ton. Kesenjangan tersebut menandakan besarnya peluang yang bisa ditangkap para penyedia benih.
Hal tersebut dibenarkan Afrizal. “Secara kasar dapat dikatakan, dalam tiga tahun terakhir ada peningkatan permintaan benih sayuran sekitar 5%—10% setiap tahun,” terangnya. Apalagi suatu kawasan berada dalam agroklimat yang seragam, tentunya akan mempermudah produsen benih meluncurkan produk yang sesuai untuk suatu kawasan. Contohnya EWSI, meluncurkan tomat Warani untuk kawasan dataran tinggi yang bermasalah dengan penyakit Phytophthora.
Penangkar Berlomba
Pengembangan kawasan hortikultura pun membuka peluang bagi penangkar bibit. Seperti yang dialami Iswanto di Ngroto, Pujon,
Menurut Iswanto, petani kubis lebih memilih membeli bibit ketimbang benih. Alasannya, jika petani menyemai sendiri, waktu panennya akan molor menjadi 75 hari karena tahap persemaian saja berlangsung selama 30 hari. “Petani merasa lebih praktis, mereka bisa lebih fokus untuk mempersiapkan lahan dan budidaya saja,” terangnya kepada AGRINA.
Sedangkan dari sisi penangkar, Iswanto mengaku memilih menggeluti bisnis ini lantaran risikonya relatif lebih kecil. Setelah semai, bibit langsung dijual. Ia pun tidak mengeluarkan biaya pengolahan tanah, pupuk, dan pestisida sebesar yang dikeluarkan petani. Tiap kali menyemai, ia hanya membutuhkan 9 kg benih kubis dan bibit yang dihasilkan dijualnya seharga Rp45/bibit. Meski harga jualnya murah, bisnis ini mendatangkan keuntungan 70% lebih. Bila dihitung kotor, omzetnya tiap musim tanam sekitar Rp600 juta.
Kendati penangkaran bibit merupakan ladang bisnis baru dalam rangkaian budidaya kubis, Iswanto tetap optimistis tahun ini bertanam kubis masih prospektif. “Semoga tahun 2008 petani kubis masih terus produksi dan harga jual kubis tetap bagus seperti sekarang, yaitu kisaran Rp3.000/kg,” harapnya. Sekarang di Ngroto sudah ada 25 orang mengikuti jejaknya menjadi penangkar. Ia menghitung, setiap penangkar butuh lebih dari 100 kg benih kubis. Ini jelas sebuah peluang bagi produsen benih.
Selamet Riyanto, Enny Purbani T., Tri Pranowo